animasi





tinggal ketik untuk mencari data

Kamis, 13 Maret 2014

KEDAULATAN


A. Istilah dan Pengertian Kedaulatan
            Kata kedaulatan berasal dari kata sovereignty (bahasa Inggris), souverainete (bahasa Prancis), sovranus (bahasa Italia). Kata-kata asing tersebut diturunkan dari kata latin superanus yang berarti “yang tertinggi” (supreme). Sarjana-sarjana dari abad menengah lazim menggunakan pengertian-pengertian yang serupa maknanya dengan istilah superanus itu, yaitu summa potestas atau plenitudo potestatis, yang berarti wewenang tertinggi dari suatu kesatuan politik. Banyak sekali definisi untuk kata itu, tetapi “istilah ini selalu berarti otoritas pemerintahan dan hukum”.
            Baru pada abad ke-15 kata kedaulatan itu tampil sebagai istilah politik yang banyak dipergunakan terutama oleh sarjana-sarjana Prancis. Sarjana-Sarjana Prancis inilah yang kemudian mempopularisasi pemakaian kata kedaulatan (souverainete). Menurut Prof. Garner, Beaumanoir dan Loyseau sebagai sarjana-sarjana hukum yang pertama kali menggunakan kata itu dalam abad ke-15.
            Jean Bodin ketika menulis buku tentang negara juga telah menggunakan kata kedaulatan itu dalam hubungannya dengan negara, yakni sebagai ciri negara, sebagai atribut negara yang membedakan negara dari persekutuan-persekutuan lainnya. Jean Bodin melihat hakikat negara pada kedaulatannya. Ia memandang kedaulatan dari aspek internnya, yaitu sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu kekuasaan politik. Sedangkan pengertian kedaulatan ditinjau dari aspek eksternnya, yaitu aspek mengenai hubungan antara negara, untuk pertama kali dipergunakan oleh Grotius yang lazim dianggap sebagai bapak hukum internasional.
            Bagi Bodin kedaulatan dipersonifikasi oleh Raja. Raja yang berdaulat itu tidak bertanggung jawab terhadap siapapun, kecuali kepada Tuhan. Raja adalah Legibus Solutus. Raja adalah bayangan T­uhan. Kedaulatan sebagai “Summa in civics ac sabditos leibusque solute potestes”, yang berarti kekuasaan supra dari negara atas warga negara dan rakyatnya, yang tidak dibatasi hukum. Namun kedaulatan menurut paham Bodin juga tidak mutlak semutlak-mutlaknya. Raja harus menghormati ius naturale et gentium (hukum kodrat dan hukum antara bangsa) dan hukum konstitusional dari kerajaan, yakni leges imperii, misalnya hukum Salis tentang pengertian Raja. Dengan ajaran kedaulatan seperti diuraikan diatas Bodin meletakkan dasar filosofis dari pada pengertian kedaulatan yang mutlak.
            Ajaran kedaulatan yang mutlak dari Bodin diterima juga oleh seorang absolutis lainnya, yaitu Thomas Hobbes. Dalam ajaran Hobbes kedaulatan mencapai derajatnya yang paling mutlak. Bagi Hobbes, adagium “Princeps legibus solutus est” betul-betul menunjukkan keadaan Raja dizamannya; raja berada diatas undang-undang. Hobbes melanjutkan secara konsekuen teori Bodin dengan mengemukakan bahwa para individu yang hidup dalam keadaan alamiah menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka kepada seorang atau sekumpulan orang. Hobbes sendiri mengutamakan penyerahan itu kepada satu orang, yaitu Raja. Penyerahan ini adalah mutlak. Sehingga orang yang menerimanya berdaulat mutlak pula.
            Ajaran Bodin dan Hobbes kemudian dilanjutkan oleh John Austin di Inggris. Bagi Austin yang berdaulat adalah “legibus soluta”. Yang berdaulat adalah “pembentuk hukum yang tertinggi” (supreme legislator) dan hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu. Karena itu sebagai konsekuensinya, yang berdaulat berada diatas hukum yang merupakan hasil ciptaannya sendiri.
            Konsep kedaulatan tradisional itu memiliki beberapa ciri tertentu. Ciri itu ialah kelanggengan (permanence), sifat tidak dapat dipisah-pisahkan (indisible), sifatnya sebagai kekuasaan tertinggi (supreme), tidak terbatas dan lengkap (complete). Dengan kelanggengan dimaksudkan sifat kedaulatan yang abadi yang dimiliki negara selama negara itu masih ada. Sifat tidak dapat dipisah-pisahkan menunjukkan keadaan kedulatan sebagai pengertian yang bulat dan tunggal. Kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi dalam setiap negara. Kedaulatan tidak mengizinkan adanya saingan. Kedaulatan tidak mengenal batas, karena membatasi kedaulatan berarti adanya kedaulatan yang lebih tinggi. Kedaulatan itu lengkap, sempurna, karena tiada manusia dan organisasi yang diperkecualikan dari kekuasaan yang berdaulat.
B. Hakikat Kedaulatan
            Dalam terminologi ilmu politik modern, kata kedaulatan digunakan untuk mengartikan kemaharajaan mutlak atau kekuasaan raja yang paripurna. Kedaulatan memiliki hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memaksakan perintah-perintahnya kepada semua rakyat negara yang bersangkutan dan sang rakyat ini memiliki kewajiban mutlak untuk menaatinya tanpa memerhatikan apakah mereka bersedia atau tidak. Tidak ada media luar lainnya, kecuali kehendaknya sendiri, yang dapat mengenakan pembatasan pada kekuasaannya untuk memerintah. Tidak ada rakyat yang memiliki hak mutlak untuk melawannya atau bertentangan dengan perintah-perintahnya. Hak apapun yang dicabutnya akan dihapus. Sudah merupakan dalil universal dibidang hukum bahwa setiap hak hukum hanya tercipta jika pemberi hukum menginginkannya demikian. Oleh karenanya, jika sang pemberi hukum itu mencabutnya, keberadaannya dilenyapkan, dan sesudahnya hak yang telah dihapuskan tersebut tidak dapat dituntut. Hukum tercipta melalui kehendak kedaulatan serta meletakkan semua rakyat negara dibawah kewajiban untuk menaatinya. Tetapi tidak ada hukum yang mengikat kedaulatan itu sendiri. Dengan kata lain, ia adalah otoritas mutlak, dan dengan demikian, sepanjang berkaitan dengan perintah-perintahnya, tidak akan dan tidak boleh muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai baik buruk, benar dan salah, dan sebagainya. Apapun yang dilakukannya adalah dalil, dan tidak seorangpun dapat mempertanyakan tindakan, perintah serta penegakan perintah-perintah tersebut perilakunya merupakan kriteria bagi benar dan salah dan tidak seorangpun yang boleh mempertanyakannya.
            Tidak ada satupun yang kurang memenuhiunsur-unsur diatas yang dapat diistilahkan sebagai kedaulatan. Tetapi kedaulatan ini tetap hanya sekedar anggapan dasar hukum sepanjang tidak ada oknum aktif yang mampu menegakkannya. Oleh karenanya, secara ilmu politik, kedaulatan hukum tanpa kedaulatan politik tidak memiliki keberadaan praktis. Jadi secara alamiah, kedaulatan politik berarti pemilikan wewenang untuk menegakkan kedaulatan hukum.
            Apakah ada sistem monarki dimana kerajaan yang bersangkutan memiliki semua atribut kedaulatan itu dewasa ini, atau pernah memilikinya dimasa lalu, atau dapat diharapkan untuk memilikinya dimasa yang akan datang? Bolehkah kita menelaah kasus semua monarki raksasa serta menganalisis semua mitos kedaulatannya untuk menemukan bahwa semua kewenangan yang dinikmatinya dalam kenyataan dibatasi oleh sejumlah faktor ekstern yang berada diluar kontrol dari apa yang disebut sebagai kedaulatan ini.
C. Macam – Macam Kedaulatan
Dilihat dari istilah dan pengertiannya, Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam Negara, dan untuk mengetahui siapakah pemegang kedaulatan itu, maka kedaulatan dapat dikelompokkan kedalam beberapa teori kedaulatan yakni : 

