Sejarah
modern Sudan dimulai pada 1821. Sejak Mohamad Ali, seorang penggagas Mesir
modern, menanamkan kekuasaannya didaerah tersebut. Sejak masa itu nasib Sudan
ditentukan. Penakluk-penakluk dari utara itu, seperti halnya orang-orang arab
beberapa abad yang lalu yang melakukan eksploitasi dengan penuh kekejaman dan
korupsi, tetapi disamping itu juga memasukkan peradaban. Kepala pemerintahan
diSudan dipegang oleh seorang Gubernur Jenderal, yang harus mempertanggung
jawabkan pekerjaannya kepada wali negara Turki yang berkedudukan di Mesir,
ialah Kedive. Dibawah pangkat jenderal gubernur ini terdapat Mudir atau
gubernur yang menguasai propinsi-propinsi. Tiap propinsi dibagi lagi menjadi
distrik-distrik yang masing-masing dikuasai oleh seorang Khasif. Pada 1830 didirikan
ibu kota baru di Kartoum oleh pemerintahan gubernur jenderal Khurshid Pasha
(1825-1838). Ditinjau dari sudut kepentingan perdagangan dan strategi perang,
ibu kota baru ini letaknya lebih tampan daripada ibu kota Sennar, sebab
terdapat ditempat pertemuan Sungai nil putih dan sungai nil biru.
Ketika
Ismail menjadi Khedive di Mesir, i ingin meluaskan kekuasaannya ke Sudan
sebelah selatan. Pada 1869 cita-cita tersebut dilaksanakan dan sebuah
pemerintahan dibentuk di Bhar el Ghazal. Kemudian pada tahun berikutnya ia
menunjuk Sir Samuel Baker sebagai gubernur jenderal. Baker adalah seorang
Inggris, tetapi karena ia pernah melakukan penjelajahan di daerah Sudan, maka
ia memiliki pengetahuan yang cukup banyak tentang Sudan. Kepada Baker
diperintahkan agar menanamkan kekuasaan Kedive didaerah sebelah selatan
Gondokoro, menindas perdagangan budak, memasukkan sistem perdagangan yang
teratur, membuka danau-danau besar diAfrika tengah untuk perdagangan dan
menghubungkan daerah-daerah yang telah dikuasai itu dengan pos-pos militer.
Baker
mulai menjalankan tugasnya. Pada 1871 ia kembali ke Cairo, karena kontraknya
sudah habis, dan melaporkan kepada Khedive bahwa ia telah menaklukkan dan
“mengamankan” daerah-daerah sejauh Equatoria.
Sebagai
pengganti Baker, Ismail menunjuk Charles George Gordon. Sejak 1874 awal ia
diangkat sebagai gubernur jenderal di Equatorial Provinces, seluruh daerah
disebelah selatan Fashoda. Gordon juga menambah pos-pos militer disepanjang
daerah selatan. Banyak sekali kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Pada
1877-1879 ia diangkat menjadi gubernur jenderal untuk seluruh Sudan.
Ketidakpuasan dan pemberontakan dibeberapa daerah mulai timbul.
Diantara
pemberontakan-pemberoontakan itu yang terbesar dan bersifat umum adalah yang
dipimpin oleh Mahdi, meletus pada 1881. Sebab-sebab pemberontakan ini ialah:
1) Menentang
eksploitasi secara besar-besaran baik terhadap kekayaan alam maupun terhadap
penduduk.
2) Tenaga
pegawai untuk daerah Sudan ternyata terdiri atas orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Sebagian besar pegawai-pegawai itu menganggap tugas ke Sudan
sebagai hukuman.
3) Walaupun
kekuasaan Khedive dapat diperluas hingga meliputi Darfur, Equatoria dan pantai
laut merah, tetapi untuk melakukan konsolidasi ternyata amat sukar.
Nama
sebenarnya dari pemimpin pemberontakan tersebut ialah Mohammad Ibn Al Saiyid
‘Abd Allah, seorang yang mendapat pendidikan islam secara mendalam. Kemudian ia
sendiri menjadi guru agama. Bersama pengikutnya yang berjumlah besar, ia
bertindak menentang pemerintah Mesir-Turki yang korup, kejam dan
sewenang-wenang. Akhirnya ia diakui sebagai al-Mahdi al-Mutazir, yang berarti
“pemimpin yang dinantikan”. Keyakinan agamanya dan sikapnya sebagai pemimpin
yang tegas dan dinamis, duka-derita rakyat dan keadaan pemerintahan Mesir yang
waktu itu dalam keadaan kemerosotan, merupakan faktor-faktor yang memungkinkan
Mahdi melangsungkan revolusi selama tiga tahun (1881-1884) dengan hasil yang
gemilang.
