A. Istilah dan
Pengertian Kedaulatan
Kata kedaulatan berasal dari kata sovereignty (bahasa Inggris), souverainete (bahasa Prancis), sovranus (bahasa Italia). Kata-kata
asing tersebut diturunkan dari kata latin superanus
yang berarti “yang tertinggi” (supreme).
Sarjana-sarjana dari abad menengah lazim menggunakan pengertian-pengertian yang
serupa maknanya dengan istilah superanus itu, yaitu summa potestas atau plenitudo
potestatis, yang berarti wewenang tertinggi dari suatu kesatuan politik.
Banyak sekali definisi untuk kata itu, tetapi “istilah ini selalu berarti
otoritas pemerintahan dan hukum”.
Baru pada abad ke-15 kata kedaulatan
itu tampil sebagai istilah politik yang banyak dipergunakan terutama oleh
sarjana-sarjana Prancis. Sarjana-Sarjana Prancis inilah yang kemudian
mempopularisasi pemakaian kata kedaulatan (souverainete).
Menurut Prof. Garner, Beaumanoir dan Loyseau sebagai sarjana-sarjana hukum yang
pertama kali menggunakan kata itu dalam abad ke-15.
Jean Bodin ketika menulis buku
tentang negara juga telah menggunakan kata kedaulatan itu dalam hubungannya
dengan negara, yakni sebagai ciri negara, sebagai atribut negara yang membedakan negara
dari persekutuan-persekutuan lainnya. Jean Bodin melihat hakikat negara pada
kedaulatannya. Ia memandang kedaulatan dari aspek internnya, yaitu sebagai
kekuasaan tertinggi dalam suatu kekuasaan politik. Sedangkan pengertian
kedaulatan ditinjau dari aspek eksternnya, yaitu aspek mengenai hubungan antara
negara, untuk pertama kali dipergunakan oleh Grotius yang lazim dianggap
sebagai bapak hukum internasional.
Bagi Bodin kedaulatan
dipersonifikasi oleh Raja. Raja yang berdaulat itu tidak bertanggung jawab
terhadap siapapun, kecuali kepada Tuhan. Raja adalah Legibus Solutus. Raja adalah bayangan Tuhan. Kedaulatan sebagai “Summa in civics ac sabditos leibusque solute
potestes”, yang berarti kekuasaan supra dari negara atas warga negara dan
rakyatnya, yang tidak dibatasi hukum. Namun kedaulatan menurut paham Bodin juga
tidak mutlak semutlak-mutlaknya. Raja harus menghormati ius naturale et gentium (hukum kodrat dan hukum antara bangsa) dan
hukum konstitusional dari kerajaan, yakni leges imperii, misalnya hukum Salis
tentang pengertian Raja. Dengan ajaran kedaulatan seperti diuraikan diatas
Bodin meletakkan dasar filosofis dari pada pengertian kedaulatan yang mutlak.
Ajaran kedaulatan yang mutlak dari
Bodin diterima juga oleh seorang absolutis lainnya, yaitu Thomas Hobbes. Dalam
ajaran Hobbes kedaulatan mencapai derajatnya yang paling mutlak. Bagi Hobbes,
adagium “Princeps legibus solutus est” betul-betul menunjukkan keadaan Raja
dizamannya; raja berada diatas undang-undang. Hobbes melanjutkan secara
konsekuen teori Bodin dengan mengemukakan bahwa para individu yang hidup dalam
keadaan alamiah menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka kepada seorang atau
sekumpulan orang. Hobbes sendiri mengutamakan penyerahan itu kepada satu orang,
yaitu Raja. Penyerahan ini adalah mutlak. Sehingga orang yang menerimanya
berdaulat mutlak pula.