1.      Kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Tuhan menurut sejarahnya berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu antara abad ke-5 sampai abad ke-15. Didalam perkembangannya teori ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu yaitu agama Kristen, yang kemudian dioraganisasi dalam satu organisasi keagamaan, yaitu gereja yang dikepalai seorang paus. Tokoh-tokoh penganut teokrasi antara lain; Agustinus, Thomas Aquinas, dan Marsillius. (Salim,2010 : 129)
Menurut I Gde Pantja Astawa Prinsip dasar dari teori kedaulatan Tuhan adalah bahwa kekuasaan dalam negara berasal dari Tuhan, oleh karena itu seorang penguasa negara yang menjalankan kekuasaannya dalam negara hanyalah sebagai wakil Tuhan saja dan bukan menjalankan kekuasaan sendiri atau kekuasaan milik negara. Timbulnya ajaran kedaulatan Tuhan ini disebabkan oleh kepercayaan orang beragama bahwa tuhanlah yang menjadi maha pencipta langit dan bumi dengan segenap isinya, sehingga tuhan lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di seluruh alam semesta ini.
Dalam catatan sejarah, ajaran kedaulatan yang paling tua adalah teori kedaulatan Tuhan, yakni yang mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Tuhan. Teori ini sangat pesat berkembang pada abad pertengahan, ketika agama Kristen terorganisir melalui gereja pada masa keemasan dibawa pimpinan seorang paus. Pada waktu itu ada dua organisasi kekuasaan, yaitu organisasi kekuasaan negara yang diperintah oleh seorang raja, dan organisasi kekuasaan gereja yang dikepalai paus, karena pada saat itu organisasi gereja tersebut mempunyai alat – alat perlengkapan yang hampir sama dengan alat – alat perlengkapan organisasi negara.
Organisasi gereja pada saat itu mempunyai kekuasaan yang nyata dan dapat mengatur kehidupan negara, tidak saja yang bersipat keagamaan, tetapi sering juga bersipat keduniawian, maka tidak jarang kalau kemudian timbul dua peraturan untuk satu hal, yaitu peraturan dari negara dan peraturan dari gereja. Selama antara dua peraturan satu sama lain tidak bertentangan, maka selama itu pula tidak ada kesulitan dari warga untuk metaatinya. Akan tetapi apabila peraturan peraturan itu saling bertentangan satu sama lain, maka timbulla persoalan, peraturan yang berasal dari manakah yang berlaku? Artinya antara kedua peraturan itu, yang manakah yang lebih tinggi tingkatannya, maka peraturan yang lebih tinggi itulah yang ditaati.
Penganut – penganut teori kedaulatan tuhan, pada umumnya dari pemikir – pemikir negara dan hukum yang menganut teori teokrasi. Persoalan mereka sebetulnya bukan pada siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan, karena mereka tetap sepakat bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan. (Astawa, I Gde Pantja, 2009 : 109)
Negara yang pernah menganut teori ini adalah : Jepang masa kekaisaran Tenno Heika, Vatikan, Saudi Arabia.
2.      Kedaulatan Raja
Kedaulatan raja (the kings of souveregnty) berarti dalam Negara itu, yang berdaulat adalah raja, raja dianggap sebagai orang yang suci, bijaksana sehingga dianggap berbeda dengan rakyat (warga negaranya) meskipun sama-sama manusia. Posisi raja dalam hal ini adalah sangat kuat dan tidak ada yang menandingi pada saat itu.
Menurut Marsilius, kekuasaan tertinggi dalam Negara berada di tangan raja, karena raja adalah wakil Tuhan atau semacam diberi amanah dari Tuhan untuk berkuasa atas rakyat dan berhak melakukan apa saja karena menurutnya semua tindakannya itu sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan. bahkan raja merasa berkuasa menetapkan kepercayaan atau agama yang harus dianut oleh rakyatnya atau warga negaranya.
Kekuasaan mutlak yang ada pada raja, sehingga terjadi penyelewengan kekuasaan kedalamtyranny. Seperti yang terjadi di Prancis pada masa pemerintahan raja Louis IV yang menyatakan “Negara adalah saya (I’etat cest moi)”. Pada saat itu banyak keluarga raja yang berpesta pora diatas kesengsaraan rakyat, yang menyebabkan rakyat tidak lagi percaya pada kekuasaan tertinggi yang berada ditangan raja. "Ahmad Azhar Basyir yang dipetik dalam: ni;matul huda, Ilmu Negara (yogyakarta: UII)" Kemudian rakyat mulai memberontak terhadap kekuasaan raja dan mulai menyadari kekuatannya sendiri sebagai “rakyat” yang beridentitas dan berhak.
3.      Kedaulatan Hukum
Menurut teori kedaulatan hukum atau rechts-souvereiniteit, kekuasaan tertinggi di dalam suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena itu baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warga Negaranya, bahkan Negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Kemudian terjadi pertentangan diantara para ahli penganut paham berbeda yakni antara Krabbeyang menganut teori kedaulatan hukum denganJellineck yang menganut paham kedaulatan Negara. Jellineck mengemukakan teorinya “selbstbindung” yang isinya antara lain bahwa Negara harus tunduk secara sukarela kepada hukum.
Kemudian Krabbe yang menganut aliran historis yang pelopori oleh Von savigny, yang mengatakan bahwa “hukum timbul bersama kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak tumbuh dari kehendak atau kemauan Negara, maka berlakunya hukum terlepas dari kemauan Negara.” Alasan ini dikemukakan sebagai jawaban, bahwa kalau benar Negara yang berkuasa, apa sebabnya Negara itu patuh kepada hukum dan dapat dihukum. Bukankah Negara berkuasa membuat undang-undang? bagaimana mungkin Negara yang berkuasa secara sukarela mengikat dirinya dengan undang-undang itu. Tokoh-tokoh penganut teori ini adalah: Krabbe, Negara yang menganut teori kedaulatan hukum adalah : Belanda, Swiss dll.
4.      Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan rakyat (popular sovereignty) dimaksudkan kekuasaan rakyat sebagai tandingan atau imbangan terhadap kekuasaan penguasa tunggal atau yang berkuasa. Ajaran kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya pemilihan umum yang menghasilkan dewan-dewan rakyat yang mewakili rakyat dan yang dipilih langsung atau tidak langsung oleh warga Negara.
Paham kedaulatan rakyat itu sudah dikemukakan oleh kaum monarchomachen seperti Marsilio, William Ockham, Buchanan, Hotman dan lain-lain. Mereka inilah yang mula-mula sekali mengemukakan ajaran bahwa, rakyatlah yang berdaulat penuh dan bukan raja, karena raja berkuasa atas persetujuan rakyat. Ajaran kaum monarchomachen ini kemudian dilanjutkan oleh John Locke dan kemudian J.J Rousseau.
Menurut Locke, memang rakyat menyerahkan kekuasaan-kekuasaannya kepada Negara. Dengan demikian Negara memiliki kekuasaan yang besar. Tetapi kekuasaan ini ada batasnya, batas itu adalah hak alamiah dari manusia, yang melekat padanya ketika manusia itu lahir. Hak ini sudah ada sebelum Negara terbentuk. karena itu, Negara tidak bisa mengambil atau mengurangi hak alamiah itu. Tokoh-tokoh penganut teori ini adalah: JJ. Rousseau
Negara yang menganut teori kedaulatan rakyat adalah : Amerika Serikat, Perancis dll.
5.      Kedaulatan Negara
Kata “daulat” dalam pemerintahan berasal dari kata “daulah” (bahasa Arab) yang berarti “kekuasaan tertinggi”. Pemerintah yang berdaulat berarti pemerintahan yang mempunyai kekuasaan tertinggi atas rakyatnya di dalam suatu Negara. Menurut Jean Bodin (1500 – 1596), seorang ahli pikir dari Prancis, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu Negara. Kedaulatan mempunyai sifat-sifat pokok, yaitu asli, permanen, tunggal, dan tidak terbatas.
a)      Asli, artinya kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
b)      Permanen, artinya kekuasaan itu tetap ada selama Negara itu berdiri sekalipun pemegang kedaulatan sudah berganti-ganti.
c)      Tunggal (bulat), artinya kekuasaan itu merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam Negara yang tidak diserahkan atau dibagi-bagikan kepada badan-badan lain.
d)     Tidak terbatas (absolut), artinya kekuasaan itu tidak dibatasi oleh kekuasaan lain. Sebab, kalau ada kekuasaan lain yang membatasinya, tentu kekuasaan tertinggi yang dimilikinya itu akan lenyap.
Kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh pemerintah mempunyai kekuataan yang berlaku ke dalam dan keluar.
a)      Kedaulatan ke dalam, artinya pemerintah memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan organisasi Negara sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
b)      Kedaulatan ke luar, artinya pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada kekuatan lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Demikian juga, Negara lain harus pula menghormati kekuasaan Negara yang bersangkutan, dengan tidak mencampuri urusan dalam negerinya.
            Ajaran kedaulatan negara sebenarnya merupakan kelanjutan dari ajaran kedaulatan raja. Ajaran ini timbul di Jerman untuk mempertahankan kedudukan raja yang pada waktu itu mendapatkan dukungan dari tiga lapisan masyarakat yang besar sekali pengaruhnya yaitu:
a.       Golongan bangsawan atau Junkertum
b.      Golongan angkatan perang atau Militair
c.       Golongan alat-alat pemerintah atau Birokrasi
Oleh karena negara itu mempunyai arti yang abstrak, timbul pertanyaan siapakah yang memegang kekuasaan negara? Yang memegang kekuasaan dalam negara adalah raja sendiri. Pengertian negara yang abstrak itu dikonkretkan dalam tubuh raja. Ajaran ini disebut Verkulpringstheorie yang artinya negara menjelma dalam tubuh raja.
            Pada hakikatnya ajaran ini sama dengan ajaran kedaulatan raja, hanya ajaran itu dibuat sedemikian rupa hingga dapat diterima oleh rakyat karena berpangkal pada kedaulatan rakyat dan memberi kedok bagi kedaulatan raja yang sudah usang. Karena itu kedaulatan negara sering juga disebut sebagai kedaulatan raja-raja modern atau moderneverstenso uvereiniteit. Ajaran ini mendapat tantangan dan diantaranya tantangan itu datang dari Krabbe dengan mengemukakan ajaran kedaulatan hukum atau oleh Dicey disebut rule of law.
