Sutarjo Suryo hadikusumo (wakil Persatuan Pegawai Bestuur) dalam sidang Volksraad(dewan rakyat) pada tanggal 15 Juli 1936 mengajukan usul yang kemudian dikenal dengan nama Petisi Sutarjo. Petisi atau usul tersebut berisi permohonan agar diadakan suatu musyawarah (konferensi) antara wakil-wakil Indonesia dan negara Belanda (Nederland) yang anggota-anggotanya mempunyai hak sama dan sederajat. Tujuan diadakannya konferensi tersebut adalah membicarakan kemungkinan Hindia Belanda (Indonesia) diberi suatu pemerintahan otonom dalam kerangka konstitusi Belanda dalam jangka waktu 10 tahun mendatang. Dalam surat kabar Tjahaja Timoer (3 Agustus 1936) disinggung adanya orang-orang Belanda dari kalangan pemerintah Belanda yang menyetujui Petisi Soetardjo. Tetapi dari kalangan masyarakat Belanda banyak yang tidak menyetujui petisi tersebut, seperti golongan Vaderlandse Clubyang berpendapat bahwa Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri atau mendapat hak otonomi. Di pihak Indonesia juga timbul sikap pro dan kontra terhadap Petisi Soetardjo.
Saat
diperdebatkan kembali dalam Volksraad pada 29 September 1936, petisi
ini mendapat 26 suara setuju dan 20 suara menolak. Dengan demikian
tanggal 1 Oktober 1936 petisi itu menjadi Petisi Volksraad dan dikirim kepada ratu, staten generaal, dan
menteri jajahan di negeri Belanda. Pada Februari 1938, Petisi
Sutardjo dibicarakan pula dalam Tweede Kamer Nederland. Menteri jajahan, Welter, sebagai
wakil pemerintah Belanda berpendapat bahwa jalan terbaik untuk perubahan
pemerintah Hindia Belanda adalah dengan menjalankan asas
desentralisasi, yakni dengan meletakkan dasar otonomi pada tingkat bawah (pemerintahan
daerah). Setelah mengutarakan pendapatnya itu, Welter
mengharapkan agar petisi Sutardjo tidak lagi dipersoalkan atau
dibicarakan dalam Tweede
Kamer.
Sementara
itu Gubernur Jenderal Tjarda yang mengetahui situasi politik
di Hindia Belanda, memberi saran kepada Welter agar menolak Petisi
Soetardjo. Penolakan petisi tersebut dilakukan dengan alasan
petisi tersebut kurang jelas. Di samping itu, mengingat ketidakpastian
kejadian-kejadian di masa yang akan datang, konferensi (musyawarah)
sebagaimana diusulkan dalam Petisi Soetardjo tidak perlu diadakan
agar tidak ada perubahan mendasar bagi kedudukan Indonesia.
Gagalnya
perjuangan Petisi Soetardjo menjadi salah satu cambuk bagi
kaum pergerakan nasional untuk menuntut dan menyusun barisan kembali
dalam wadah organisasi persatuan, yakni Gabungan Politik Indonesia
(Gapi) yang menuntut "Indonesia Berparlemen".