Ajaran Bodin dan Hobbes kemudian dilanjutkan
oleh John Austin di Inggris. Bagi Austin yang berdaulat adalah “legibus soluta”. Yang berdaulat adalah
“pembentuk hukum yang tertinggi” (supreme
legislator) dan hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh yang berdaulat
itu. Karena itu sebagai konsekuensinya, yang berdaulat berada diatas hukum yang
merupakan hasil ciptaannya sendiri.
Konsep kedaulatan tradisional itu
memiliki beberapa ciri tertentu. Ciri itu ialah kelanggengan (permanence), sifat tidak dapat
dipisah-pisahkan (indisible),
sifatnya sebagai kekuasaan tertinggi (supreme),
tidak terbatas dan lengkap (complete).
Dengan kelanggengan dimaksudkan sifat kedaulatan yang abadi yang dimiliki
negara selama negara itu masih ada. Sifat tidak dapat dipisah-pisahkan
menunjukkan keadaan kedulatan sebagai pengertian yang bulat dan tunggal.
Kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi
dalam setiap negara. Kedaulatan tidak mengizinkan adanya saingan. Kedaulatan
tidak mengenal batas, karena membatasi kedaulatan berarti adanya kedaulatan
yang lebih tinggi. Kedaulatan itu lengkap, sempurna, karena tiada manusia dan
organisasi yang diperkecualikan dari kekuasaan yang berdaulat.
B. Hakikat
Kedaulatan
Dalam terminologi ilmu politik
modern, kata kedaulatan digunakan untuk mengartikan kemaharajaan mutlak atau
kekuasaan raja yang paripurna. Kedaulatan memiliki hak yang tidak dapat
diganggu gugat untuk memaksakan perintah-perintahnya kepada semua rakyat negara
yang bersangkutan dan sang rakyat ini memiliki kewajiban mutlak untuk menaatinya
tanpa memerhatikan apakah mereka bersedia atau tidak. Tidak ada media luar
lainnya, kecuali kehendaknya sendiri, yang dapat mengenakan pembatasan pada
kekuasaannya untuk memerintah. Tidak ada rakyat yang memiliki hak mutlak untuk
melawannya atau bertentangan dengan perintah-perintahnya. Hak apapun yang
dicabutnya akan dihapus. Sudah merupakan dalil universal dibidang hukum bahwa
setiap hak hukum hanya tercipta jika pemberi hukum menginginkannya demikian.
Oleh karenanya, jika sang pemberi hukum itu mencabutnya, keberadaannya
dilenyapkan, dan sesudahnya hak yang telah dihapuskan tersebut tidak dapat
dituntut. Hukum tercipta melalui kehendak kedaulatan serta meletakkan semua
rakyat negara dibawah kewajiban untuk menaatinya. Tetapi tidak ada hukum yang mengikat
kedaulatan itu sendiri. Dengan kata lain, ia adalah otoritas mutlak, dan dengan
demikian, sepanjang berkaitan dengan perintah-perintahnya, tidak akan dan tidak
boleh muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai baik buruk, benar dan salah, dan
sebagainya. Apapun yang dilakukannya adalah dalil, dan tidak seorangpun dapat
mempertanyakan tindakan, perintah serta penegakan perintah-perintah tersebut
perilakunya merupakan kriteria bagi benar dan salah dan tidak seorangpun yang
boleh mempertanyakannya.
Tidak ada satupun yang kurang
memenuhiunsur-unsur diatas yang dapat diistilahkan sebagai kedaulatan. Tetapi
kedaulatan ini tetap hanya sekedar anggapan dasar hukum sepanjang tidak ada
oknum aktif yang mampu menegakkannya. Oleh karenanya, secara ilmu politik, kedaulatan
hukum tanpa kedaulatan politik tidak memiliki keberadaan praktis. Jadi secara
alamiah, kedaulatan politik berarti pemilikan wewenang untuk menegakkan
kedaulatan hukum.
