Memosisikan Bodin sebagai pemikir
politik didasarkan pada dua karya utamanya, Method
for the Easy Understanding of History (metode
memahami sejarah secara mudah) yang ditulis pada tahun 1566 dan Les Six livres de la Republique (six books
on the state / enam karya tentang negara) yang di tulis pada tahun 1576 M.
Pada buku yang pertama Bodin berkonsentrasi pada penafsiran dan penjelasan
tentang signifikansi sejarah. Adapun pada buku kedua, ia berkonsentrasi pada
penjelasan tentang pemerintahan. Ketika menaruh perhatian pada studi sejarah,
ia lebih mementingkan penafsiran atau penjelasan rasional, bukan atas kejadian
atau peristiwa sejarah.
Menurut Bodin, manusia sendirilah
yang menciptakan peristiwa-peristiwanya. Oleh karena itu, ia sendiri pulalah
yang menciptakan sejarahnya dengan pengaruh cuaca seperti hujan, angin dan
topografi, dan mengikuti jalan kejadian-kejadian sejarah. Oleh karena itu,
Bodin menarik kesimpulan bahwa lingkungan alam mempunyai pengaruh pada manusia
dan sejarahnya, serta arah politiknya yang juga merupakan bagian sejarah.
Atas dasar itu, Bodin di daulat sebagai orang
pertama yang memperkenalkan sejarah filsafat dengan pemaknaan baru. Bodin
menafikan unsur-unsur tidak rasional yang oleh banyak tokoh sering
disebut-sebut sebgai penentu jalan sejarah. Sebagaimana halnya dalam
studi-studinya, ia menafikan unsur-unsur tidak rasional itu sebagai penggerak
manusia sebagaimana yang disangka oleh banyak pemikir. Mengenai studi sejarah
manusia, Bodin menganggapnya hanya sebagai ilmu murni yang dapat dicerna dan di
analisis oleh akal. Ia tinggal menjelaskan motif-motif dan sebab-sebabnya yang
hakiki.
Bagi Bodin, sejarah bukanlah mata
rantai buta dari rangkaian peristiwa yang tidak saling memiliki ikatan. Sejarah
baginya adalah relasi-relasi rasional bagi peradaban, kebudayaan dan tatanan
kemanusiaan. Sejarah tumbuh, berkembang, kemudian membesar, dan mati karena
faktor-faktor kemanusiaan dan motif-motif yang tunduk pada kepentingan
rasional.
Karya Bodin, Les six livres de la
Republique, juga di daulat sebagai karya yang pertama kali bicara tentang ilmu
politik dengan pemaknaan yang baru pula. Perhatian Bodin terhadap politik
dibangun diatas dasar penafsiran ilmiah terhadap fenomena-fenomena politik. Ia
merajut rangkaian politik berdasarkan pengetahuan ilmiah, tanpa melihat faktor
kekuatan gaib atau ketuhanan. Bodin berusaha meletakkan mahzab filsafat dalam
pemikiran-pemikiran politik.
Kelebihan karya Bodin diatas semakin
tampak ketika ia membebaskan konsep kekuasaan yang memiliki kedaulatan dari
benteng-benteng ketuhanan. Karyanya itu dipandang sebagai pembelaan terhadap
politik dan pemerintahan monarki melawan partai-partai politik. Inti pikiran
para pakar politik dan beberapa tokoh yang menulis bahwa kekuasaan kerajaan
berkisar tentang asas pemersatu. Oleh karena itu, mereka mencurahkan segenap
pemikirannya untuk menjadikan kerajaan sebagai pusat pemersatu warga ngara,
diatas mahzab-mahzab agama dan partai-partai politik. Ciri terpenting dari mahzab
politik kelompok ini adalah gagasan toleransi agama, yakni mewujudkan toleransi
terhadap agama-agama yang ada dalam satu negara. Jika tujuan mereka adalah
memelihara ikatan nasionalisme Perancis, karya Bodin diatas bertujuan
menetapkan dasar-dasar kesatuan yang wajib dianut oleh suatu negara.
