PEMBAHASAN RESUME
1.
Latar
belakang Jean Bodin
Nama Lengkap : Jean
Bodin
Alias : No
Alias
Agama : Katolik
Tempat Lahir : Anjou,
Perancis
Warga Negara : Perancis
Jean
Bodin biasanya dihubungkan dengan asal – usul konsep modern tentang kedaulatan.
J. Bodin lahir di Anjou, Perancis, dari keluarga kelas menengah yang kaya, J.
Bodin belajar filsafat dan bahasa di Paris dan hukum Toulouse, dimana ia
menghabiskan sepuluh tahun sebagai siswa dan guru. Pada tahun 1561 ia
meninggalkan profesi mengajar dan menjalani profesi sebagai praktisi hukum di Paris. Sepuluh tahun kemudian ia masuk
kedalam rumah tangga saudara Raja, Duke of Alencon, sebagai penasehat. Disin ia
mulai mengenal dunia politik tingkat tinggi, dan sebagai mana Machiavelli,
dengan kedudukan ini ia menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk memperluas
pengetahuannya tentang masah kenegaraan. Pemikiran politik Bodin di bangun di
bawah tekanan pengalaman pribadinya. Ia hidup pada masa ketika pertentangan
agama yang sudah lama, yang mencapai puncak pada pembunuhan St. Bartholomew
tahun 1572, menyebabkan Prancis berada di tepi kehancuran. Pada awal karirnya
ia bergabung dengan kelompok kecil pengacara dan administrator terkemuka,
termasuk Chancellor Perancis, Michel
de L’Hopital. Atasannya sendiri, Duke of Alencon, adalah pemimpin resmi Dari
kelompok ini yang dikenal sebagai politiques.
Politiques
menyadari bahwa Negara akan tercabik – cabik jika perang agama terus berlanjut.
Mereka juga sadar bahwa perpecahan Agama Kristen menjadi semakin dalam yang di
sebabkan oleh pemaksaan dan penyiksaan. Mereka berpendapat bahwa Negara
seharusnya hanya menjaga ketertiban, dan bukan membangun atau mempertahankan
agama yang benar. Beberapa filosof pada masa itu berpendirian bahwa Ajaran
Kristen yang sejati tidak menuntut pembersihan atau tindakan koersif fisik
terhadap orang – orang yang menetang kepercayaan ini, ia hanya menuntut bahwa
mereka perlu diyakinkan dengan akal, diberi nasehat, atau cukup dibiarkan saja.Politiques tidak terdorong oleh perasaan
semacam ini. Mereka tidak menganggap toleransi agama sebagai hal yang benar
secara teologis atau moral, mereka melihatnya semata – mata sebagai kebijakan
yang berguna dan diperlukan menurut kondisi sejarah pada masa itu. Politiquis tidak terdorong oleh perasaan
semacam ini. Mereka tidak mengganggap tolerasi agama sebagai hal yang benar
secara teologis atau moral ; mereka melihatnya semata – mata sebagai kebijakan
yang berguna dan diperlukan menurut kondisi sejarah pada masa itu.
Berdiri
diantara dua titik ekstrim – katolik dan Huguenots – Politiques berusaha
membangun dasar menegah yang akan mencegah pecahnya Perancis menjadi dua
kelompok yang tidak bisa didamaikan dan mungkinkan persatuan politik di tengah
– tengah perbedaan agama. Mereka yakin bahwa satu – satunya harapan mencapai
tujuan ini adalah membangun otoritas politik pusat yang kuat yang berdiri
diatas semua kelompok agama dan faksi – faksi politik. Mereka tahu bahwa
otoritas semacam ini harus mempunyai perangkat untuk membangun perdamaian dan
ketertiban serta hak istimewah untuk menuntut kepatuhan. Karena monarki nampak
sebagai satu – satuya agen yang bisa menjalankan peran ini, mereka mengarahkan
upaya – upayanya untuk memperkuat kekuasaan kerajaan dan menempatkannya sebagai
pusat persatuan nasional. Bodin adalah teoris utama dalam gerkan ini.
Karya
terbaik Bodin yang dikenal adalah Six
Books of Commonwealth. Sepuluh edisi karya ini dalam versi Perancis dan
tiga dalam bahasa latin terbit pada masa hidupnya. Buku ini juga di terjemahkan
ke dalam bahasa Itali, Spanyol, Jerman, dan Inggris. Ia sangat penting sebagai
karya pertama yang membahas teori kedaulatan modern. Karya ini menunjukan
pengetahuan yang luas dari pengarangnya tetapi pembahasannya terlalu panjang,
acak, dan terkadang membingungkan jika tidak bisa dikatakan bertentangan.
Tetapi, terlepas dari beberapa
kekurangan tersebut, Commonwealth
menawarkan pernyataan filsafat politik yang paling matang dalam abad ke-16.
Dengan pandangan – pandangan yang tidak bisa dipertemukan yang dinyatakan pada
semua aspek seperti mengenai watak kekuasaan politik dan kewajiban warga, Bodin
berusaha mengedepankan prinsip – prinsip Fundamental yang diatasnya tatanan
sosial yang permanen harus dibangun. Ia yakin bahwa tugas pertama adalh
menemukan pemahaman yang jelas menegnai otoritas politik. Ia merasa bahwa
sebelum sampai pada pemahaman ini, harus di temukan terlebih dahulu bebrapa
prinsip yang mempertemukan kebebasan manusia dan otoritas Negara dan memuaskan
pikiran dan kesadaran. Ia menganggap menemukan elemen dasar ini dalam doktrin
kedaulatannya.
2.
Filsafat
Politik Menurut Bodin (1530 – 1596 M)
Memosisikan Bodin sebagai pemikir
politik didasarkan pada dua karya utamanya, Method
for the Easy Understanding of History (metode
memahami sejarah secara mudah) yang ditulis pada tahun 1566 dan Les Six livres de la Republique (six books
on the state / enam karya tentang negara) yang di tulis pada tahun 1576 M.
Pada buku yang pertama Bodin berkonsentrasi pada penafsiran dan penjelasan
tentang signifikansi sejarah. Adapun pada buku kedua, ia berkonsentrasi pada
penjelasan tentang pemerintahan. Ketika menaruh perhatian pada studi sejarah,
ia lebih mementingkan penafsiran atau penjelasan rasional, bukan atas kejadian
atau peristiwa sejarah.