Apakah ada sistem monarki dimana
kerajaan yang bersangkutan memiliki semua atribut kedaulatan itu dewasa ini,
atau pernah memilikinya dimasa lalu, atau dapat diharapkan untuk memilikinya
dimasa yang akan datang? Bolehkah kita menelaah kasus semua monarki raksasa
serta menganalisis semua mitos kedaulatannya untuk menemukan bahwa semua kewenangan
yang dinikmatinya dalam kenyataan dibatasi oleh sejumlah faktor ekstern yang
berada diluar kontrol dari apa yang disebut sebagai kedaulatan ini.
C. Macam –
Macam Kedaulatan
Dilihat dari istilah dan
pengertiannya, Kedaulatan
adalah kekuasaan tertinggi dalam Negara, dan untuk mengetahui siapakah pemegang
kedaulatan itu, maka kedaulatan dapat dikelompokkan kedalam beberapa teori
kedaulatan yakni :
1.
Kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Tuhan menurut sejarahnya berkembang pada
zaman abad pertengahan, yaitu antara abad ke-5 sampai abad ke-15. Didalam
perkembangannya teori ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan agama
baru yang timbul pada saat itu yaitu agama Kristen, yang kemudian dioraganisasi
dalam satu organisasi keagamaan, yaitu gereja yang dikepalai seorang paus.
Tokoh-tokoh penganut teokrasi antara lain; Agustinus, Thomas Aquinas,
dan Marsillius. (Salim,2010 : 129)
Menurut I
Gde Pantja Astawa Prinsip dasar dari teori kedaulatan Tuhan adalah bahwa
kekuasaan dalam negara berasal dari Tuhan, oleh karena itu seorang penguasa
negara yang menjalankan kekuasaannya dalam negara hanyalah sebagai wakil Tuhan
saja dan bukan menjalankan kekuasaan sendiri atau kekuasaan milik negara.
Timbulnya ajaran kedaulatan Tuhan ini disebabkan oleh kepercayaan orang
beragama bahwa tuhanlah yang menjadi maha pencipta langit dan bumi dengan
segenap isinya, sehingga tuhan lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di
seluruh alam semesta ini.
Dalam
catatan sejarah, ajaran kedaulatan yang paling tua adalah teori kedaulatan
Tuhan, yakni yang mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Tuhan. Teori
ini sangat pesat berkembang pada abad pertengahan, ketika agama Kristen
terorganisir melalui gereja pada masa keemasan dibawa pimpinan seorang paus.
Pada waktu itu ada dua organisasi kekuasaan, yaitu organisasi kekuasaan negara
yang diperintah oleh seorang raja, dan organisasi kekuasaan gereja yang dikepalai
paus, karena pada saat itu organisasi gereja tersebut mempunyai alat – alat
perlengkapan yang hampir sama dengan alat – alat perlengkapan organisasi
negara.
Organisasi
gereja pada saat itu mempunyai kekuasaan yang nyata dan dapat mengatur
kehidupan negara, tidak saja yang bersipat keagamaan, tetapi sering juga
bersipat keduniawian, maka tidak jarang kalau kemudian timbul dua peraturan
untuk satu hal, yaitu peraturan dari negara dan peraturan dari gereja. Selama
antara dua peraturan satu sama lain tidak bertentangan, maka selama itu pula
tidak ada kesulitan dari warga untuk metaatinya. Akan tetapi apabila peraturan
peraturan itu saling bertentangan satu sama lain, maka timbulla persoalan,
peraturan yang berasal dari manakah yang berlaku? Artinya antara kedua
peraturan itu, yang manakah yang lebih tinggi tingkatannya, maka peraturan yang
lebih tinggi itulah yang ditaati.
Penganut
– penganut teori kedaulatan tuhan, pada umumnya dari pemikir – pemikir negara
dan hukum yang menganut teori teokrasi. Persoalan mereka sebetulnya bukan pada
siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan, karena mereka tetap
sepakat bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan.
(Astawa, I Gde Pantja, 2009 : 109)
Negara
yang pernah menganut teori ini adalah : Jepang masa kekaisaran Tenno Heika,
Vatikan, Saudi Arabia.