Dalam studinya terhadap sejarah,
Bodin meyakini bahwa ia mengikuti metode baru yang mengaitkan antara filsafat
dan sejarah. Ia meyakini bahwa filsafat akan mati apabila tidak membangkitkan
kehidupan sejarah. Ia pun meyakini bahwasanya sejarah akan mengalir apabila
mendapat perhatian serius untuk dipelajari. Sejarah seolah-olah merupakan
rangkaian peristiwa kemanusiaan secara individu yang tidak dapat dicerna akal
dan tidak tunduk pada penafsiran. Oleh karena itu, sejarah terkesan tidak
mengandung makna.
Menurut kami, bagi Bodin, tidak ada
mahzab jelas yang dapat membantunya dalam menyusun materi-materi sejarahnya.
Karya-karyanya sendiri membutuhkan anotasi dan syarah, terutama tentang contoh-contoh
peristiwa sejarah, yang menawarkan perincian terhadap pembaca.
Teori kedaulatan (sovereignty) adalah kontribusi pertama
kali yang diberikan Bodin dalam pemikiran politik. Walaupun teori ini telah ada
dalam hukum Romawi, Bodin adalah orang yang pertama kali menguraikan teori ini
secara mendalam dan sempurna. Ia adalah orang yang pertama kali menempatkan
teori tersebut dalam filsafat politik.
Menurut Bodin, negara adalah
sekumpulan keluarga dan hak-hak propertinya yang diikat dan disatukan oleh
kekuatan besar dan akal. Unsur terpenting yang terkandung dalam defenisi diatas
adalah prinsip kedaulatan yang juga merupakan bagian terpenting dalam filsafat
politik Bodin. Ia melihat bahwa kedaulatan yang memiliki kekuasaan adalah yang
membedakan negara dari kumpulan lain yang dibentuk oleh sekumpulan keluarga,
bukan individu. Bodin berpendapat bahwa individu tidak memiliki kepentingan
apapun dalam struktur politik. Individu mempunyai pengaruh tatkala cair atau
bergabung dengan sebuah kelompok. Oleh karena itu, Bodin berpendapat bahwa
negara bukanlah kumpulan individu. Negara dibentuk oleh kumpulan sosial.
Keluarga adalah inti utama dalam masyarakat. Keluarga dapat saja terdiri dari
organisasi perdagangan, gereja, dll. Interaksi kumpulan-kumpulan ini dilakukan
melalui jalur kekerabatan, adat, kesepakatan atau jalur lainnya. Adapun negara
diikat melalui jalur kekuatan.
Adapun kedaulatan menurut Bodin
ada;ah kekuatan besar yang dapat mengendalikan rakyat. Kekuatan ini tidak saja
besar, tetapi juga kekal. Sebab, apabila keadaannya dibatasi oleh zaman, ia
tidaklah besar.
Pembahasan Bodin tentang kekuatan
besar sampai pada uraian tentang unsur-unsur kekuatan ketuhanan. Ia
menggandengkan kekuatan Tuhan secara langsung dengan hukum sipil dan tindakan
orang yang keluar dari hukum sipil. Alasannya, pemimpin maupun rakyat sama-sama
harus tunduk pada hukum Tuhan dan hukum alam. Orang yang berusaha lari dari dua
hukum ini tidak mungkin dapat lari dari kekuatan Tuhan. Adapun percobaan untuk
bebas dari kepemimpinan dan kekuatannya yang menekan hanya menyangkut hukum
sipil.