            Para penganut teori kedaulatan negara menyatakan, bahwa kedaulatan ini tidak ada pada Tuhan, seperti yang dikatakan oleh para penganut teori kedaulatan Tuhan (Gods-souvereiniteit), tetapi ada pada negara. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Penganut teori kedaulatan negara ini antara lain Jean Bodin dan George Jellinek.
            Pada hakikatnya teori kedaulatan negara itu atau staats-souvereiniteit, hanya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, entah kekuasaan itu bersifat absolut, entah sifatnya terbatas dan ini harus dibedakan dengan pengertian ajaran Staat-absolutisme. Karena dalam ajaran Staat-absolutisme itu pada prinsipnya hanya dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan tertinggi ini mungkin bersifat absolut, tetapi mungkin juga bersifat terbatas. Sedang dalam ajaran Staat-absolutisme dikatakan bahwa negara kekuasaan itu sifatnya absolut, jadi berarti tidak mungkin bersifat terbatas, dalam arti bahwa negara itu kekuasaannya meliputi segala segi kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara itu tidak lagi mempunyai kepribadian.
            George Jellinek mengatakan bahwa hukum itu adalah merupaka penjelmaan dari pada kehendak atau kemauan negara. Jadi negaralah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Diluar negara tidak ada satu orangpun yang berwenang menetapkan hukum. Maka dalam hal ini berarti bahwa adat kebiasaan, yaitu hukum yang tidak tertulis, yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi yang nyata-nyata berlaku didalam masyarakat, tidak merupakan hukum. Dan memang demikian juga kalau menurut Jean Bodin; sedangkan kalau menurut Jellinek adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum, apabila itu sudah ditetapkan oleh negara sebagai hukum.
            Dilihat sepintas lalu, dimilikinya kekuasaan tertinggi oleh negara ini bertentangan denga hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan internasional terutama hubungan antarnegara. Dapat dikemukakan bahwa hukum internasional tak mungkin mengikat negara-negara apabila negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi diatasnya.
            Jika pandangan ini benar, maka kedaulatan memang bertentangan dengan hukum internasional, bahkan boleh dikatakan bahwa paham kedaulatan demikian pada hakikatnya merupakan penyangkalan terhadap hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang mengikat bagi negara-negara dalam hubungannnya satu sama lain.
            Tidaklah mengherankan jika didalam dunia ilmu hukum internasional terdapat sarjana-sarjana yang menganggap kedaulatan negara sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan masyarakat internasional dan bagi perkembangan hukum internasional yang mengatur kehidupan masyarakat demikian. Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat internasional dewasa ini merupakan suatu masyarakat yang terdiri terutama dari negara-negara yang bebas satu dari yang lainnya. Selain didasarkan atas suatu anggapan yang keliru tentang hakikat daripada masyarakat dunia dewasa ini, sehingga serangan atas paham kedaulatan salah sasaran, maka paham yang mengatakan bahwa kedaulatan itu merupakan penghalang bagi pertumbuhan hukum internasional juga didasarkan atas pengertian kedaulatan yang keliru.
Menurut asal katanya kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan lain, negara memiliki monopoli daripada kekuasaan, suatu sifat khas daripada organisasi masyarakat dan kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi membenarkan orang perseorangan yang mengambil tindakan-tindakan sendiri apabila ia dirugikan. Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batasnya. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi didalam batas-batas wilayahnya. Diluar wilayahnya suatu negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Jadi pembatasan yang penting ini melekat pada pengertian kedaulatan itu sendiri dilupakan oleh orang yang beranggapan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh suatu negara menurut paham kedaulatan itu tidak terbatas.
            Suatu negara lazim dianggap bebas dan berdaulat hanya terhadap atau didalam wilayahnya sendiri. Pengertian kedaulatan pada masa sekarang lebih sempit daya berlakunya apabila dibandingkan dengan pengertian kedaulatan pada abad ke 18 dan 19. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan negara-negara nasional yang tidak mengenal adanya pembatasan-pembatasan terhadap otonomi negara. Pada waktu sekarang dapat dikatakan hampir tidak terdapat lagi negara yang menolak pembatasan terhadap kebebasan negaranya demi kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan. Dikatakan demikian karena negara-negara itu adalah anggota masyarakat internasional dan juga sebagian besar adalah anggota organisasi-organisasi internasional seperti PBB. Kepada mereka diberikan kewajiban-kewajiban yang pada dasarnya membatasi kebebasan mereka yang pada mulanya leluasa dalam melaksanakan kebijaksanaan internasional.
            Dari sudut praktik, maka perbedaan kedaulatan negara terletak pada derajatnya yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Sebagian negara memiliki kekuasaan dan kebebasan lebih besar daripada negara lainnya. Enyataan ini menghadapkannya kepada perbedaan antara negara-negara merdeka atau berdaulat dengan negara atau entitas (entity) yang tidak memiliki kemerdekaan atau kedaulatan.
            Apabila dikatakan bahwa sebuah negara tertentu merdeka dan berdaulat, maka kepada negara tersebut diletakkan sejumlah hak tertentu dalam hukum internasional. Selain hak yang dimiliki negara tadi, maka pada saat yang bersamaan melahirkan pula kewajiban bagi negara lain untuk menghormati hak-hak tadi. Kewajiban-kewajiban yang dapat mengikat negara yang bebas dan berdaulat, misalnya:
1)      Kewajiban untuk tidak menjalankan kedaulatannya pada teritorial negara lain.
2)      Kewajiban untuk tidak memperkenankan warga negaranya melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar kebebasan atau supremasi wilayah negara lain.
3)      Kewajiban untuk tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
Tunduknya suatu negara kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional merupakan suatu syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur. Mengingat bahwa kehidupan suatu masyarakat internasional yang teratur hanya mungkin dengan adanya hukum internasional , maka keharusan tunduknya negara-negara pada hukum internasional yang mengatur hubungan antara negara-negara yang berdaulat itu merupakan kesimpulan yang tidak dapat dielakkan lagi. Tokoh-tokoh yang menganut teori ini adalah: Jean Bodin dan Georg Jellinek.
Negara yang pernah menganut teori ini adalah : Jerman masa pemerintahan Hitler, Italia masa pemerintahan Mussolini.
D. Penerapan Teori Kedaulatan di Indonesia
            Salim mengatakan untuk mengkaji dan menganalisis tentang teori kedaulatan yang diterapkan di Indonesia, tentu kita harus mengkaji dan menganalisis substansi undang – undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia. Undang – undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia meliputi :
     1)      UUD 1945;
     2)      Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949;
     3)      UUDS 1950;
     4)      UUD 1945 hasil Dekrit 5 Juli 1959; dan
     5)      UUD 1945 hasil amendemen.
UUD 1945 yang yang ditetapkan pada tanggal 17 Agustus 1945 hanya berlaku selama lima tahun, yaitu dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan 26 desember 1949. UUD 1945 terdiri atas 27 bab dan 4 pasal aturan peralihan, serta 2 ayat aturan tambahan. Dalam pasal 1 ayat (2) UUD 45 telah ditentukan jenis kedaulatan yang dianut dalam penyelenggaraan negara. Dalam ketentuan itu ditentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Berdasarkan ketentuan ini, jelaslah bahwa teori kedaulatan yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah teori kedaulatan rakyat. Artinya kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi dilaksanakan oleh MPR.
Sejak terjadi gelombang reformasi pada tahun 1997, rakyat menghendaki suatu perubahan radikal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu yang telah dilakukan perubahan adalah perubahan terhadap UUD 1945. Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ditentukan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang – undang dasar. Pada saat ini, rakyat mempunyai hak yang sangat besar di dalam memilih anggota – anggota MPR, anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden. Sementara itu, kedudukan MPR saat ini hanya melantik presiden dan wakil presiden. Kesimpulannya bahwa teori kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945 yang telah diamandemen adalah teori kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. (Salim.2010 : 135)
                Menurut Ronalto Tan mengatakan Selain dari penganut jenis kedaulatan rakyat, ternyata UUD Negara RI Tahun 1945, juga menganut jenis kedaulatan hukum. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, isinya adalah negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya negara kita bukan negara kekuasaan. Bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur menurut hukum yang berlaku. Misalnya peraturan berlalu lintas di jalan raya diatur oleh peraturan lalu lintas. Menebang pohoh dihutan diatur oleh peraturan, supaya tidak terjadi penggundulan hutan yang berakibat banjir, dan contoh lainnya.
Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 juga merupakan dasar bahwa negara kita menganut kedaulatan hukum isi lengkapnya adalah segala warga negara bersamaan kedudukkanya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Maknanya bahwa setiap warga negara yang ada di wilayah negara kita kedudukan sama di dalam hukum, jika melanggar hukum siapapun akan mendapat sanksi. Misalnya rakyat biasa, atau anak pejabat jika mereka melanggar harus diberikan sanksi, mungkin berupa kurungan (penjara) atau dikenakan denda.