2.
Kedaulatan Raja
Kedaulatan raja (the kings of souveregnty) berarti
dalam Negara itu, yang berdaulat adalah raja, raja dianggap sebagai orang yang
suci, bijaksana sehingga dianggap berbeda dengan rakyat (warga
negaranya) meskipun sama-sama manusia. Posisi raja dalam hal ini
adalah sangat kuat dan tidak ada yang menandingi pada saat itu.
Menurut Marsilius, kekuasaan tertinggi dalam Negara berada
di tangan raja, karena raja adalah wakil Tuhan atau semacam diberi amanah dari
Tuhan untuk berkuasa atas rakyat dan berhak melakukan apa saja karena
menurutnya semua tindakannya itu sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan.
bahkan raja merasa berkuasa menetapkan kepercayaan atau agama yang harus dianut
oleh rakyatnya atau warga negaranya.
Kekuasaan mutlak yang ada pada raja,
sehingga terjadi penyelewengan kekuasaan kedalamtyranny. Seperti yang terjadi
di Prancis pada masa pemerintahan raja Louis IV yang menyatakan “Negara
adalah saya (I’etat cest moi)”. Pada saat itu banyak keluarga raja yang
berpesta pora diatas kesengsaraan rakyat, yang menyebabkan rakyat tidak lagi
percaya pada kekuasaan tertinggi yang berada ditangan raja. "Ahmad
Azhar Basyir yang dipetik dalam: ni;matul huda, Ilmu Negara (yogyakarta:
UII)" Kemudian rakyat mulai memberontak terhadap kekuasaan raja
dan mulai menyadari kekuatannya sendiri sebagai “rakyat” yang
beridentitas dan berhak.
3.
Kedaulatan Hukum
Menurut
teori kedaulatan hukum atau rechts-souvereiniteit, kekuasaan tertinggi di dalam
suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena itu baik raja atau penguasa
maupun rakyat atau warga Negaranya, bahkan Negara itu sendiri semuanya tunduk
kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai atau
menurut hukum. Kemudian terjadi pertentangan diantara para ahli penganut
paham berbeda yakni antara Krabbeyang menganut teori kedaulatan hukum
denganJellineck yang menganut paham kedaulatan Negara. Jellineck mengemukakan
teorinya “selbstbindung” yang isinya antara lain bahwa Negara
harus tunduk secara sukarela kepada hukum.
Kemudian
Krabbe yang menganut aliran historis yang pelopori oleh Von savigny, yang
mengatakan bahwa “hukum timbul bersama kesadaran hukum masyarakat.
Hukum tidak tumbuh dari kehendak atau kemauan Negara, maka berlakunya hukum
terlepas dari kemauan Negara.” Alasan ini dikemukakan sebagai jawaban,
bahwa kalau benar Negara yang berkuasa, apa sebabnya Negara itu patuh kepada
hukum dan dapat dihukum. Bukankah Negara berkuasa membuat undang-undang?
bagaimana mungkin Negara yang berkuasa secara sukarela mengikat dirinya dengan
undang-undang itu. Tokoh-tokoh penganut
teori ini adalah: Krabbe, Negara
yang menganut teori kedaulatan hukum adalah : Belanda, Swiss dll.
4. Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan
rakyat (popular sovereignty) dimaksudkan kekuasaan rakyat
sebagai tandingan atau imbangan terhadap kekuasaan penguasa tunggal atau yang
berkuasa. Ajaran kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya pemilihan umum yang
menghasilkan dewan-dewan rakyat yang mewakili rakyat dan yang dipilih langsung
atau tidak langsung oleh warga Negara.
Paham kedaulatan rakyat itu sudah
dikemukakan oleh kaum monarchomachen seperti Marsilio, William Ockham,
Buchanan, Hotman dan lain-lain. Mereka inilah yang mula-mula sekali
mengemukakan ajaran bahwa, rakyatlah yang berdaulat penuh dan bukan raja,
karena raja berkuasa atas persetujuan rakyat. Ajaran kaum monarchomachen ini
kemudian dilanjutkan oleh John Locke dan kemudian J.J Rousseau.