Menurut Bodin, manusia sendirilah
yang menciptakan peristiwa-peristiwanya. Oleh karena itu, ia sendiri pulalah
yang menciptakan sejarahnya dengan pengaruh cuaca seperti hujan, angin dan
topografi, dan mengikuti jalan kejadian-kejadian sejarah. Oleh karena itu,
Bodin menarik kesimpulan bahwa lingkungan alam mempunyai pengaruh pada manusia
dan sejarahnya, serta arah politiknya yang juga merupakan bagian sejarah.
Atas dasar itu, Bodin di daulat sebagai orang
pertama yang memperkenalkan sejarah filsafat dengan pemaknaan baru. Bodin
menafikan unsur-unsur tidak rasional yang oleh banyak tokoh sering
disebut-sebut sebgai penentu jalan sejarah. Sebagaimana halnya dalam
studi-studinya, ia menafikan unsur-unsur tidak rasional itu sebagai penggerak
manusia sebagaimana yang disangka oleh banyak pemikir. Mengenai studi sejarah
manusia, Bodin menganggapnya hanya sebagai ilmu murni yang dapat dicerna dan di
analisis oleh akal. Ia tinggal menjelaskan motif-motif dan sebab-sebabnya yang
hakiki.
Bagi Bodin, sejarah bukanlah mata
rantai buta dari rangkaian peristiwa yang tidak saling memiliki ikatan. Sejarah
baginya adalah relasi-relasi rasional bagi peradaban, kebudayaan dan tatanan
kemanusiaan. Sejarah tumbuh, berkembang, kemudian membesar, dan mati karena
faktor-faktor kemanusiaan dan motif-motif yang tunduk pada kepentingan
rasional.
Karya Bodin, Les six livres de la
Republique, juga di daulat sebagai karya yang pertama kali bicara tentang ilmu
politik dengan pemaknaan yang baru pula. Perhatian Bodin terhadap politik
dibangun diatas dasar penafsiran ilmiah terhadap fenomena-fenomena politik. Ia
merajut rangkaian politik berdasarkan pengetahuan ilmiah, tanpa melihat faktor
kekuatan gaib atau ketuhanan. Bodin berusaha meletakkan mahzab filsafat dalam
pemikiran-pemikiran politik.
Kelebihan karya Bodin diatas semakin
tampak ketika ia membebaskan konsep kekuasaan yang memiliki kedaulatan dari
benteng-benteng ketuhanan. Karyanya itu dipandang sebagai pembelaan terhadap
politik dan pemerintahan monarki melawan partai-partai politik. Inti pikiran
para pakar politik dan beberapa tokoh yang menulis bahwa kekuasaan kerajaan
berkisar tentang asas pemersatu. Oleh karena itu, mereka mencurahkan segenap
pemikirannya untuk menjadikan kerajaan sebagai pusat pemersatu warga ngara,
diatas mahzab-mahzab agama dan partai-partai politik. Ciri terpenting dari
mahzab politik kelompok ini adalah gagasan toleransi agama, yakni mewujudkan
toleransi terhadap agama-agama yang ada dalam satu negara. Jika tujuan mereka
adalah memelihara ikatan nasionalisme Perancis, karya Bodin diatas bertujuan
menetapkan dasar-dasar kesatuan yang wajib dianut oleh suatu negara.
Dalam studinya terhadap sejarah,
Bodin meyakini bahwa ia mengikuti metode baru yang mengaitkan antara filsafat
dan sejarah. Ia meyakini bahwa filsafat akan mati apabila tidak membangkitkan
kehidupan sejarah. Ia pun meyakini bahwasanya sejarah akan mengalir apabila
mendapat perhatian serius untuk dipelajari. Sejarah seolah-olah merupakan
rangkaian peristiwa kemanusiaan secara individu yang tidak dapat dicerna akal
dan tidak tunduk pada penafsiran. Oleh karena itu, sejarah terkesan tidak
mengandung makna.
Menurut kami, bagi Bodin, tidak ada
mahzab jelas yang dapat membantunya dalam menyusun materi-materi sejarahnya.
Karya-karyanya sendiri membutuhkan anotasi dan syarah, terutama tentang
contoh-contoh peristiwa sejarah, yang menawarkan perincian terhadap pembaca.
Teori kedaulatan (sovereignty) adalah kontribusi pertama
kali yang diberikan Bodin dalam pemikiran politik. Walaupun teori ini telah ada
dalam hukum Romawi, Bodin adalah orang yang pertama kali menguraikan teori ini
secara mendalam dan sempurna. Ia adalah orang yang pertama kali menempatkan
teori tersebut dalam filsafat politik.
Menurut Bodin, negara adalah
sekumpulan keluarga dan hak-hak propertinya yang diikat dan disatukan oleh
kekuatan besar dan akal. Unsur terpenting yang terkandung dalam defenisi diatas
adalah prinsip kedaulatan yang juga merupakan bagian terpenting dalam filsafat
politik Bodin. Ia melihat bahwa kedaulatan yang memiliki kekuasaan adalah yang
membedakan negara dari kumpulan lain yang dibentuk oleh sekumpulan keluarga,
bukan individu. Bodin berpendapat bahwa individu tidak memiliki kepentingan
apapun dalam struktur politik. Individu mempunyai pengaruh tatkala cair atau
bergabung dengan sebuah kelompok. Oleh karena itu, Bodin berpendapat bahwa
negara bukanlah kumpulan individu. Negara dibentuk oleh kumpulan sosial.
Keluarga adalah inti utama dalam masyarakat. Keluarga dapat saja terdiri dari
organisasi perdagangan, gereja, dll. Interaksi kumpulan-kumpulan ini dilakukan
melalui jalur kekerabatan, adat, kesepakatan atau jalur lainnya. Adapun negara
diikat melalui jalur kekuatan.
Adapun kedaulatan menurut Bodin adalah
kekuatan besar yang dapat mengendalikan rakyat. Kekuatan ini tidak saja besar,
tetapi juga kekal. Sebab, apabila keadaannya dibatasi oleh zaman, ia tidaklah
besar.