            Jadi negara Republik Indonesia secara tidak langsung menganut 2 toeri kedaulatan yang dibuktikan di dalam UUD 1945, karena dalam suatu negara tidak menutup kemungkinan menganut sebanyak teori yang ada asalkan semua teori tersebut tidak ada yang bertentangan, maka selama itu pula tidak ada kesulitan dari warga untuk mentaatinya.

DAFTAR PUSTAKA


Astawa, I Gde Pantja & Suprin Na’a. 2009. Memahami ilmu negara & teori negara.
Bandung : PT. Refika Aditama
Huda, Ni’Matul. 2010. Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja grafindo Persada
Nur Andriyan, Dody. http://dodynurandriyan.blogspot.com/2010/06/kedaulatan-negara-dalam-uud-1945.html (diakses tgl 23/02/2014 jam 01.00)
Prabandari, Westri. http://blogbelajar-pintar.blogspot.com/2013/09/pengertian-kedaulatan-negara.html (diakses tgl 23/02/2014 jam 02.50)
Salim. 2010. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Jakarta :
PT Raja grafindo Persada
Schmandt, Henry J. 2009. Filsafat Politik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Syafiie, Inu Kencana. 2001. Filsafat pemerintahan. Jakarta : PT perca
            (diakses tgl 27/02/2014 jam 01.31)