Menurut Locke, memang rakyat
menyerahkan kekuasaan-kekuasaannya kepada Negara. Dengan demikian Negara
memiliki kekuasaan yang besar. Tetapi kekuasaan ini ada batasnya, batas itu
adalah hak alamiah dari manusia, yang melekat padanya ketika manusia itu lahir.
Hak ini sudah ada sebelum Negara terbentuk. karena itu, Negara tidak bisa
mengambil atau mengurangi hak alamiah itu. Tokoh-tokoh
penganut teori ini adalah: JJ. Rousseau
Negara
yang menganut teori kedaulatan rakyat adalah : Amerika Serikat, Perancis dll.
5. Kedaulatan Negara
Kata
“daulat” dalam pemerintahan berasal dari kata “daulah” (bahasa Arab) yang
berarti “kekuasaan tertinggi”. Pemerintah yang berdaulat berarti pemerintahan
yang mempunyai kekuasaan tertinggi atas rakyatnya di dalam suatu Negara.
Menurut Jean Bodin (1500 – 1596), seorang ahli pikir dari Prancis, kedaulatan
adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu Negara.
Kedaulatan mempunyai sifat-sifat pokok, yaitu asli, permanen, tunggal, dan
tidak terbatas.
a)
Asli, artinya kekuasaan
itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
b)
Permanen, artinya
kekuasaan itu tetap ada selama Negara itu berdiri sekalipun pemegang kedaulatan
sudah berganti-ganti.
c)
Tunggal (bulat),
artinya kekuasaan itu merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam Negara
yang tidak diserahkan atau dibagi-bagikan kepada badan-badan lain.
d)
Tidak terbatas
(absolut), artinya kekuasaan itu tidak dibatasi oleh kekuasaan lain. Sebab,
kalau ada kekuasaan lain yang membatasinya, tentu kekuasaan tertinggi yang
dimilikinya itu akan lenyap.
Kekuasaan
tertinggi yang dimiliki oleh pemerintah mempunyai kekuataan yang berlaku ke
dalam dan keluar.
a)
Kedaulatan ke dalam,
artinya pemerintah memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan
organisasi Negara sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
b)
Kedaulatan ke luar,
artinya pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada
kekuatan lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Demikian juga,
Negara lain harus pula menghormati kekuasaan Negara yang bersangkutan, dengan
tidak mencampuri urusan dalam negerinya.
Ajaran kedaulatan negara sebenarnya
merupakan kelanjutan dari ajaran kedaulatan raja. Ajaran ini timbul di Jerman
untuk mempertahankan kedudukan raja yang pada waktu itu mendapatkan dukungan
dari tiga lapisan masyarakat yang besar sekali pengaruhnya yaitu:
a. Golongan
bangsawan atau Junkertum
b. Golongan
angkatan perang atau Militair
c. Golongan
alat-alat pemerintah atau Birokrasi
Oleh
karena negara itu mempunyai arti yang abstrak, timbul pertanyaan siapakah yang
memegang kekuasaan negara? Yang memegang kekuasaan dalam negara adalah raja
sendiri. Pengertian negara yang abstrak itu dikonkretkan dalam tubuh raja.
Ajaran ini disebut Verkulpringstheorie
yang artinya negara menjelma dalam tubuh raja.
Pada hakikatnya ajaran ini sama
dengan ajaran kedaulatan raja, hanya ajaran itu dibuat sedemikian rupa hingga
dapat diterima oleh rakyat karena berpangkal pada kedaulatan rakyat dan memberi
kedok bagi kedaulatan raja yang sudah usang. Karena itu kedaulatan negara
sering juga disebut sebagai kedaulatan raja-raja modern atau moderneverstenso uvereiniteit. Ajaran
ini mendapat tantangan dan diantaranya tantangan itu datang dari Krabbe dengan
mengemukakan ajaran kedaulatan hukum atau oleh Dicey disebut rule of law.