Pembahasan Bodin tentang kekuatan besar
sampai pada uraian tentang unsur-unsur kekuatan ketuhanan. Ia menggandengkan
kekuatan Tuhan secara langsung dengan hukum sipil dan tindakan orang yang
keluar dari hukum sipil. Alasannya, pemimpin maupun rakyat sama-sama harus
tunduk pada hukum Tuhan dan hukum alam. Orang yang berusaha lari dari dua hukum
ini tidak mungkin dapat lari dari kekuatan Tuhan. Adapun percobaan untuk bebas
dari kepemimpinan dan kekuatannya yang menekan hanya menyangkut hukum sipil.
Lebih lanjut, Bodin menjelaskan
bahwa kedaulatan adalah kemauan paling tinggi yang memungkinkan ada dalam
masyarakat. Peran utama bagi pokok dan kedaulatan adalah menerapkan hukum-hukum
pada rakyat dan individu, bukan pada para pemimpin. Sebab, pemimpin adalah
sumber hukum. Ketika bentuk pemerintahan ideal berada pada monarki, yakni
pemerintahan yang dipegang oleh satu orang, akan muncul beberapa pertanyaan
yang berkisar seputar adanya keterikatan raja dengan hukum. Bodin menjelaskan
bahwa raja tidak mungkin terikat dengan hukum yang telah dibuatnya. Kekuasaan
raja tidak tunduk pada hukumnya. Namun, hukum Tuhan dan hukum alam mengatur
segala bentuk kekuasaan. Dengan demikian, raja membuat hukum bumi, tapi tidak
tunduk padanya. Namun, ia tidak membuat hukum Tuhan dan hukum alam yang
karenanya ia harus tunduk kepada keduanya. Tentang hukum sekuler (duniawi) ini,
Bodin menjelaskan,
“Hukum
sekuler bersandar pada kekuatan besar dalam negara (yakni, raja). Oleh karena
itu, raja berkuasa menerapkan hukum pada rakyatnya, sedangkan ia sendiri tidak
terikat oleh hukum itu”
Dengan
demikian, kedaulatan merupakan sesuatu yang luhur yang digunakan untuk
mengendalikan rakyat, yang tidak dapat dibatasi hukum. Hanya saja, Bodin
menegaskan bahwa pemimpin terikat oleh hukum Tuhan dan hukum alam. Seiring
dengan defenisi hukum yang dirumuskannya, yakni aturan yang muncul dari kemauan
pemimpin, Bodin tidak mengizinkan seorang pemimpin mengeluarkan hukum atas
dasar hawa nafsu. Alasannya, pemimpin tunduk pada hukum alam yang berada diatas
manusia dan yang mengeluarkan kebenaran untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak
mungkin untuk diubah. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang baik bagi Bodin
adalah yang tunduk pada hukum alam. Ia memimpin pada hukum sekuler yang dibuat
pemimpin.
Pusaran
filsafat politik Bodin terdapat pada teorinya tentang kedaulatan ini. Dunia
memang mengenalnya sebagai salah seorang peletak teori itu. Namun, untuk
teorinya itu, sebenarnya pula pada beberapa teori. Agar tersusun tatanan
politik secara sempurna, Bodin mengharuskan pembedaan antara negara dan pemerintahan.
Oleh karena itu, ia mengkritik Aristoteles yang tidak melakukan pembedaan
secara jelas antara negara dan pemerintshsn.
Dalam
hal ini, Bodin menegaskan bahwa bukan merupakan suatu keharusan menyelaraskan
bentuk pemerintahan dengan bentuk negara. Bentuk negara dibatasi oleh
unsur-unsur kekuasaan yang ada didalamnya. Oleh karena itu, Bodin membagi
bentuk negara pada monarki, aristokrasi dan demokrasi. Setiap bentuk ini bisa
saja menerapkan bentuk pemerintahan yang berbeda. Negara demokrasi misalnya
bisa saja menerapkan bentuk pemerintahan monarki, dimana kekuasaan berada pada
seorang raja. Sebagaimana halnya kepemimpinan pemerintahan republik terkadang
berada ditangan satu oarang, yakni kepala negara. Sebenarnya Bodin lebih
mengutamakan bentuk monarki sebagai bentuk pemerintahan, tetapi ia tidak
merinci alasannya.
Berdasarkan
paparan diatas, tampaknya Bodin hanya melihat tiga bentuk pemerintahan, yaitu
monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Faktor pembeda diantara tiga bentuk itu
terletak pada jumlah pemegang kekuasaan. Ketika kekuasaan berada pada
sekelompok kecil, pemerintahan itu disebut aristokrasi. Ketika kekuasaan berada
pada mayoritas atau rakyat, pemerintahan itu disebut demokrasi. Ketika
kekuasaan berada ditangan satu orang, pemerintahan itu disebut monarki.
Bodin melihat bahwa negara itu
seperti individu. Ia lahir, tumbuh, berkembang, kemudian hancur dan mati.
Sesungguhnya revolusi dan perubahan dalam masyarakat tidak mungkin berdiri,
kecuali jika bentuk pemerintahan dan kekuasaan berubah. Artinya jika terjadi
perubahan total dalam undang-undang, agama dan tatanan lainnya, sesungguhnya ia
bukanlah revolusi. Namun, ketika kekuatan besar berubah, misalnya dari monarki
berubah menjadi aristokrasi, maka inilah yang dinamakan revolusi hakiki.
Pandangan Bodin tentang revolusi
sesungguhnya bersifat ilmiah. Sebab, ia melihat bahwa faktor topografi geografi
memberikan saham besar pada kejdian-kejadian revolusi. Disini, Marxy menegaskan
bahwa Bodin adalah seorang pemikir baru karena menawarkan gambaran lebih luas
daripada para pemikir lainnya.
Konstribusi lainnya yang diberikan
Bodin dalam filsafat politik adalah ketika ia membahas kewarganegaraan (citizenship). Baginya, warga negara
adalah rakyat biasa bagi suatu negara. Ia tidak punya hak sharing dalam pemerintahan. Ia memiliki kekuatan paling rendah.