Lebih lanjut, Bodin menjelaskan
bahwa kedaulatan adalah kemauan paling tinggi yang memungkinkan ada dalam
masyarakat. Peran utama bagi pokok dan kedaulatan adalah menerapkan hukum-hukum
pada rakyat dan individu, bukan pada para pemimpin. Sebab, pemimpin adalah
sumber hukum. Ketika bentuk pemerintahan ideal berada pada monarki, yakni
pemerintahan yang dipegang oleh satu orang, akan muncul beberapa pertanyaan
yang berkisar seputar adanya keterikatan raja dengan hukum. Bodin menjelaskan
bahwa raja tidak mungkin terikat dengan hukum yang telah dibuatnya. Kekuasaan
raja tidak tunduk pada hukumnya. Namun, hukum Tuhan dan hukum alam mengatur
segala bentuk kekuasaan. Dengan demikian, raja membuat hukum bumi, tapi tidak
tunduk padanya. Namun, ia tidak membuat hukum Tuhan dan hukum alam yang
karenanya ia harus tunduk kepada keduanya. Tentang hukum sekuler (duniawi) ini,
Bodin menjelaskan,
“Hukum
sekuler bersandar pada kekuatan besar dalam negara (yakni, raja). Oleh karena
itu, raja berkuasa menerapkan hukum pada rakyatnya, sedangkan ia sendiri tidak
terikat oleh hukum itu”
Dengan
demikian, kedaulatan merupakan sesuatu yang luhur yang digunakan untuk
mengendalikan rakyat, yang tidak dapat dibatasi hukum. Hanya saja, Bodin
menegaskan bahwa pemimpin terikat oleh hukum Tuhan dan hukum alam. Seiring
dengan defenisi hukum yang dirumuskannya, yakni aturan yang muncul dari kemauan
pemimpin, Bodin tidak mengizinkan seorang pemimpin mengeluarkan hukum atas
dasar hawa nafsu. Alasannya, pemimpin tunduk pada hukum alam yang berada diatas
manusia dan yang mengeluarkan kebenaran untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak
mungkin untuk diubah. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang baik bagi Bodin
adalah yang tunduk pada hukum alam. Ia memimpin pada hukum sekuler yang dibuat
pemimpin.
Pusaran
filsafat politik Bodin terdapat pada teorinya tentang kedaulatan ini. Dunia
memang mengenalnya sebagai salah seorang peletak teori itu. Namun, untuk
teorinya itu, sebenarnya pula pada beberapa teori. Agar tersusun tatanan politik
secara sempurna, Bodin mengharuskan pembedaan antara negara dan pemerintahan.
Oleh karena itu, ia mengkritik Aristoteles yang tidak melakukan pembedaan
secara jelas antara negara dan pemerintshsn.
Dalam
hal ini, Bodin menegaskan bahwa bukan merupakan suatu keharusan menyelaraskan
bentuk pemerintahan dengan bentuk negara. Bentuk negara dibatasi oleh
unsur-unsur kekuasaan yang ada didalamnya. Oleh karena itu, Bodin membagi
bentuk negara pada monarki, aristokrasi dan demokrasi. Setiap bentuk ini bisa
saja menerapkan bentuk pemerintahan yang berbeda. Negara demokrasi misalnya
bisa saja menerapkan bentuk pemerintahan monarki, dimana kekuasaan berada pada
seorang raja. Sebagaimana halnya kepemimpinan pemerintahan republik terkadang
berada ditangan satu oarang, yakni kepala negara. Sebenarnya Bodin lebih
mengutamakan bentuk monarki sebagai bentuk pemerintahan, tetapi ia tidak
merinci alasannya.
Berdasarkan
paparan diatas, tampaknya Bodin hanya melihat tiga bentuk pemerintahan, yaitu
monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Faktor pembeda diantara tiga bentuk itu
terletak pada jumlah pemegang kekuasaan. Ketika kekuasaan berada pada
sekelompok kecil, pemerintahan itu disebut aristokrasi. Ketika kekuasaan berada
pada mayoritas atau rakyat, pemerintahan itu disebut demokrasi. Ketika
kekuasaan berada ditangan satu orang, pemerintahan itu disebut monarki.
Bodin melihat bahwa negara itu
seperti individu. Ia lahir, tumbuh, berkembang, kemudian hancur dan mati.
Sesungguhnya revolusi dan perubahan dalam masyarakat tidak mungkin berdiri,
kecuali jika bentuk pemerintahan dan kekuasaan berubah. Artinya jika terjadi
perubahan total dalam undang-undang, agama dan tatanan lainnya, sesungguhnya ia
bukanlah revolusi. Namun, ketika kekuatan besar berubah, misalnya dari monarki
berubah menjadi aristokrasi, maka inilah yang dinamakan revolusi hakiki.