Ketika El Obeid jatuh ketangan Mahdi
, kota Khartoum berada dalam bahaya. Panglima perang Mesir-Turki pada waktu itu
ialah Sulaiman Niyaza Pasha dan Ala’al-Din-Pasha. Pada 1883 Hicks Pasha ,
seorang kolonel Inggris, didatangkan di Khartoum, diangkat sebagai wakil
panglima dan memimpin barisan. Ala’al-Din-Pasha diangkat sebagai gubernur
jenderal Sudan. Akan tetapi ekspedisi Hicks inipun mengalami kegagalan dan ini
berarti Mahdi menguasai Sudan sebelah barat. Kekalahan tentara Hicks tersebut
mengakibatkan pemerintah Cairo ataupun london menjadi khawatir, juga
mengakibatkan penduduk yang beridam disekitar Khartoum itu menjadi gentar.
Ketika pemberontakan Mahdi dimulai,
Sudan sebelah Timur tetap seperti biasa, tidak terpengaruh oleh pemberontakan
itu. Sebagian besar penduduknya terdiri atas suku Bija yang hanya memiliki
persamaan sedikit dengan penduduk disebelah Barat. Mereka tidak sebangsa,
bahasa yang dipergunakan juga berbeda. Pengetahuan penduduk Bija tentang agama
Islam sangat sedikit.
Kemudian muncullah seorang pemimpin
yang berpengaruh disebelah timur itu, bernama Uthman Diqna. Karena sakit hati
disebabkan usaha perdagangan-budaknya ditindas oleh pemerintah, maka ia ingin
melakukan pembalasan terhadap pemerintah Mesir-Turki yang pada waktu itu sedang
mengalami keruwetan. Ia pergi ke El Obeid menjumpai Mahdi. Oleh Mahdi ia
diperintahkan untuk merebut semua bandar-bandar penting dipantai timur dan
menutup jalan Suakin-Berber. Uthman Diqna mula-mula juga selalu mendapat
sukses. Sinkat diserangnya, kemudian juga Tokar dan Suakin. Kapten Monerieff,
R.N. konsul Inggris diSuakin bersama 148 orang dibunuhnya. Dengan ini maka
tentara Mesir diserang baik dari jurusan Barat maupun Timur.
Kemenangan-kemenangan kaum
pemberontak dan kekalahan tentara yang dipimpin Hicks mengakibatkan kedudukan
Mesir sangat sulit. Membiarkan tentaranya berada dibeberapa kota di Sudan,
berarti membiarkan mereka menemui kehancuran. Tetapi menarik kembali tentaranya
dari Sudan, berarti merosotkan orestige negerinya baik di mata dunia luar
maupun dimata penduduknya sendiri.
Pada 1883 (september) Sir Evelyn
Baring tiba di Mesi. Pada bulan berikutnya ia mengirimkan telegram ke London
yang berisi pertanyaan bagaimana jawaban yang harus diberikan apabila
pemerintah Mesir minta bantuan kepadanya. Oleh Lord Granville, yang merupakan
menteri luar negeri dalam kabinet Gladstone, dijawab agar Baring menolak
penggunaan tentara Inggris ataupun India untuk kepentingan Mesir. Juga
disarankan agar Baring jangan mendorong opsir-opsir Inggris berjuang sebagai
sukarelawan Mesir. Selanjutnya dikatakan bahwa apabila Baring dimintai nasihat
oleh Khedive, hendaknya dijawab bahwa Mesir harus mengosongkan Sudan dalam
batas waktu tertentu. Demikianlah pendirian pemerintah di London mengenai
masalah Sudan.
Reaksi pertama dari pemerintah Cairo
terhadap kehancuran ekspedisi Hicks, ialah bahwa tentara Mesir akan ditarik
kembali dari Sudan sebelah barat dan selatan, akan tetapi mereka akan
mempertahankan kota-kota yang belum jatuh ketangan Mahdi, seperti Sennar,
Khartoum, dan Kassala. Disamping itu pemerintah Mesir ingin membuka kembali
route antara Suakin dan Berber.
Baring menyarankan kepada Khedive,
supaya penaklukan Sudan itu disabarkan dahulu karena penguasaan kembali daerah
Sudan dapat dilakukan apabila keadaan keuangan dan tentara Mesir telah
mengizinkan. Pada waktu itu Mesir sama sekali tidak mempunyai kekuatan baik
berupa uang maupun tenaga.
Akan tetapi Khedive ingin
melaksanakan cita-citanya. Ia mengirimkan jenderal Valentine Baker (saudara Sir
Samuel Baker) dengan tentara sebanyak 25000 orang ke Suakin untuk merebut
kembali Sinkat dan Tokar. Baker tidak membawa hasil. Kedua tempat tersebut
masih tetap digenggam oleh para pemberontak.