Sebagaimana ia tidak sejajar dengan para pemimpin masyarakat. Warga negara,
menurut Bodin, hanya berkewajiban taat kepada pemimpin. Dunning berkata,
“Warga
negara bukanlah unsur pertama bangunan politik. Unsur pertama sbangunan politik
adalah keluarga dan kelompok. Warga negara adalah anggota dari suatu keluarga
atas kelompok dengan keagamaan kapasitasnya didalamnya. Adapun pengertian Bodin
tentang ‘warga negara adalah manusi merdeka yang tunduk pada kekuasaan yang
berada pada diri seseorang selain dirinya’. Bebas disini tidak dimaksudkan
kebebasan pemilihan, atau kebebasan berpendapat, atau kebebasan dengan makna
politis, baik secara luas atau sempit. Bebas yang dimaksud disini adalah bukan
hamba sahaya. Dengan defenisi seperti ini, Bodin tidak memasukkan hamba sahaya
sebagai warga negara.”
Filsafat politik Bodin berpengaruh
pada pemikiran abad ke 17. Sejarah politik pada abad ini berkisar sekitar
kedaulatan dimana Bodin adalah orang yang pertama kali mengemukakan secara
rinci, mendalam dan jelas. Bahkan,
pemikirannya berpengaruh pula terhadap
para pemikiran abad ke-18, 19, dan 20 ketika berdiri negara nasionalis, dimana
perang dunia I dan perang dunia II tidak mampu menggoyahkan kepemimpinan negara
nasionalis ini.
Parker berkata, “Bodin memiliki
kesamaan dengan Machiavelli dalam sisi arah pemikiran ke persoalan sekularitas
(ad-da’irah’ad-dunyawiyah). Hanya
saja Machiavelli mengemukakan teori kekuasaan secara prosedural, sedangkan
Bodin mengemukakan teori kekuasaan secara hukum.” Dunning berkata, “Machiavelli menempuh sebagian langkah
orientasi bangunan ilmiah terhadap politik, sedangkan Bodin menyempurnakan
langkah itu.
Bodin memperkuat filsafat politiknya
dengan sandaran teorinya tentang hukum. Kita menangkap bahwa pandangannya
tentang kewarganegaraannya seiring dengan pandangannya tentang kedaulatan dan
hukum. Kita pun memperoleh gambaran yang jelas bahwa pandangan Bodin tentang
revolusi sesuai dengan pandangannya tentang negara, mulai dari pertumbuhan,
perkembangan, kehancuran dan kematiannya. Bodin pun menegaskan bahwa revolusi
tidak akan sempurna, kecuali apabila unsur-unsur kekuasaan yang mengendalikan
negara berubah dari monarki-misalnya menjadi demokrasi, atau dari aristokrasi
menjadi demokrasi. Dengan demikian, pandangannya tentang revolusi tertata
dengan pandangannya tentang kedaulatan, hukum dan kewarganegaraan dalam sebuah
bangunan konsep politik yang sempurna. Oleh karena itu, Dunning menjelaskan
bahwa seorang filosof seperti Bodin tidak mungkin diletakkan pada kedudukan
yang jelas dalam filsafat dan sejarah politik kalau bukan karena pemikirannya
yang sempurna ini.
Jean Bodin juga salah satu tokoh
paham merkantilisme yaitu :
Istilah
merkantilisme berasal dari kata Merchant yang artinya berdagang.
Menurut paham ini, suatu Negara akan maju bila melakukan perdagangan. Dalam
artian yang luas, perdagangan yang dimaksud ialah perdagangan dengan Negara
lain. Pada awalnya, Negara-negara di eropa hanya ingin melakukan
perdagangan dengan Negara lain, tetapi pada akhirnya mereka menjajah Negara
tersebut agar bisa mendapatkan hasil jajahannya. Dan hasil jajahan
tersebut dibawa pulang ke Negara asalnya dalam bentuk emas dan perak.
Pada
zaman merkantilisme , sumber kekayaan Negara adalah dari perdagangan luar
negeri. Selanjutnya uang (emas atau perak) hasil dari surplus perdagangan ialah
sumber kekuasaan.
Dalam
bukunya yang berjudul Reponse Aux
Paradoxes de Malestroit (1568), dikemukakan oleh Bodin, naiknya
harga-harga barang secara umum disebabkan oleh 5 faktor, yakni :
1. Bertambahnya
logam mulia seperti perak dan emas.
2. Praktek
momopoli yang dilakukan oleh dunia swasta paupun peran Negara.
3. Jumlah
barang di dalam negeri menjadi langka oleh karena sebagian hasil produksi di
ekspor.
4. Pola
hidup mewah kalangan bangsawan dan raja-raja.
5. Menurunnya
nilai mata uang logam karena isi karat yang terkandung di dalamnya dikurangi
atau dipermainkan.
Bodin
Sependapat dengan Machiavelli bahwa Negara mempunyai kekuasaan yang mutlak
terhadap warga Negara, karena Negara berada di atas hokum. Sebenarnya teori
yang dikemukakan oleh bodin ini agak berlebihan, akan tetapi teori ini
mencerminkan kebutuhan Negara-negara menciptakan kemakmuran bagi
setiap rakyatnya.
Menanggapi
perilaku mewah-mewahan yang dilakukn oleh para kaum bangsawan, Jean Bodin
menekankan apabila jumlah cadangan yang berupa perediaan emas tersebut lebih
baik disimpan terlebih dahulu, dan pengeluaran dilakukan secara hemat dan
berhati-hati yang akan berujung pada terkendalinya inflasi.
Teori
Jean Bodin tentang nilai uang dinilai sangat maju, maka dari itu dalam selang
waktu sekitar nasional yang sedang tumbuh akan kekuasaan untuk menjaga
kestabilan ekonomi dan setangah abad, Irving Fisher menggunakannya sebagai
dasar teorinya yakni teori kuantitas uang.
3.