Senin, 17 Februari 2014

JEAN BODIN

PEMBAHASAN RESUME

1.      Latar belakang Jean Bodin

Nama Lengkap            : Jean Bodin
Alias                            : No Alias
Agama                         : Katolik
Tempat Lahir               : Anjou, Perancis
Warga Negara             : Perancis

Jean Bodin biasanya dihubungkan dengan asal – usul konsep modern tentang kedaulatan. J. Bodin lahir di Anjou, Perancis, dari keluarga kelas menengah yang kaya, J. Bodin belajar filsafat dan bahasa di Paris dan hukum Toulouse, dimana ia menghabiskan sepuluh tahun sebagai siswa dan guru. Pada tahun 1561 ia meninggalkan profesi mengajar dan menjalani profesi sebagai praktisi hukum  di Paris. Sepuluh tahun kemudian ia masuk kedalam rumah tangga saudara Raja, Duke of Alencon, sebagai penasehat. Disin ia mulai mengenal dunia politik tingkat tinggi, dan sebagai mana Machiavelli, dengan kedudukan ini ia menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk memperluas pengetahuannya tentang masah kenegaraan. Pemikiran politik Bodin di bangun di bawah tekanan pengalaman pribadinya. Ia hidup pada masa ketika pertentangan agama yang sudah lama, yang mencapai puncak pada pembunuhan St. Bartholomew tahun 1572, menyebabkan Prancis berada di tepi kehancuran. Pada awal karirnya ia bergabung dengan kelompok kecil pengacara dan administrator terkemuka, termasuk Chancellor Perancis, Michel de L’Hopital. Atasannya sendiri, Duke of Alencon, adalah pemimpin resmi Dari kelompok ini yang dikenal sebagai politiques.
Politiques menyadari bahwa Negara akan tercabik – cabik jika perang agama terus berlanjut. Mereka juga sadar bahwa perpecahan Agama Kristen menjadi semakin dalam yang di sebabkan oleh pemaksaan dan penyiksaan. Mereka berpendapat bahwa Negara seharusnya hanya menjaga ketertiban, dan bukan membangun atau mempertahankan agama yang benar. Beberapa filosof pada masa itu berpendirian bahwa Ajaran Kristen yang sejati tidak menuntut pembersihan atau tindakan koersif fisik terhadap orang – orang yang menetang kepercayaan ini, ia hanya menuntut bahwa mereka perlu diyakinkan dengan akal, diberi nasehat, atau cukup dibiarkan saja.Politiques tidak terdorong oleh perasaan semacam ini. Mereka tidak menganggap toleransi agama sebagai hal yang benar secara teologis atau moral, mereka melihatnya semata – mata sebagai kebijakan yang berguna dan diperlukan menurut kondisi sejarah pada masa itu. Politiquis tidak terdorong oleh perasaan semacam ini. Mereka tidak mengganggap tolerasi agama sebagai hal yang benar secara teologis atau moral ; mereka melihatnya semata – mata sebagai kebijakan yang berguna dan diperlukan menurut kondisi sejarah pada masa itu.
Berdiri diantara dua titik ekstrim – katolik dan Huguenots – Politiques berusaha membangun dasar menegah yang akan mencegah pecahnya Perancis menjadi dua kelompok yang tidak bisa didamaikan dan mungkinkan persatuan politik di tengah – tengah perbedaan agama. Mereka yakin bahwa satu – satunya harapan mencapai tujuan ini adalah membangun otoritas politik pusat yang kuat yang berdiri diatas semua kelompok agama dan faksi – faksi politik. Mereka tahu bahwa otoritas semacam ini harus mempunyai perangkat untuk membangun perdamaian dan ketertiban serta hak istimewah untuk menuntut kepatuhan. Karena monarki nampak sebagai satu – satuya agen yang bisa menjalankan peran ini, mereka mengarahkan upaya – upayanya untuk memperkuat kekuasaan kerajaan dan menempatkannya sebagai pusat persatuan nasional. Bodin adalah teoris utama dalam gerkan ini.
Karya terbaik Bodin yang dikenal adalah Six Books of Commonwealth. Sepuluh edisi karya ini dalam versi Perancis dan tiga dalam bahasa latin terbit pada masa hidupnya. Buku ini juga di terjemahkan ke dalam bahasa Itali, Spanyol, Jerman, dan Inggris. Ia sangat penting sebagai karya pertama yang membahas teori kedaulatan modern. Karya ini menunjukan pengetahuan yang luas dari pengarangnya tetapi pembahasannya terlalu panjang, acak, dan terkadang membingungkan jika tidak bisa dikatakan bertentangan. Tetapi, terlepas dari beberapa  kekurangan tersebut, Commonwealth menawarkan pernyataan filsafat politik yang paling matang dalam abad ke-16. Dengan pandangan – pandangan yang tidak bisa dipertemukan yang dinyatakan pada semua aspek seperti mengenai watak kekuasaan politik dan kewajiban warga, Bodin berusaha mengedepankan prinsip – prinsip Fundamental yang diatasnya tatanan sosial yang permanen harus dibangun. Ia yakin bahwa tugas pertama adalh menemukan pemahaman yang jelas menegnai otoritas politik. Ia merasa bahwa sebelum sampai pada pemahaman ini, harus di temukan terlebih dahulu bebrapa prinsip yang mempertemukan kebebasan manusia dan otoritas Negara dan memuaskan pikiran dan kesadaran. Ia menganggap menemukan elemen dasar ini dalam doktrin kedaulatannya.
2.      Filsafat Politik Menurut Bodin (1530 – 1596 M)
            Memosisikan Bodin sebagai pemikir politik didasarkan pada dua karya utamanya, Method for the Easy Understanding of History (metode memahami sejarah secara mudah) yang ditulis pada tahun 1566 dan Les Six livres de la Republique (six books on the state / enam karya tentang negara) yang di tulis pada tahun 1576 M. Pada buku yang pertama Bodin berkonsentrasi pada penafsiran dan penjelasan tentang signifikansi sejarah. Adapun pada buku kedua, ia berkonsentrasi pada penjelasan tentang pemerintahan. Ketika menaruh perhatian pada studi sejarah, ia lebih mementingkan penafsiran atau penjelasan rasional, bukan atas kejadian atau peristiwa sejarah.
            Menurut Bodin, manusia sendirilah yang menciptakan peristiwa-peristiwanya. Oleh karena itu, ia sendiri pulalah yang menciptakan sejarahnya dengan pengaruh cuaca seperti hujan, angin dan topografi, dan mengikuti jalan kejadian-kejadian sejarah. Oleh karena itu, Bodin menarik kesimpulan bahwa lingkungan alam mempunyai pengaruh pada manusia dan sejarahnya, serta arah politiknya yang juga merupakan bagian sejarah.
             Atas dasar itu, Bodin di daulat sebagai orang pertama yang memperkenalkan sejarah filsafat dengan pemaknaan baru. Bodin menafikan unsur-unsur tidak rasional yang oleh banyak tokoh sering disebut-sebut sebgai penentu jalan sejarah. Sebagaimana halnya dalam studi-studinya, ia menafikan unsur-unsur tidak rasional itu sebagai penggerak manusia sebagaimana yang disangka oleh banyak pemikir. Mengenai studi sejarah manusia, Bodin menganggapnya hanya sebagai ilmu murni yang dapat dicerna dan di analisis oleh akal. Ia tinggal menjelaskan motif-motif dan sebab-sebabnya yang hakiki.
            Bagi Bodin, sejarah bukanlah mata rantai buta dari rangkaian peristiwa yang tidak saling memiliki ikatan. Sejarah baginya adalah relasi-relasi rasional bagi peradaban, kebudayaan dan tatanan kemanusiaan. Sejarah tumbuh, berkembang, kemudian membesar, dan mati karena faktor-faktor kemanusiaan dan motif-motif yang tunduk pada kepentingan rasional.