Para penganut teori kedaulatan
negara menyatakan, bahwa kedaulatan ini tidak ada pada Tuhan, seperti yang
dikatakan oleh para penganut teori kedaulatan Tuhan (Gods-souvereiniteit), tetapi ada pada negara. Negaralah yang
menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara
disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan
hukum, jadi adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun yang
berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Penganut teori kedaulatan negara
ini antara lain Jean Bodin dan George Jellinek.
Pada hakikatnya teori kedaulatan
negara itu atau staats-souvereiniteit,
hanya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, entah kekuasaan
itu bersifat absolut, entah sifatnya terbatas dan ini harus dibedakan dengan
pengertian ajaran Staat-absolutisme.
Karena dalam ajaran Staat-absolutisme itu
pada prinsipnya hanya dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara,
kekuasaan tertinggi ini mungkin bersifat absolut, tetapi mungkin juga bersifat
terbatas. Sedang dalam ajaran Staat-absolutisme
dikatakan bahwa negara kekuasaan itu sifatnya absolut, jadi berarti tidak
mungkin bersifat terbatas, dalam arti bahwa negara itu kekuasaannya meliputi
segala segi kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara itu
tidak lagi mempunyai kepribadian.
George Jellinek mengatakan bahwa
hukum itu adalah merupaka penjelmaan dari pada kehendak atau kemauan negara. Jadi
negaralah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap sebagai satu-satunya
sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.
Diluar negara tidak ada satu orangpun yang berwenang menetapkan hukum. Maka
dalam hal ini berarti bahwa adat kebiasaan, yaitu hukum yang tidak tertulis,
yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi yang nyata-nyata berlaku
didalam masyarakat, tidak merupakan hukum. Dan memang demikian juga kalau
menurut Jean Bodin; sedangkan kalau menurut Jellinek adat kebiasaan itu dapat
menjadi hukum, apabila itu sudah ditetapkan oleh negara sebagai hukum.
Dilihat sepintas lalu, dimilikinya
kekuasaan tertinggi oleh negara ini bertentangan denga hukum internasional
sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan internasional terutama
hubungan antarnegara. Dapat dikemukakan bahwa hukum internasional tak mungkin
mengikat negara-negara apabila negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang
tidak mengakui sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi diatasnya.
Jika pandangan ini benar, maka
kedaulatan memang bertentangan dengan hukum internasional, bahkan boleh
dikatakan bahwa paham kedaulatan demikian pada hakikatnya merupakan
penyangkalan terhadap hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang
mengikat bagi negara-negara dalam hubungannnya satu sama lain.
Tidaklah mengherankan jika didalam
dunia ilmu hukum internasional terdapat sarjana-sarjana yang menganggap
kedaulatan negara sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan masyarakat
internasional dan bagi perkembangan hukum internasional yang mengatur kehidupan
masyarakat demikian. Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat internasional
dewasa ini merupakan suatu masyarakat yang terdiri terutama dari negara-negara
yang bebas satu dari yang lainnya. Selain didasarkan atas suatu anggapan yang
keliru tentang hakikat daripada masyarakat dunia dewasa ini, sehingga serangan
atas paham kedaulatan salah sasaran, maka paham yang mengatakan bahwa
kedaulatan itu merupakan penghalang bagi pertumbuhan hukum internasional juga
didasarkan atas pengertian kedaulatan yang keliru.
Menurut
asal katanya kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat
memang berarti negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi
daripada kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan lain, negara memiliki monopoli
daripada kekuasaan, suatu sifat khas daripada organisasi masyarakat dan
kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi membenarkan orang perseorangan yang
mengambil tindakan-tindakan sendiri apabila ia dirugikan. Walaupun demikian,
kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batasnya. Ruang berlaku kekuasaan
tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, artinya suatu
negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi didalam batas-batas wilayahnya.