Peran
politik Jean Bodin di Perancis
a. Watak
Negara
Tidak
seperti Machiavelli, Jean Bodin tidak tergesah – gesah mendiskusikan cara –
cara mencapai dan mempertahankan kekuasaan politik. Ia menganggap mendasar
untuk pertama – tama mengetahui watak dan tujuan Negara sebelum beralih pada
cara – cara mencapai tujuan ini. “Orang yang tidak memahami tujuan, dan tidak
bisa menentukan masalahnya dengan benar, tidak bisa berharap akan menemukan
cara – cara untuk meraihnya, sebagaimana orang yang melepaskan tembakan ke udara
dengan cara serampangan tidak akan mengenai sasaran. “Namun demikian, Jean
Bodin bukannya sama sekali tidak setia dengan pendekatan yang dimaksud,
terutama bagian dari pendekatan yang menyangkut masalah tujuan. Ia mulai dengan
menyatakan bahwa Negara ada untuk meningkatkan kehidupan yang baik dan bijak
warganya, tetapi ia segera meninggalkan aspek ini sama sekali. Semua
perhatiannya kemudian terfokus pada cara – cara mempertahankan negara terlepas
dari apa pun karakter negara itu sedangkan cara – cara meningkatkan kehidupan
yang baik diabaikan. Tujuan moral yang ia berikan pada negara hilang dengan
penerimaannya terhadap setipa kekuasaan yang terorganisir secara efektif
sebagai negara yang sejati. Pendekatannya pada negara, terlepas dari kritik –
kritikanya adalah Machiavellian.
Bodin
mendefenisikan negara sebagai “pemerintahan yang tertata dengan dari beberapa
keluarga serta kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan yang berdaulat. “ Ia
mencatat bahwa terdapat empat unsur pokok yang perlu dilihat di sini: tatanan
yang benar, keluarga, kekuasaan yang berdaulat, dan tujuan yang bersama.
Pemerintah yang di bangun dengan benar sejalan dengan hukum alam adalah sifat sejati dari masyarakat
yang membedakannya dari gerombolan pencuri dan perampok. Kehidupan yang baik
dan bahagia yang oleh pala pemikir klasik dianggap sebagai elemen Negara tidak
masuk dalam bagian definisi meskipun ia merupakan tujuan tertinggi yang harus
di perjuangkan. Karena “commonwealth bisa di tata dengan baik dan bisa juga
mengalami kemiskinan, ditinggalkan oleh teman – temannya,m di hancurkan oleh
musuh – musuhnya, dan mengalami kemunduran karena bencana yang terjadi dalam
waktu singkat.
Bodin
mengikuti Aristoteles dalam pendirian bahwa bahwa keluarga dan bukan
individualah yang menjadi unit dasar negara. Keluarga “bukan hanya sumber
sebenarnya dan asal usul Commonwealth, tetapi merupakan unsur pokoknya. Lebih
dari itu, ia adalah komunitas alamiah yang melahirkan masyarakat yang lebih
kompleks. Otoritas anggota kelompok diserahkan kepada kepalah rumah tangga.
Bodin yakin bahwa manusia, sebagai akibat dari kejatuhan, adalah curang dan
suka memberontak. Ia yakin bahwa kebutuhan pokok manusia adalah disiplin dalam
mengekang dorongan jahatnya. Pandangan ini mendorongnya untuk menekankan
otoritas dan kekuasaan yang diserahkan kepada ayah dalam keluarga atau penguasa
negara. Ia mendesak agar otoritas ayah diperkuat sekalipun dengan taruhan nyawa
anak – anaknya. Hanya dengan cara ini kebiasaan patuh bisa ditanamkan kepada
mereka, sehingga dimasa kemudian mereka akan menjadi warga negara yang patuh
pdsa penguasanya. “ Anak – anak yang berani kepada orang tuanya, dan tidak
takut dengan kemarahan tuhan, akan menentang kekuasaan.” Pelatihan warga negara
yang baik harus mulai sejak kanak – kanak.
Keluarga
yang harmonis adalah “ citra sejati dari commonwealt.”
Model bagi pemerintahan politik ditemukan dalam kekuasaan ayah terhadap
keluarganya. Sebagaimana dalam keluarga di mana tunduk pada perintah ayah
adalah penting bagi kesejahteraan keluarga, demikian juga patuh pada penguasa
adalah penting bagi stabilitas negara. Dan karena sang ayah mempunyai kekuasaan
penuh dalam keluarga, demikian juga dengan penguasa commonwealt harus mempunyai yurisdiksi penuh terhadap warga
negaranya. “karena keluarga itu seperti Negara: hanya bisa ada satu penguasa,
satu pemimpin, satu tuan. Jika beberapa orang mempunyai otoritas, mereka akan
merusak tatanan dan menimbulkan bencan yang terus berlanjut.”
Meskipun
Bodin mengikuti Aristoteles dalam menekankan keluarga sebagai satuan pokok
masyarakat, ia tidak menerima perbedaan pendahuluan sebagai satuan pokok
masyarakat, ia tidak menerima perbedaan pendahulunya ini antara kekuasaan ayah
terhadap keluarga (kekuasaan yang mana satu lebih tinggi) dan kekuasaan politik
(kekuasaan yang sama derajatnya). Dalam pemikiran Aristoteles, kekuasaan ayah
adalah tanpa persetujuan anak – anaknya, tetapi kekuasaan pemerintah sipil
untuk menjadi syah harus berdasar pada persetujuan rakyat. Dengan mengabaikan
perbedaan ini, Bodin mampu menerapkan analogi keluarga agar cocok dengan tujuan
teori politiknya.
Menurut
Bodin, Negara mempunyai asal – usulnya dalam kekuatan dan kekerasan. Sebelum
terdapat bentuk persekutuan politik, setiap kepala keluarga adalah “ pemimpin
dalam rumah tangga, mempunyai kekuasaan terhadap hidup dan mati istri serta
anak – anaknya.” Di sini terdapat sesuatu yang
mirip dengan keadaan alamiah Hobbes.” Kekuatan, kekerasan, ambisi,
kebencian, dan nafsu balas dendam menjadikan manusia bermusuhan satu sama
lain.” Kondisi yangt tidak menguntungkan ini mendorong keluarga – keluarga
untuk bersatu demi pertahanan bersama dan keuntungan lainya serta untuk
mengakui kekuasaan politik yang berdaulat, puissance
souveraine. Pengakuan akan otoritas semacam ini lebih sering dicapai oleh
kekuatan dari pada pengakuan sukarela. Aristoteles dan para pemikir lainnya
adalah salah, kata Bodin, dengan mengira
bahwa penguasa pertama dipilih karena keadilan dan kebajikan mereka.