            Karya Bodin, Les six livres de la Republique, juga di daulat sebagai karya yang pertama kali bicara tentang ilmu politik dengan pemaknaan yang baru pula. Perhatian Bodin terhadap politik dibangun diatas dasar penafsiran ilmiah terhadap fenomena-fenomena politik. Ia merajut rangkaian politik berdasarkan pengetahuan ilmiah, tanpa melihat faktor kekuatan gaib atau ketuhanan. Bodin berusaha meletakkan mahzab filsafat dalam pemikiran-pemikiran politik.
            Kelebihan karya Bodin diatas semakin tampak ketika ia membebaskan konsep kekuasaan yang memiliki kedaulatan dari benteng-benteng ketuhanan. Karyanya itu dipandang sebagai pembelaan terhadap politik dan pemerintahan monarki melawan partai-partai politik. Inti pikiran para pakar politik dan beberapa tokoh yang menulis bahwa kekuasaan kerajaan berkisar tentang asas pemersatu. Oleh karena itu, mereka mencurahkan segenap pemikirannya untuk menjadikan kerajaan sebagai pusat pemersatu warga ngara, diatas mahzab-mahzab agama dan partai-partai politik. Ciri terpenting dari mahzab politik kelompok ini adalah gagasan toleransi agama, yakni mewujudkan toleransi terhadap agama-agama yang ada dalam satu negara. Jika tujuan mereka adalah memelihara ikatan nasionalisme Perancis, karya Bodin diatas bertujuan menetapkan dasar-dasar kesatuan yang wajib dianut oleh suatu negara.
            Dalam studinya terhadap sejarah, Bodin meyakini bahwa ia mengikuti metode baru yang mengaitkan antara filsafat dan sejarah. Ia meyakini bahwa filsafat akan mati apabila tidak membangkitkan kehidupan sejarah. Ia pun meyakini bahwasanya sejarah akan mengalir apabila mendapat perhatian serius untuk dipelajari. Sejarah seolah-olah merupakan rangkaian peristiwa kemanusiaan secara individu yang tidak dapat dicerna akal dan tidak tunduk pada penafsiran. Oleh karena itu, sejarah terkesan tidak mengandung makna.
            Menurut kami, bagi Bodin, tidak ada mahzab jelas yang dapat membantunya dalam menyusun materi-materi sejarahnya. Karya-karyanya sendiri membutuhkan anotasi dan syarah, terutama tentang contoh-contoh peristiwa sejarah, yang menawarkan perincian terhadap pembaca.
            Teori kedaulatan (sovereignty) adalah kontribusi pertama kali yang diberikan Bodin dalam pemikiran politik. Walaupun teori ini telah ada dalam hukum Romawi, Bodin adalah orang yang pertama kali menguraikan teori ini secara mendalam dan sempurna. Ia adalah orang yang pertama kali menempatkan teori tersebut dalam filsafat politik.
            Menurut Bodin, negara adalah sekumpulan keluarga dan hak-hak propertinya yang diikat dan disatukan oleh kekuatan besar dan akal. Unsur terpenting yang terkandung dalam defenisi diatas adalah prinsip kedaulatan yang juga merupakan bagian terpenting dalam filsafat politik Bodin. Ia melihat bahwa kedaulatan yang memiliki kekuasaan adalah yang membedakan negara dari kumpulan lain yang dibentuk oleh sekumpulan keluarga, bukan individu. Bodin berpendapat bahwa individu tidak memiliki kepentingan apapun dalam struktur politik. Individu mempunyai pengaruh tatkala cair atau bergabung dengan sebuah kelompok. Oleh karena itu, Bodin berpendapat bahwa negara bukanlah kumpulan individu. Negara dibentuk oleh kumpulan sosial. Keluarga adalah inti utama dalam masyarakat. Keluarga dapat saja terdiri dari organisasi perdagangan, gereja, dll. Interaksi kumpulan-kumpulan ini dilakukan melalui jalur kekerabatan, adat, kesepakatan atau jalur lainnya. Adapun negara diikat melalui jalur kekuatan.
            Adapun kedaulatan menurut Bodin adalah kekuatan besar yang dapat mengendalikan rakyat. Kekuatan ini tidak saja besar, tetapi juga kekal. Sebab, apabila keadaannya dibatasi oleh zaman, ia tidaklah besar.
            Pembahasan Bodin tentang kekuatan besar sampai pada uraian tentang unsur-unsur kekuatan ketuhanan. Ia menggandengkan kekuatan Tuhan secara langsung dengan hukum sipil dan tindakan orang yang keluar dari hukum sipil. Alasannya, pemimpin maupun rakyat sama-sama harus tunduk pada hukum Tuhan dan hukum alam. Orang yang berusaha lari dari dua hukum ini tidak mungkin dapat lari dari kekuatan Tuhan. Adapun percobaan untuk bebas dari kepemimpinan dan kekuatannya yang menekan hanya menyangkut hukum sipil.
            Lebih lanjut, Bodin menjelaskan bahwa kedaulatan adalah kemauan paling tinggi yang memungkinkan ada dalam masyarakat. Peran utama bagi pokok dan kedaulatan adalah menerapkan hukum-hukum pada rakyat dan individu, bukan pada para pemimpin. Sebab, pemimpin adalah sumber hukum. Ketika bentuk pemerintahan ideal berada pada monarki, yakni pemerintahan yang dipegang oleh satu orang, akan muncul beberapa pertanyaan yang berkisar seputar adanya keterikatan raja dengan hukum. Bodin menjelaskan bahwa raja tidak mungkin terikat dengan hukum yang telah dibuatnya. Kekuasaan raja tidak tunduk pada hukumnya. Namun, hukum Tuhan dan hukum alam mengatur segala bentuk kekuasaan. Dengan demikian, raja membuat hukum bumi, tapi tidak tunduk padanya. Namun, ia tidak membuat hukum Tuhan dan hukum alam yang karenanya ia harus tunduk kepada keduanya. Tentang hukum sekuler (duniawi) ini, Bodin menjelaskan,
“Hukum sekuler bersandar pada kekuatan besar dalam negara (yakni, raja). Oleh karena itu, raja berkuasa menerapkan hukum pada rakyatnya, sedangkan ia sendiri tidak terikat oleh hukum itu”
            Dengan demikian, kedaulatan merupakan sesuatu yang luhur yang digunakan untuk mengendalikan rakyat, yang tidak dapat dibatasi hukum. Hanya saja, Bodin menegaskan bahwa pemimpin terikat oleh hukum Tuhan dan hukum alam. Seiring dengan defenisi hukum yang dirumuskannya, yakni aturan yang muncul dari kemauan pemimpin, Bodin tidak mengizinkan seorang pemimpin mengeluarkan hukum atas dasar hawa nafsu. Alasannya, pemimpin tunduk pada hukum alam yang berada diatas manusia dan yang mengeluarkan kebenaran untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak mungkin untuk diubah. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang baik bagi Bodin adalah yang tunduk pada hukum alam. Ia memimpin pada hukum sekuler yang dibuat pemimpin.
            Pusaran filsafat politik Bodin terdapat pada teorinya tentang kedaulatan ini. Dunia memang mengenalnya sebagai salah seorang peletak teori itu. Namun, untuk teorinya itu, sebenarnya pula pada beberapa teori. Agar tersusun tatanan politik secara sempurna, Bodin mengharuskan pembedaan antara negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, ia mengkritik Aristoteles yang tidak melakukan pembedaan secara jelas antara negara dan pemerintshsn.
