Politik kolonial Belanda yang
menganut politik reaksioner (1918-1930), membuahkan suatu dorongan aksi
pergerakan nasional cenderung kearah radikal dan revolusioner. Proses
radikalisasi ini makin kuat setelah tahun 1921, yang antara lain disebabkan
karena beberapa unsur, seperti krisis perusahaan gula tahun 1918, krisis
ekonomi tahun 1920, kenaikan pajak rakyat. Dalam laporan yang dikerjakan oleh
mayor Ranneft disebutkan bahwa sejak Fock menjabat Gubernur Jenderal tahun
1921, yang menggantikan Gubernur Jenderal Limburg Stirum (1916-1921), pajak
rakyat di Jawa dan madura dinaikan sekitar 40 %.
Tahun 1922 pemogokan-pemogokan
terjadi dilingkungan organisasi-organisasi buruh seperti buruh penggadaian
(1922), pegawai kereta api (1923). Pada akhir 1926 pergolakan-pergolakan
memuncak antara lain beberapa pemberontakan di Banten, Sumatera Barat, dan
beberapa tempat lainnya di Jawa. Gubernur Jenderal De Graaf (1926-1931) segera
melakukan politik penindasan, dalam mana beberapa ribu golongan nasionalais
radikal dipenjarakan dan dibuang ke Digul (tanah Merah).
Kebijakan kolonial dibidang ekonomi dan politik di
bawah Gubernur Jenderal de Jonge (1931-1936), sangat reaksioner. Gubernur
Jenderal de Jonge tidak mengakui eksistensi pergerakan nasional, sehingga
tinadakannya selalu mencurigai organisasi-organisasi pergerakan nasional.
Rapat-rapat dan pertemuan selalu diawasi oleh polisi rahasia secara ketat
sekali. Demikianlah pergerakan nasional tampak mengalami kelumpuhan gerak.
Sedangkan dibidang ekonomi dia selalu berusaha untuk meningkatkan
perusahaan-perusahaan serta menghemat pengeluaran negara, sebagian akibat
depresi ekonomi tahun 1930. Pendidikan bagi golongan pribumi semakin dibatasi,
antara lain dengan dikeluarkannya Ordonansi Pengawasan (Toezicht Ordonantie)
pada tahun 1932. Dengan Ordonansi ini segala penyelenggaraan pengajaran yang
mengancam ketertiban masyarakat dilarang. Dalam hal ini sekolah-sekolah
diselenggarakan oleh Ki Hadjar Dewantara diawasi dengan sangat ketat. Keresahan
politik, pergolakan dan pemberontrakan tampak merupakan gejala yang timbul
sebagai reaksi terhadap politik reaksioner de Jonge. Terjadinya pemberontakan
kapal perang Zeven Provincien tahun 1933, tidak terlepas`dari kebijaksanaan
politik de Jonge tersebut.