Sebaliknya, mereka adalah orang – orang yang mempunyai kekuatan fisik yang
diperlukan untuk menundukkan orang lain di bawah perintah mereka.
b. Kedaulatan
Bodin
berpendapat bahwa elemen yang membedakan Negara dari semua bentuk asosiasi
manusia yang lain adalah kedaulatan. Tidak bisa ada commonwealth yang sejati
tanpa kekuasaan yang berdaulat yang menyatukan semua anggota – anggotanya. Suatu
otoritas yang mutlak dan tertinggi yang tidak tunduk pada kekuasaan manusia
lainya harus ada dalam lembaga politik. Ini adalah prinsip pertama dan paling
fundamental dari teori politik Bodin. Dalam karyanya ia sudah menyerukan
perlunya mendefinisikan konsep kedaulatan “ karena meskipun konsep ini
merupakan label istimewah dari commonwealth
dan memahami wataknya sangat penting bagi studi politik, tidak ada jurist atau
filosof yangt pada kenyataannya berusaha mendefinisikannya. “ sayangnya,
upayanya untuk menyembuhkan apa yang ia sebut kegagalan para pendahulunya tidak
lepas dari kesulitan.
Kedaulatan,
sebagaimana yang didefinisikan Bodin, “ adalah kekuasaan absolute dan abadi
yang diletakkan pada commonwealth”,
ia adalah “ kekuasaan tertinggi diatas warga negara dan tidak di batasi oleh
hukum. Kualitas – kualitas dasar dari kedaulatan adalah kemutlakan,
kelanggengan, dan tidak dapat dibagi (indivisibility)
. orang atau lembaga yang mempunyai kedaulatan tidak bisa dibatasi oleh
kekuasaan lain atau oleh semua hukum manusia. Raja yang berdaulat tidak
mempunyai pebanding, ia menganggap tidak ada yang lebih berkuasa dari dirinya
kecuali tuhan. Kedaulatan adalah permanen karena tidak ada batas waktu yang
bisa ditetapkan dalam pelaksanaanya. Ketika ia diserahkan kepada penguasa, ia
memilikinya selama masa hidupnya. “Jadi, kedaulatan tidak terbatas dalam
kekuasaan, tanggung jawab, atau waktu. “ Akhirnya, kedaulatan tidak bisa dibagi
– bagi karena kedaulatan yang di bagi – bagi berarti bertentangan dalam
istilah. “ Sebagai mana tuhan yang maha kuasa tidak bisa menciptakan tuhan lain
yang sebanding dengan dirinya, karena ia tidak terbatas dan tidak mungkin ada
dua hal yang tidak terbatas, demikian pula raja yang berdaulat, yang adalah
bayangan tuhan, tidak bisa menciptakan kekuasaan yang sama denganya tanpa
menghancurkan diri sendiri.
Tanda
khas dan mendasar dari kedaulatan adalah kekuasaan untuk membuat hukum. “
Atribut pertama dari raja yang berdaulat adalah kekuasaan membuat hukum yang
mengikat semua rakyatnya secara umum dan secara khusus mengikat semua orang. “
dan ia melaksanakan kekuasaan ini” tanpa persetujuan dari mana pun”. Pemikir
abad pertengahan melihat hukum sebagai sesuatu yang ditemukan bukan yang
diciptakan. Mereka menganggap hukum bukan sebagai peraturan dari otoritas
pemerintah tetapi sebagai kebiasaan yang dinyatakan dalam kehidupan masyarakat.
Bodin melepaskan diri dari masa lampau dalam hal ini dengan menempatkan
kebiasaan pada posisi subordinat. Ia bersikap empati dalam pernyataannya bahwa
ia mempunyai kekuatan “hanya pada toleransi dan dalam kebaikan raja yang
berdaulat, dan selama raja yang bersedia menguasakannya. Kekuatan hukum
tertulis dan adat berasal dari penguasa raja.”
Penguasa
tidak terikat baik oleh hukum yang ia buat atau dibuat pendahulunya atau oleh
tindakan rakyatnya. Hukum dan kebiasaan semacam ini, meskipun mungkin didasarkan atas pikiran yang sahih,
hanya tergantung pada kehendaknya yang bebas. Unsur rasio yang sangat
diletakkan oleh St. Thomas dalam defenisi hukum nya tidak mempunyai peran
penting, sementara kehendak legislator menjadi factor utama. Bodin bukanlah
orang pertama yang memahami hukum sebagai aturan yang dibuat oleh penguasa
politik tetapi teorinya menunjukan ungkapan yang lebih tajam akan konsep
tersebut.
Sampai
pada masalah ini, doktrin kedaulatan Bodin nampaknya menjadi ekspresi dari
kekuasaan absolute dan tidak terbatas dalam negara. Namun demikian, ia tidak
bermaksud sampai sejauh ini sebagaimana yang dengan jelas dia tunjukan. Jika
kekuasaan absolute digunakan dalam arti terbebas dari semua hukum, maka tidak
ada raja didunia yang bisa dianggap penguasa, karena semua raja didunia tunduk
kepada hukum tuhan dan hukum alam dan bahkan pada hukum manusia yang dimiliki
oleh semua bangsa. Oleh karenanya, penguasa terikat oleh hukum – hukum sipil
yang merupakan penjelmaan dari prinsip – prinsip keadilan alam karena jenis
hukum ini , meskipun ditetapkan oleh otoritas raja, merupakan hukum alam yang
sebenarnya. Ia juga tunduk pada hukum konstitusi atau fundamental (lege emperii). Hukum – hukum ini
melarang penguasa mengganti hukum salic mengenai suksesi kerajaan, menghapuskan
domain public, atau menumpuk kekayaan pribadi tanpa persetujuan pemiliknya.
Tidak
sulit mempertemukan batas – batas yang ditetapkan oleh wahyu dan alam bagi
kekuasaan politik dengan watak absolute kedaulatan karena pembatasan ini masih
tetap menempatkan penguasa di atas hukum manusia dan hanya bertanggung jawab
kepada tuhan. Kerancunan terletak pada kualifikasi lain yang dibuat Bodin
karena hal ini hanya mencangkup masalah yang berkenaan dengan hukum manusia.