Berbeda dengan pendapat Galdstone,
kaum imperialis didalam kabinetnya mengatakan bahwa adalah kewajiban Inggris
sebagai konsekuensi terhadap pendudukan Inggris di Mesir untuk bertempur
melawan Mahdi. Akan tetapi Galdstone tetap pada pendiriannya semula, karena ia
telah menerima laporan dari Baring dan kolonel Stewart tentang keadaan keuangan
dan militer di Mesir. Galdstone memerintahkan menjalankan politik menarik diri
dan menyetujui pendudukan terhadap dua bandar dipantai Laut Merah ialah Suakin
dan Massasua.
Pada 1884 Gladstone mengirimkan jenderal Charles Gordon
Pasha, yang merupakan bekas gubernur jenderal Sudan, ke Sudan untuk menjalankan
tugas seperti yang dikehendaki oleh perdana menteri itu. Akan tetapi Gordon
mremehkan kekuatan dan pengaruh Mahdi. Dianggapnya bahwa Mahdi hanyalah
pemimpin lokal dan memperalat penduduk yang tidak puas terhadap pemerintah
Mesir-Turki yang korup dan kejam. Ia menggambarkan keadaan Sudan seperti pada
ketika ia masih menjabat gubernur jenderal pada 1877-1879. Ia kenal akan
pemerintahan yang jelek di Sudan. Ia tahu tentang reaksi penduduk terhadap
pasha-pasha yang korup dan pengumpul pajak yang kurang. Tetapi ia tidak
mengerti bahwa di Sudan pada waktu itu telah memiliki seorang pemimpin yang
berpengaruh, mempunyai banyak pengikut dan berjuang berdasarkan ikatan agama.
Setibanya di Cairo ia menemui
Khedive, Baring dan pembesar-pembesar Mesir lainnya. Sekali lagi ditekankan tugas yang dipikulkan
padanya, ialah menjalankan politik evakuasi di Sudan. Oleh Khedive ia diangkat
sebagai gubernur jenderal. Kemudian ia menuju ke Khartoum. Kedatangannya
disambut hangat oleh penduduk dan tentara Mesir-Inggris yang ada di Ibu kota
tersebut.
Selanjutnya Gordon melakukan
penyelidikan-penyelidikan. Kemudian ia berpendapat bahwa apabila Khartoum jatuh
ketangan Mahdi, maka akan sangat sukarlah kota itu dapat direbut kembali. Oleh
sebab itu ia memutuskan bahwa gerakan Mahdi harus ditindas. Maksud ini disampaikan
melalui telegram ke London dan Cairo, dan ia minta bantuan tentara beserta
perlengkapannya untuk keperluan tersebut.
Situasi kota Khartoum menjadi sangat
kritis. Pengikut Mahdi telah mendekati ibu kota tersebut. Dengan perantaraan
surat yang ditulis dalam bahasa Jerman dan Prancis Mahdi minta agar Gordon
menyerahkan diri kepadanya. Gordon tidak memberi jawaban. Tidak lama kemudian
berita tentang jatuhnya Bhar el Ghazal dan terbunuhnya Stewart dalam
pertempuran tersebut sampai di Khartoum. Sekali lagi Mahdi mendesak agar Gordon
menyerah tetapi Gordon menjawab, bahwa ia pantang menyerah dan ia berusaha agar
dapat meihat munculnya pengaruh Inggris di Sudan. Akhirnya Gordon bersama
seluruh tentaranya dikepung oleh kaum Mahdi (1884). Pada malam hari tanggal 25
Januari 1885, Khartoum jatuh ketangan Mahdi. Pemerintah Inggris terpaksa
mengirimkan ekspedisi untuk menolong Gordon, akan tetapi terlambat. Gordon
dengan seluruh tentaranya terbunuh.
Berita tentang jatuhnya Khartoum
sungguh mendebarkan Ratu Victoria. Gordon disebutnya seorang “Christian Hero”.
Juga suara publik Inggris membela kematian Gordon. Reaksi yang keras dari
rakyat ini mengakibatkan jatuhnya kabinet Galdstone.
Setelah Galdstone jatuh maka naiklah
Salisbury untuk menjabat sebagai prdana menteri baru, melanjutkan politik
Galdstone terhadap Sudan, yaitu menarik tentara dari daerah Sudan. Dengan
ditariknya kembali daerah Inggris-Mesir dari Sudan pada 1885, maka berakhirlah
pertentangan taraf pertama antara Inggris-Mesir disatu pihak dan Sudan dipihak
lain. Politik ini berarti pula bahwa Inggris-Mesir kehilangan daerah Sudan
untuk sementara waktu.
Beberapa bulan setelah Khartoum
jatuh, Mahdi meninggal dunia. Pemerintahan Sudan dipegang oleh anaknya, khalifa
‘Abd Allahi el Tarishi. Selama 13 tahun Sudan menjadi negara merdeka. Pada 1896
timbullah perselisihan lagi tentang Sudan. Pertentangan taraf kedua ini akan
diuraikan dibawah dalam persoalan krisis Fashoda.