            Dalam hal ini, Bodin menegaskan bahwa bukan merupakan suatu keharusan menyelaraskan bentuk pemerintahan dengan bentuk negara. Bentuk negara dibatasi oleh unsur-unsur kekuasaan yang ada didalamnya. Oleh karena itu, Bodin membagi bentuk negara pada monarki, aristokrasi dan demokrasi. Setiap bentuk ini bisa saja menerapkan bentuk pemerintahan yang berbeda. Negara demokrasi misalnya bisa saja menerapkan bentuk pemerintahan monarki, dimana kekuasaan berada pada seorang raja. Sebagaimana halnya kepemimpinan pemerintahan republik terkadang berada ditangan satu oarang, yakni kepala negara. Sebenarnya Bodin lebih mengutamakan bentuk monarki sebagai bentuk pemerintahan, tetapi ia tidak merinci alasannya.
            Berdasarkan paparan diatas, tampaknya Bodin hanya melihat tiga bentuk pemerintahan, yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Faktor pembeda diantara tiga bentuk itu terletak pada jumlah pemegang kekuasaan. Ketika kekuasaan berada pada sekelompok kecil, pemerintahan itu disebut aristokrasi. Ketika kekuasaan berada pada mayoritas atau rakyat, pemerintahan itu disebut demokrasi. Ketika kekuasaan berada ditangan satu orang, pemerintahan itu disebut monarki.
            Bodin melihat bahwa negara itu seperti individu. Ia lahir, tumbuh, berkembang, kemudian hancur dan mati. Sesungguhnya revolusi dan perubahan dalam masyarakat tidak mungkin berdiri, kecuali jika bentuk pemerintahan dan kekuasaan berubah. Artinya jika terjadi perubahan total dalam undang-undang, agama dan tatanan lainnya, sesungguhnya ia bukanlah revolusi. Namun, ketika kekuatan besar berubah, misalnya dari monarki berubah menjadi aristokrasi, maka inilah yang dinamakan revolusi hakiki.
            Pandangan Bodin tentang revolusi sesungguhnya bersifat ilmiah. Sebab, ia melihat bahwa faktor topografi geografi memberikan saham besar pada kejdian-kejadian revolusi. Disini, Marxy menegaskan bahwa Bodin adalah seorang pemikir baru karena menawarkan gambaran lebih luas daripada para pemikir lainnya.
            Konstribusi lainnya yang diberikan Bodin dalam filsafat politik adalah ketika ia membahas kewarganegaraan (citizenship). Baginya, warga negara adalah rakyat biasa bagi suatu negara. Ia tidak punya hak sharing dalam pemerintahan. Ia memiliki kekuatan paling rendah. Sebagaimana ia tidak sejajar dengan para pemimpin masyarakat. Warga negara, menurut Bodin, hanya berkewajiban taat kepada pemimpin. Dunning berkata,
“Warga negara bukanlah unsur pertama bangunan politik. Unsur pertama sbangunan politik adalah keluarga dan kelompok. Warga negara adalah anggota dari suatu keluarga atas kelompok dengan keagamaan kapasitasnya didalamnya. Adapun pengertian Bodin tentang ‘warga negara adalah manusi merdeka yang tunduk pada kekuasaan yang berada pada diri seseorang selain dirinya’. Bebas disini tidak dimaksudkan kebebasan pemilihan, atau kebebasan berpendapat, atau kebebasan dengan makna politis, baik secara luas atau sempit. Bebas yang dimaksud disini adalah bukan hamba sahaya. Dengan defenisi seperti ini, Bodin tidak memasukkan hamba sahaya sebagai warga negara.”
            Filsafat politik Bodin berpengaruh pada pemikiran abad ke 17. Sejarah politik pada abad ini berkisar sekitar kedaulatan dimana Bodin adalah orang yang pertama kali mengemukakan secara rinci, mendalam dan jelas.  Bahkan, pemikirannya berpengaruh pula  terhadap para pemikiran abad ke-18, 19, dan 20 ketika berdiri negara nasionalis, dimana perang dunia I dan perang dunia II tidak mampu menggoyahkan kepemimpinan negara nasionalis ini.
            Parker berkata, “Bodin memiliki kesamaan dengan Machiavelli dalam sisi arah pemikiran ke persoalan sekularitas (ad-da’irah’ad-dunyawiyah). Hanya saja Machiavelli mengemukakan teori kekuasaan secara prosedural, sedangkan Bodin mengemukakan teori kekuasaan secara hukum.” Dunning berkata, “Machiavelli menempuh sebagian langkah orientasi bangunan ilmiah terhadap politik, sedangkan Bodin menyempurnakan langkah itu.
            Bodin memperkuat filsafat politiknya dengan sandaran teorinya tentang hukum. Kita menangkap bahwa pandangannya tentang kewarganegaraannya seiring dengan pandangannya tentang kedaulatan dan hukum. Kita pun memperoleh gambaran yang jelas bahwa pandangan Bodin tentang revolusi sesuai dengan pandangannya tentang negara, mulai dari pertumbuhan, perkembangan, kehancuran dan kematiannya. Bodin pun menegaskan bahwa revolusi tidak akan sempurna, kecuali apabila unsur-unsur kekuasaan yang mengendalikan negara berubah dari monarki-misalnya menjadi demokrasi, atau dari aristokrasi menjadi demokrasi. Dengan demikian, pandangannya tentang revolusi tertata dengan pandangannya tentang kedaulatan, hukum dan kewarganegaraan dalam sebuah bangunan konsep politik yang sempurna. Oleh karena itu, Dunning menjelaskan bahwa seorang filosof seperti Bodin tidak mungkin diletakkan pada kedudukan yang jelas dalam filsafat dan sejarah politik kalau bukan karena pemikirannya yang sempurna ini.
            Jean Bodin juga salah satu tokoh paham merkantilisme yaitu :
Istilah merkantilisme berasal dari kata Merchant  yang artinya berdagang. Menurut paham ini, suatu Negara akan maju bila melakukan perdagangan. Dalam artian yang luas, perdagangan yang dimaksud ialah perdagangan dengan Negara lain.  Pada awalnya, Negara-negara di eropa hanya ingin melakukan perdagangan dengan Negara lain, tetapi pada akhirnya mereka menjajah Negara tersebut agar bisa mendapatkan hasil jajahannya. Dan hasil jajahan  tersebut dibawa pulang ke Negara asalnya dalam bentuk emas dan perak.
Pada zaman merkantilisme , sumber kekayaan Negara adalah dari perdagangan luar negeri. Selanjutnya uang (emas atau perak) hasil dari surplus perdagangan ialah sumber kekuasaan.
Dalam bukunya yang berjudul Reponse Aux Paradoxes de Malestroit (1568), dikemukakan oleh Bodin, naiknya harga-harga barang secara umum disebabkan oleh 5 faktor, yakni :
1.      Bertambahnya logam mulia seperti perak dan emas.
2.      Praktek momopoli yang dilakukan oleh dunia swasta paupun peran Negara.
3.      Jumlah barang di dalam negeri menjadi langka oleh karena sebagian hasil produksi di ekspor.
4.      Pola hidup mewah kalangan bangsawan dan raja-raja.
5.      Menurunnya nilai mata uang logam karena isi karat yang terkandung di dalamnya dikurangi atau dipermainkan.
Bodin Sependapat dengan Machiavelli bahwa Negara mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap warga Negara, karena Negara berada di atas hokum. Sebenarnya teori yang dikemukakan oleh bodin ini agak berlebihan, akan tetapi teori ini mencerminkan kebutuhan Negara-negara menciptakan kemakmuran bagi setiap rakyatnya.
Menanggapi perilaku mewah-mewahan yang dilakukn oleh para kaum bangsawan, Jean Bodin menekankan apabila jumlah cadangan yang berupa perediaan emas tersebut lebih baik disimpan terlebih dahulu, dan pengeluaran dilakukan secara hemat dan berhati-hati yang akan berujung pada terkendalinya inflasi.
Teori Jean Bodin tentang nilai uang dinilai sangat maju, maka dari itu dalam selang waktu sekitar nasional yang sedang tumbuh akan kekuasaan untuk menjaga kestabilan ekonomi dan setangah abad, Irving Fisher menggunakannya sebagai dasar teorinya yakni teori kuantitas uang.