Pandangan Bodin tentang revolusi
sesungguhnya bersifat ilmiah. Sebab, ia melihat bahwa faktor topografi geografi
memberikan saham besar pada kejdian-kejadian revolusi. Disini, Marxy menegaskan
bahwa Bodin adalah seorang pemikir baru karena menawarkan gambaran lebih luas
daripada para pemikir lainnya.
Konstribusi lainnya yang diberikan
Bodin dalam filsafat politik adalah ketika ia membahas kewarganegaraan (citizenship). Baginya, warga negara
adalah rakyat biasa bagi suatu negara. Ia tidak punya hak sharing dalam pemerintahan. Ia memiliki kekuatan paling rendah.
Sebagaimana ia tidak sejajar dengan para pemimpin masyarakat. Warga negara, menurut
Bodin, hanya berkewajiban taat kepada pemimpin. Dunning berkata,
“Warga
negara bukanlah unsur pertama bangunan politik. Unsur pertama sbangunan politik
adalah keluarga dan kelompok. Warga negara adalah anggota dari suatu keluarga
atas kelompok dengan keagamaan kapasitasnya didalamnya. Adapun pengertian Bodin
tentang ‘warga negara adalah manusi merdeka yang tunduk pada kekuasaan yang
berada pada diri seseorang selain dirinya’. Bebas disini tidak dimaksudkan
kebebasan pemilihan, atau kebebasan berpendapat, atau kebebasan dengan makna
politis, baik secara luas atau sempit. Bebas yang dimaksud disini adalah bukan
hamba sahaya. Dengan defenisi seperti ini, Bodin tidak memasukkan hamba sahaya
sebagai warga negara.”
Filsafat politik Bodin berpegaruh
pada pemikiran abad ke 17. Sejarah politik pada abad ini berkisar sekitar
kedaulatan dimana Bodin adalah orang yang pertama kali mengemukakan secara
rinci, mendalam dan jelas. Bahkan,
pemikirannya berpengaruh pula terhadap
para pemikiran abad ke-18, 19, dan 20 ketika berdiri negara nasionalis, dimana
perang dunia I dan perang dunia II tidak mampu menggoyahkan kepemimpinan negara
nasionalis ini.
Parker berkata, “Bodin memiliki
kesamaan dengan Machiavelli dalam sisi arah pemikiran ke persoalan sekularitas
(ad-da’irah’ad-dunyawiyah). Hanya
saja Machiavelli mengemukakan teori kekuasaan secara prosedural, sedangkan
Bodin mengemukakan teori kekuasaan secara hukum.” Dunning berkata, “Machiavelli menempuh sebagian langkah
orientasi bangunan ilmiah terhadap politik, sedangkan Bodin menyempurnakan
langkah itu.
Bodin memperkuat filsafat politiknya
dengan sandaran teorinya tentang hukum. Kita menangkap bahwa pandangannya
tentang kewarganegaraannya seiring dengan pandangannya tentang kedaulatan dan
hukum. Kita pun memperoleh gambaran yang jelas bahwa pandangan Bodin tentang
revolusi sesuai dengan pandangannya tentang negara, mulai dari pertumbuhan,
perkembangan, kehancuran dan kematiannya. Bodin pun menegaskan bahwa revolusi
tidak akan sempurna, kecuali apabila unsur-unsur kekuasaan yang mengendalikan
negara berubah dari monarki-misalnya menjadi demokrasi, atau dari aristokrasi
menjadi demokrasi. Dengan demikian, pandangannya tentang revolusi tertata
dengan pandangannya tentang kedaulatan, hukum dan kewarganegaraan dalam sebuah bangunan
konsep politik yang sempurna. Oleh karena itu, Dunning menjelaskan bahwa
seorang filosof seperti Bodin tidak mungkin diletakkan pada kedudukan yang
jelas dalam filsafat dan sejarah politik kalau bukan karena pemikirannya yang
sempurna ini.