Apabila
Afrika sebelah selatan dan timur merupakan tempat di mana Inggris mendapat
saingan dari bangsa Jerman dalam mencari daerah – daerah pengaruh, maka di
Mesir dan Maroko saingan Inggris yang terhebat adalah Perancis. Puncak sengketa
antara dua Negara imperialis tersebut (Inggris dan Perancis) menimbulkan suatu
krisis. Masing – masing memperebutkan daerah Fashoda di Sudan. Dengan memiliki
Fashoda, di lembah sungai Nil itu. Yang kemudian juga diharapkan akan ditambah
dengan penguasaan Ethiopia, impian negeri Perancis untuk membentuk suatu “Imperium
Samudra ke Samudra” akan dapat terlaksana. Daerah Perancis di Afrika dengan
demikian akan meluas melebar dari samudra Atlantik ke laut merah, dari laut
tengah ke teluk Guinea. Semua daerah di Afrika sebelah utara Equator dengan
beberapa perkecualian di sana – sini, akan menjadi milik Perancis. Sebaliknya
dengan memiliki Sudan, maka cita – cita Inggris “Cape ke Cairo” juga akan
tercapai. Oleh karena itu maka Inggris bermaksud untuk mengusahakan dengan
keras agar Sudan dapat dikuasainya.
Pertentangan Inggris – Mesir di satu
pihak dan Sudan di pihak lain telah berkahir pada 1885, dengan kemenangan di
tangan kaum Mahdi. Khartoum jatuh dan Jenderal Gordon bersama tentaranya
dibunuh oleh kaum pemberontak. Pada 1896, pertentangan yang ke dua dimulai.
Pemerintah Inggris mengirimkan suatu ekspedisi, terdiri atas tentara gabungan
Inggris-Mesir ke Dongola, sebelah utara dari lengkungan sungai Nil di Sudan.
Ekspedisi untuk menguasai kembali Sudan bukan semata – mata suatu perbuatan
“pembalasan atas kematian Gordon pada 1885.” Alasan-alasan mengapa Inggris
tiba-tiba mengubah sikapnya terhadap Sudan ialah :
1) Beberapa
Negara-negara Eropa dalam tahun-tahun sesudah 1880 menduduki bagian-bagian dari
Sudan yang kemudian daerah-daerah itu disebut Eritrea dan Somaliland. Dalam
tahun – tahun sekitar 1890 mereka bersaing untuk mendapatkan daerah pengaruh di
wilayah yang kemudian hari terkenal dengan nama Anglo-Egyptian Sudan.
2) Kekalahan
yang hebat diderita oleh orang-orang Italia dalam pertemuan Adua (1896) melawan
orang – orang Ethiopia. Peristiwa ini mengakibatkan batas sebelah selatan Mesir
terancam oleh bahaya serangan orang – orang Derwish. Menurut laporan orang –
orang Italia, kaum Derwish itu bersekutu dengan orang – orang Ethiopia untuk
bersama – sama merebut Kassala yang dikuasai oleh Italia. Oleh sebab itu maka
Italia minta bantuan Inggris dan berdasarkan keadaan tersebut Inggris bersama
Mesir memutuskan akan mengirimkan ekspedisi ke Dongola.
3) Politik
Inggris terhadap Sudan itu adalah akibat pertumbuhan semangat imperialisme yang
sangat hebat di Inggris. Kepentingan yang paling utama terhadap penaklukan
Sudan adalah untuk penanaman modal kaum kapitalis Inggris.
4) Kemajuan
irigasi ditanah Mesir memerlukan penguasaan daerah Sudan.
Untuk
memperkuat diri didaerah sungai Nil itu Inggris mengadakan perjanjian dengan
Negara imperialis lainnya misalnya dengan Italia (1891), dengan Jerman (1893).
Pada tahun berikutnya perjanjian diadakan dengan Congo Free State.
Dalam
semua perjanjian tersebut, ketiga Negara itu mengakui, bahwa lembah sungai Nil
sebelah selatan adalah termasuk daerah pengaruh Inggris.
Pada
tahun 1894, Jerman juga mengadakan perjanjian dengan Perancis, berisi ketentuan
bahwa batas Congo Free State di sebelah utara tidak melampaui Mbomu sedang
batas Kamerun (Jerman) tidak boleh melewati Sahara, sehingga dengan demikian
Congo Perancis dapat memperluas diri ke daerah-daerah dalaman di Afrika tengah.
Kesempatan
ini digunakan sebaik-baiknya oleh Perancis. Menteri Ribotdan hanotauxmemutuskan
akan mengirimkan suatu ekspedisi dipimpin oleh Liotard dengan tugas menanamkan
kekuasaan Perancis di sekitar Bahr-el-Ghazal, dan apabila mungkin ke daerah
Nil. Akan tetapi ekspedisi Liotard itu hanya mendapat hasil yang sangat
sedikit.
Pada
februari 1896, ketika Inggris juga mengirimkan ekspedisi dengan tujuan yang
sama dan berangkat dari Afrika Timur maka Liotard di panggil kembali oleh
pemerintahannya. Sebagai gantinya, Kapten J.B. Marchand dikirim dengan tugas
melintasi Afrika menuju ke lembah Nil hulu. Pada nya di beri pengikut yang
berjumlah kecil, 213 orang Afrika dan 21 Perancis. Walaupun ekspedisi ini tidak
bersifat militer, namun Marchand juga diperintah untuk mengibarkan bendera
Tricolore di wilayah Sudan. Perancis menganggap sejak Mesir melepaskan Sudan
untuk kaum Mahdi (1885), daerah tersebut merupakan daerah yang tak bertuan.