Diluar wilayahnya suatu negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Jadi
pembatasan yang penting ini melekat pada pengertian kedaulatan itu sendiri
dilupakan oleh orang yang beranggapan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh suatu
negara menurut paham kedaulatan itu tidak terbatas.
Suatu negara lazim dianggap bebas
dan berdaulat hanya terhadap atau didalam wilayahnya sendiri. Pengertian
kedaulatan pada masa sekarang lebih sempit daya berlakunya apabila dibandingkan
dengan pengertian kedaulatan pada abad ke 18 dan 19. Hal ini disebabkan oleh
pertumbuhan negara-negara nasional yang tidak mengenal adanya
pembatasan-pembatasan terhadap otonomi negara. Pada waktu sekarang dapat
dikatakan hampir tidak terdapat lagi negara yang menolak pembatasan terhadap
kebebasan negaranya demi kepentingan masyarakat internasional secara
keseluruhan. Dikatakan demikian karena negara-negara itu adalah anggota
masyarakat internasional dan juga sebagian besar adalah anggota
organisasi-organisasi internasional seperti PBB. Kepada mereka diberikan
kewajiban-kewajiban yang pada dasarnya membatasi kebebasan mereka yang pada
mulanya leluasa dalam melaksanakan kebijaksanaan internasional.
Dari sudut praktik, maka perbedaan
kedaulatan negara terletak pada derajatnya yang berbeda-beda antara satu negara
dengan negara lainnya. Sebagian negara memiliki kekuasaan dan kebebasan lebih
besar daripada negara lainnya. Enyataan ini menghadapkannya kepada perbedaan
antara negara-negara merdeka atau berdaulat dengan negara atau entitas (entity) yang tidak memiliki kemerdekaan
atau kedaulatan.
Apabila dikatakan bahwa sebuah
negara tertentu merdeka dan berdaulat, maka kepada negara tersebut diletakkan
sejumlah hak tertentu dalam hukum internasional. Selain hak yang dimiliki
negara tadi, maka pada saat yang bersamaan melahirkan pula kewajiban bagi
negara lain untuk menghormati hak-hak tadi. Kewajiban-kewajiban yang dapat
mengikat negara yang bebas dan berdaulat, misalnya:
1) Kewajiban
untuk tidak menjalankan kedaulatannya pada teritorial negara lain.
2) Kewajiban
untuk tidak memperkenankan warga negaranya melakukan perbuatan-perbuatan yang
melanggar kebebasan atau supremasi wilayah negara lain.
3) Kewajiban
untuk tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
Tunduknya suatu
negara kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional merupakan suatu
syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur.
Mengingat bahwa kehidupan suatu masyarakat internasional yang teratur hanya
mungkin dengan adanya hukum internasional , maka keharusan tunduknya
negara-negara pada hukum internasional yang mengatur hubungan antara
negara-negara yang berdaulat itu merupakan kesimpulan yang tidak dapat
dielakkan lagi. Tokoh-tokoh
yang menganut teori ini adalah: Jean Bodin dan Georg Jellinek.
Negara
yang pernah menganut teori ini adalah : Jerman masa pemerintahan Hitler, Italia
masa pemerintahan Mussolini.
D.
Penerapan Teori Kedaulatan di Indonesia
Salim mengatakan untuk mengkaji dan menganalisis
tentang teori kedaulatan yang diterapkan di Indonesia, tentu kita harus
mengkaji dan menganalisis substansi undang – undang dasar yang pernah berlaku
di Indonesia. Undang – undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia meliputi :
1)
UUD 1945;
2) Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949;
3)
UUDS 1950;
4)
UUD 1945 hasil
Dekrit 5 Juli 1959; dan
5)
UUD 1945 hasil
amendemen.