Jika kedaulatan pada dasarnya adalah kekuasaan membuat hukum, dan jika
kekuasaan ini tidak bisa di bagi atau dibatasi oleh hukum, tidaklah logis
memintah penguasa tunduk pada hukum – hukum yang tidak dibuatnya dan tidak bisa
diubahnya. Teori Bodin hanya mempunyai konsistensi hanya jika pembatasan
manusia ini dilihat sebagai perwujutan dari hukum alam. Jacques Maritain, yang
mempunyai penafsiran yang demikian terhadap
konsep kedaulatan Bodin, menyatakan bahwa pengarangnya menempatkan
penguasa dibawah kewajiban mengormati leges
imperii, karena hukum manusia jenis ini sebenarnya merupakan hukum alam itu
sendiri. Ia yakin bahwa Bodin telah salah dengan menganggap hukum –hukum ini
sebagai bagian dari hukum alam meskipun hukum tersebut mengandung pembatasan
yang tidak bersumber dari watak manusia, seperti ketidak mampuan penguasa
mengubah jalannya suksesi kekuasaan.
Bodin
berhati – hati dalam menyatakan bahwa meskipun negara yang tertata dengan benar
secara jujur menjalankan hukum alam dan hukum ketuhanan, commonwealth tidak berhenti menjadi negara yang sejati jika ia
mengabaikan ajaran – ajaran ini. Ia keberatan dengan klasifikasi pemerintahan
Aristoteles menjadi bentuk yang baik dan buruk, dengan menyatakan bahwa hanya
ada tiga jenis pemerintah dan ketiganya di bedakan oleh kedudukan dari
kedaulatan: pada satu orang, beberapa orang, atau banyak orang. Apakah watak
politik dalam negara itu baik atau buruk bukan merupakan hal yang pokok. Jika
kita berpegang pada prinsip perbedaan antara commonwealth menurut kebajikan dan kejahatan yang menjadi cirri
darinya, kita segera dihadapkan dengan perbedaan yang tidak terbatas. Bodin
juga menolak ide negara gabung dengan alasan bahwa jenis negara ini, dengan
pembagian kekuasaannya, tidak bisa eksis. Karena kedaulatan pada dasarnya tidak
bisa di bagi – bagi. Dibawah konstitusi gabungan akan terdapat perselisihan
seperti mengenai apakah kedaulatan terletak ditangan raja atau pada sebagian
atau semua orang. Penelaahan terhadap apa yang disebut negara gabungan, kata
Bodin, akan mengungkapkan bahwa kedaulatan sebenarnya terletak pada rakyat dan
bahwa lembaga yang menjalannya hanya bekerja sebagai agen mereka. Commonwealth semacam ini bisa di
klasifikasikan sebagai demokrasi.
Teori
Jean Bodin tentang kedaulatan mutlak dan tak terbagi adalah produk dari waktu
dan tempat. Livre Enam Nya de la République (1576) ditulis empat tahun setelah
Day Massacre Saint Bartholomew, di mana ribuan Huguenot terkemuka dibunuh oleh
Liga Katolik beberapa hari setelah pernikahan Margaret of Valois ke Henri dari
Navarre, seorang Protestan yang kemudian dikonversi ke Katolik ketika ia naik
tahta Perancis Henri IV tahun 1589. Pemikir Protestan, seperti François Hotman,
yang menerbitkan Franco-Gallia pada tahun 1573, menyatakan bahwa raja-raja
Prancis yang awalnya dipilih oleh rakyat dan dapat digulingkan oleh rakyat.doktrin
Bodin tentang kedaulatan mutlak, karena Julian Franklin berpendapat, produk
Pembantaian Hari Saint Bartholomew dan Monarchomach teori Huguenot, yang Bodin
ditentang. Kekuatan Sovereign, Bodin berharap, bisa polisi dan memoderasi
konflik agama antara Huguenot dan Liga Katolik bahwa biaya begitu banyak nyawa
dalam bukunya hari. Bodin adalah "politique," seorang pendukung tidak
Huguenot maupun Liga Katolik, yang memiliki reputasi lebih peduli terhadap
perdamaian sipil daripada kebenaran doktrin. Namun, Bodin Six livre de la
République itu bukan hanya livre de circonstance tetapi pekerjaan utama teori
politik peduli dengan pertanyaan abadi dari hubungan antara agama dan politik,
dari konflik antara perintah ningrat dan kampungan, dari bentuk pemerintah, dan
perbedaan antara kedaulatan dan pemerintah.
Bodin,
ahli teori kedaulatan mutlak, itu tidak memusuhi teori liberal atau demokratis
seperti yang sering diasumsikan. John Locke dianjurkan Bodin pada mahasiswanya
di Christ Church, Oxford. Bodin, seperti akan kita lihat, bersikeras bahwa raja
tidak dapat pajak rakyat mereka tanpa persetujuan mereka, doktrin pusat Locke
dan kemudian Rousseau dan kaum revolusioner Amerika dan Perancis . Perbedaan
Bodin itu antara kedaulatan dan pemerintah, yang saya akan segera menganalisis,
doktrin liberal diantisipasi pemisahan kekuasaan dan subordinasi eksekutif ke
legislatif pemerintahan, serta doktrin Rousseau tentang perbedaan antara
legislatif berdaulat dan eksekutif aristokrat bawahan kepada rakyat berdaulat.
Selanjutnya, subordinasi Bodin untuk keadaan gereja melayani tujuan toleransi beragama
dan bahwa subordinasi gereja untuk negara yang didukung oleh juara toleransi
beragama, seperti Hobbes, Mandeville, Voltaire, Diderot, Hume, dan John Stuart
Mill , dan dengan demikian adalah alternatif liberal asli untuk Locke dan
doktrin Jefferson pemisahan gereja dan negara. Bodin adalah monarki, ia menulis
positif tentang republik dan memang bisa dikatakan telah mengilhami beberapa
republikanisme neo-Romawi yang berkembang sekitar waktu revolusi Amerika dan
Perancis.