Pemerintah
Inggris dan Mesir berkehendak sekali menguasai kembali Sudan, tetapi karena
alasan-alasan financial, Lord Cromer mula-mula belum dapat menerima saran
pengiriman ekspedisi ke daerah selatan itu. Barulah ketika Lord Salisbury dan
Chamberlain meyakinkan, bahwa untuk menentukan nasib Sudan itu Perancis telah
mengadakan hubungan dengan Negus Ethiopia dan juga mengirimkan ekspedisi maka
Cromer mau menerima saran tersebut.
Pada
februari 1896 Lord Kitcherner, seorang Sirdar Khedive Mesir, dikirim ke selatan
untuk memimpin ekspedisi Inggris-Mesir pada 23 september 1896, ekspedisi ini
sudah mencapai Dongola. Kota ini dapat direbutnya tanpa pertemuan. Akan tetapi
ekspedisi tersebut tidak hanya berhenti di Dongola. Mencapai Dongola adalah
tahapan pertama dari tujuan akhir ekspedisinya.
Dalam
1897 Kitcherner berangkat ke selatan sambil memperpanjang pemasangan jalan
kereta api. Tindakan ini merupakan sumbangan kepada realisasi proyek
pembangunan proyek jalan kereta api “Cape Cairo”, yang diimpi-impikan oleh
cecil Rhodes.
Pada
April 1898 ia bersama tentaranya sebanyak 20.000 orang berhasil mengalahkan
kaum Derwish di Atbara. Dari kota ini serangan diteruskan ke Omdurman, salah
satu benteng kaum Mahdi. Sesudah memberikan perlawanan seru, Omdurman jatuh
ketangan tentara Inggris-Mesir. Khalifa diikuti pemimpin – pemimpin lainnya
antara lain Uthman Diqna dan ribuan Penganutnya melarikan diri menuju kearah
selatan dan selanjutnya menyelinap kearah barat. Jalan ke Khartoum sekarang
terbuka. Lord Cromer memerintahkan agar bendera Inggris dan Mesir dikibarkan
berdampingan di kota tersebut (September 1898).
Ketika
Kitchener sampai di Fashoda pada 19 september 1898, terjadilah suatu krisis.
Inggris dan Perancis adalah pesaing lama di daerah lembah sungai Nil dan pada
waktu itu kedua tokoh wakil Negara-negara tersebut bertemu di Fashoda. Kemudian
Kitchener berkata kepada Marchand bahwa berkibarnya benderan Perancis di
fashoda itu merupakan pemerkosaan langsung terhadap kekuasaan Mesir, karena
daerah tersebut adalah milik yang mulia Khedive.
Bahaja
perang mengancam Inggris dan Perancis. Bagi Inggris masalah daerah Sudan
merupakan persoalan yang gawat. Pada saat itu Inggris masih tetap berpijak pada
politik isolasi sedang Perancis sejak 1893 telah tergabung dalam dual Alliance
bersama Rusia. Keadaan yang sangat kritis bagi Inggris ini akan dipergunakan
Jerman untuk memperkuat aliansinya.
Sejak
1895 Jerman ingin meyeret Inggris ke dalam triple Alliance, menurut perhitungan
Jerman, Inggris tidak mungkin dapat mengadakan hubungan baik dengan Perancis
karena kedua negeri tersebut telah bermusuhan berabad-abad lamanya. Kecurigaan
Inggris terhadap Perancis makin bertambah ketika pada 1893 terbentuk dual
Alliance. Tahun 1898 merupakan saat yang nampaknya sangat menguntungkan bagi
Jerman. Inggris diharapkan akan minta bantuannya untuk menghadapi Perancis,
demikian pula Perancis juga akan membutuhkan bantuannya untuk menghadapi
Inggris. Dalam kesempatan inilah kaisar Wilhelm II akan merialisasi
cita-citanya ialah membentuk “liga kontinental” yang beranggotakan Perancis,
Rusia dan Jerman. Liga ini dimaksudkan untuk menghadapi Inggris. Bagi Perancis
masalah Fashoda juga merupakan masalah yang sangat pelik. Baginya ada dua jalan
untuk mengatasi Insiden itu: menerima usul Jerman atau memenuhi tuntutan
Inggris, ialah penarikan kembali ekspedisi yang dipimpin oleh Marchand.
Perancis kala itu memutuskan untuk memenuhi tuntutan Inggris. Karena Perancis
pada waktu itu tidak siap untuk berperang.
Sebaliknya
penyelsaian masalah Fashoda tersebut merupakan kemenangan yang gemilang bagi
pemerintahan Salisbury. Sesudah tentara Perancis dievakuasikan, timbullah
kesukaran-kesukaran baru, karena terjadinya kekosongan pemerintahan di Sudan,
dan yang akan memiliki Sudan ada dua Negara Inggris dan Mesir, akhirnya
tercapailah persetujuan dengan Mesir. Pada Januari 1899 ditandatangani
perjanjian yang disebut Condominium Agreement.
Dengan perjanjian itu, Sudan diperintah oleh Mesir dan Inggris, Lord Kitcherner
ditunjuk sebagai gubernur jenderal di Angola-egyptian Sudan. (Soeratman : 77)