UUD 1945 yang yang ditetapkan pada tanggal 17 Agustus
1945 hanya berlaku selama lima tahun, yaitu dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai
dengan 26 desember 1949. UUD 1945 terdiri atas 27 bab dan 4 pasal aturan
peralihan, serta 2 ayat aturan tambahan. Dalam pasal 1 ayat (2) UUD 45 telah
ditentukan jenis kedaulatan yang dianut dalam penyelenggaraan negara. Dalam
ketentuan itu ditentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Berdasarkan ketentuan ini, jelaslah bahwa teori
kedaulatan yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah teori kedaulatan rakyat.
Artinya kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan rakyat, kekuasaan
tertinggi dilaksanakan oleh MPR.
Sejak terjadi gelombang reformasi pada tahun 1997, rakyat
menghendaki suatu perubahan radikal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu yang telah dilakukan perubahan adalah perubahan terhadap UUD 1945.
Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ditentukan bahwa kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang – undang dasar. Pada saat ini,
rakyat mempunyai hak yang sangat besar di dalam memilih anggota – anggota MPR,
anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden. Sementara itu, kedudukan
MPR saat ini hanya melantik presiden dan wakil presiden. Kesimpulannya bahwa
teori kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945 yang telah diamandemen adalah teori
kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. (Salim.2010 : 135)
Menurut Ronalto Tan mengatakan Selain dari penganut
jenis kedaulatan rakyat, ternyata UUD Negara RI Tahun 1945, juga menganut jenis
kedaulatan hukum. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam Pasal 1 ayat 3 UUD
1945, isinya adalah negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya negara
kita bukan negara kekuasaan. Bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur menurut hukum yang
berlaku. Misalnya peraturan berlalu lintas di jalan raya diatur oleh peraturan
lalu lintas. Menebang pohoh dihutan diatur oleh peraturan, supaya tidak terjadi
penggundulan hutan yang berakibat banjir, dan contoh lainnya.
Pasal 27 ayat 1
UUD 1945 juga merupakan dasar bahwa negara kita menganut kedaulatan hukum isi
lengkapnya adalah segala warga negara bersamaan kedudukkanya dalam hukum dan
pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada
kecualinya. Maknanya bahwa setiap warga negara yang ada di wilayah negara kita
kedudukan sama di dalam hukum, jika melanggar hukum siapapun akan mendapat
sanksi. Misalnya rakyat biasa, atau anak pejabat jika mereka melanggar harus
diberikan sanksi, mungkin berupa kurungan (penjara) atau dikenakan denda.
Jadi
negara Republik Indonesia secara tidak langsung menganut 2 toeri kedaulatan
yang dibuktikan di dalam UUD 1945, karena dalam suatu negara tidak menutup
kemungkinan menganut sebanyak teori yang ada asalkan semua teori tersebut tidak
ada yang bertentangan, maka selama itu pula tidak ada
kesulitan dari warga untuk mentaatinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Astawa, I Gde Pantja & Suprin Na’a. 2009. Memahami ilmu negara & teori negara.
Bandung : PT. Refika Aditama
Huda, Ni’Matul. 2010. Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja grafindo
Persada
Nur
Andriyan, Dody. http://dodynurandriyan.blogspot.com/2010/06/kedaulatan-negara-dalam-uud-1945.html (diakses tgl 23/02/2014 jam 01.00)
Prabandari,
Westri. http://blogbelajar-pintar.blogspot.com/2013/09/pengertian-kedaulatan-negara.html (diakses tgl 23/02/2014 jam 02.50)
Salim. 2010. Perkembangan
Teori dalam Ilmu Hukum. Jakarta :
PT Raja grafindo Persada
Schmandt, Henry J. 2009. Filsafat Politik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Syafiie, Inu Kencana. 2001. Filsafat pemerintahan. Jakarta : PT
perca
(diakses tgl 27/02/2014 jam 01.31)