Bodin
pikir semua agama berguna untuk menopang stabilitas sosial, untuk membatasi
tirani, dan untuk membentuk moeurs dan disukai memperluas toleransi untuk semua
keyakinan kecuali ateisme dan sihir. Kolokium heptaplomeres Bodin ini (1593),
diterbitkan tiga tahun sebelum kematiannya, adalah diskusi sipil antara
Katolik, sebagian Protestan, Yahudi, Muslim, deis, dan skeptis filosofis di
mana non-Kristen tidak tegas dibantah oleh pemikir Kristen, atau Protestan
dengan Katolik. Dalam Enam livre, Bodin menegaskan bahwa hanya ada satu agama yang
benar tetapi menggunakan kekuatan untuk membawa orang-orang itu adalah kontra produktif,
dan ia memuji raja Turki untuk menjaga agamanya tekun tetapi membiarkan
penganut Yudaisme, Katolik, dan Ortodoks Timur untuk berlatih secara bebas. Ia
juga memuji Republik Romawi, "negara yang paling berkembang dan paling
teratur dari apapun," yang disebabkan sebagian oleh kenyataan bahwa
"tidak ada tuhan yang pernah diterima di Roma tanpa surat perintah
Senat." Jika Rousseau diikuti Bodin dalam kedaulatan membedakan dari
pemerintah, ia mungkin juga dikatakan telah mengikutinya (dalam Kontrak Sosial,
sehubungan dengan dukungan untuk agama sipil yang memberitakan manfaat Allah
dan akhirat dan yang mengecualikan toleran, mereka yang memegang bahwa hanya
satu gereja memberikan keselamatan dan yang pengikutnya percaya hak untuk
memaksa orang-orang kafir ke dalam "gereja yang benar."Bodin pikir
agama sipil penting untuk mencegah amoralitas, yang melahirkan tirani, dan juga
untuk mendelegitimasi justifikasi pemberontakan melawan tirani raja dan fasik
oleh Huguenot dan Liga Katolik.
c. Arti
Penting Bodin
Bodin,
dalam batas tertentu, tetap menjadi tradisi abad pertengahan, sebagaimana
terbukti dalam pendiriannya akan ketundukan penguasa pada hukum alam dan hukum
ketuhanan dan pada batas – batas spesifik lainnya. Raja dalam pengertian ini
tetap berada dibawah hukum. Tanda dari kekuasaan kerajaan yang sebenarnya
adalah bahwa penguasa sendiri sama patuhnya dengan hukum sebagaimana ia
menginginkan rakyatnya patuh kepadanya. Jika wwarga patuh pada hukum yang
ditetapkan oleh raja, dan raja pada gilirannya mematuhi hukum alam, maka hukum
lah yang sebenarnya berkuasa. Karena Bodin menerapkan pembatasan ini pada
penguasa, beberapa komentator menduga bahwa ia berdiri di persimpangan jalan antara
pandangan abad pertengahan mengenai penguasa sebagai subjek yang menjalankan
meskipun bukan kekuasaan koersif dari hukum manusia dan pandangan modern
tentang kedaulatan sebagai sepenuhnya bebas dari hukum dunia. Maritain,
sebaliknya, pada pembahasan sebelumnya bahwa Bodin bisa dianggap sebagai bapak
teori kedaulatan modern. Memahami doktrin Bodin sebagai bebasnya penguasan dari
hukum manusia, ia menyatakan bahwa ini adalah esensi kekuasaan absolute dan
absolutisme tidak dikenal dalam pemikiran abad pertengahan. Tetapi kenyataan
menunjukan bahwa bagi Bodin penguasa hanya tunduk pada hukum alam, dan bukan
pada hukum manusia, yang berbeda dengan hukum alam, dan ini adalah inti dari
absolutisme politik.
Jika
konsep klasik dan pertengahan tentang Negara sebagai komunitas individu yang
mempunyai hukum dan konstitusinya sendiri adalah benar, maka upaya Bodin untuk
menyamakan kedaulatan dengan penguasan secara logis adalah mustahil.
Kedaulatan, menurut pandangan tradisional dan organis tentang negara, terletak pada
komunitas politik dan bukan pada individu yang bisa menjalankan kekuasaan
publik pada waktu tertentu. Untuk mengatasi kesulitan ini, Bodin menyatakan
bahwa rakyat sebagai badan politik secara mutlak dan tanpa syarat memisahkan
diri dari kekuasaan totalnya dengan tujuan menyerahkan kekuasaan pada penguasa.
Ini bukan pendelegasian tetapi penyerahan penuh kekuasaan. Rakyat melepaskan
dan meninggalkan kekuasaannya yang berdaulat dengan tujuan untuk menyerahkanya
kepada penguasa dan menjadikanya sebagai pemilik kekuasaan tersebut, dan
karenanya memindahkan kepadanya semua kekuasaan, otoritas dan hak – haknya,
sebagaimana orang yang memberikan kepada orang lain hak miliknya dari apa yang
sebelumnya ia miliki.
Dengan
kenyataan akan pelepasan total ini, penguasa mempunyai kedudukan di atas dan
mengatasi semua tatanan politik dengan cara yang sama saebagaimana tuhan
menguasai kosmos. Terlepas dari maksud Bodin, implikasi dari pemikirannya ikut
meletakkan dasar bagi doktrin absolutisme murni. Untuk sampai pada doktrin ini,
teorinya hanya perlu dilepaskan dari pembatasan yang ia coba pertahankan.
Operasi pembedahan ini secara pedas pada masa berikutnya dilakukan oleh Thomas
Hobbes.
DAFTAR PUSTAKA
Salim,
2010. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Schmandt,
J. Henry. 2009. Filsafat Politik Kajian
Historis dari zaman Yunani Kuno samapai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Muhammad,
Ali Abdul Mu’ti & Rosihon Anwar. Filsafat
Politik antara Barat dan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia
http://danaliqreen.blogspot.com/2014/02/jean-bodin.html
http://arcade.stanford.edu/journals/rofl/articles/jean-bodin-on-sovereignty-by-edward-andrew
(25-05-2013 17.00)
http://profil.merdeka.com/mancanegara/j/jean-bodin/
(25-05-2013 20.00)
http://divarahma.blogspot.com/2013/01/merkantilisme-imperialisme-kolonialisme.html
(27-05-2013 14.30)