3.      Peran politik Jean Bodin di Perancis
a.       Watak Negara
Tidak seperti Machiavelli, Jean Bodin tidak tergesah – gesah mendiskusikan cara – cara mencapai dan mempertahankan kekuasaan politik. Ia menganggap mendasar untuk pertama – tama mengetahui watak dan tujuan Negara sebelum beralih pada cara – cara mencapai tujuan ini. “Orang yang tidak memahami tujuan, dan tidak bisa menentukan masalahnya dengan benar, tidak bisa berharap akan menemukan cara – cara untuk meraihnya, sebagaimana orang yang melepaskan tembakan ke udara dengan cara serampangan tidak akan mengenai sasaran. “Namun demikian, Jean Bodin bukannya sama sekali tidak setia dengan pendekatan yang dimaksud, terutama bagian dari pendekatan yang menyangkut masalah tujuan. Ia mulai dengan menyatakan bahwa Negara ada untuk meningkatkan kehidupan yang baik dan bijak warganya, tetapi ia segera meninggalkan aspek ini sama sekali. Semua perhatiannya kemudian terfokus pada cara – cara mempertahankan negara terlepas dari apa pun karakter negara itu sedangkan cara – cara meningkatkan kehidupan yang baik diabaikan. Tujuan moral yang ia berikan pada negara hilang dengan penerimaannya terhadap setipa kekuasaan yang terorganisir secara efektif sebagai negara yang sejati. Pendekatannya pada negara, terlepas dari kritik – kritikanya adalah Machiavellian.
Bodin mendefenisikan negara sebagai “pemerintahan yang tertata dengan dari beberapa keluarga serta kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan yang berdaulat. “ Ia mencatat bahwa terdapat empat unsur pokok yang perlu dilihat di sini: tatanan yang benar, keluarga, kekuasaan yang berdaulat, dan tujuan yang bersama. Pemerintah yang di bangun dengan benar sejalan dengan  hukum alam adalah sifat sejati dari masyarakat yang membedakannya dari gerombolan pencuri dan perampok. Kehidupan yang baik dan bahagia yang oleh pala pemikir klasik dianggap sebagai elemen Negara tidak masuk dalam bagian definisi meskipun ia merupakan tujuan tertinggi yang harus di perjuangkan. Karena “commonwealth bisa di tata dengan baik dan bisa juga mengalami kemiskinan, ditinggalkan oleh teman – temannya,m di hancurkan oleh musuh – musuhnya, dan mengalami kemunduran karena bencana yang terjadi dalam waktu singkat.
Bodin mengikuti Aristoteles dalam pendirian bahwa bahwa keluarga dan bukan individualah yang menjadi unit dasar negara. Keluarga “bukan hanya sumber sebenarnya dan asal usul Commonwealth, tetapi merupakan unsur pokoknya. Lebih dari itu, ia adalah komunitas alamiah yang melahirkan masyarakat yang lebih kompleks. Otoritas anggota kelompok diserahkan kepada kepalah rumah tangga. Bodin yakin bahwa manusia, sebagai akibat dari kejatuhan, adalah curang dan suka memberontak. Ia yakin bahwa kebutuhan pokok manusia adalah disiplin dalam mengekang dorongan jahatnya. Pandangan ini mendorongnya untuk menekankan otoritas dan kekuasaan yang diserahkan kepada ayah dalam keluarga atau penguasa negara. Ia mendesak agar otoritas ayah diperkuat sekalipun dengan taruhan nyawa anak – anaknya. Hanya dengan cara ini kebiasaan patuh bisa ditanamkan kepada mereka, sehingga dimasa kemudian mereka akan menjadi warga negara yang patuh pdsa penguasanya. “ Anak – anak yang berani kepada orang tuanya, dan tidak takut dengan kemarahan tuhan, akan menentang kekuasaan.” Pelatihan warga negara yang baik harus mulai sejak kanak – kanak.
Keluarga yang harmonis adalah “ citra sejati dari commonwealt.” Model bagi pemerintahan politik ditemukan dalam kekuasaan ayah terhadap keluarganya. Sebagaimana dalam keluarga di mana tunduk pada perintah ayah adalah penting bagi kesejahteraan keluarga, demikian juga patuh pada penguasa adalah penting bagi stabilitas negara. Dan karena sang ayah mempunyai kekuasaan penuh dalam keluarga, demikian juga dengan penguasa commonwealt harus mempunyai yurisdiksi penuh terhadap warga negaranya. “karena keluarga itu seperti Negara: hanya bisa ada satu penguasa, satu pemimpin, satu tuan. Jika beberapa orang mempunyai otoritas, mereka akan merusak tatanan dan menimbulkan bencan yang terus berlanjut.”
Meskipun Bodin mengikuti Aristoteles dalam menekankan keluarga sebagai satuan pokok masyarakat, ia tidak menerima perbedaan pendahuluan sebagai satuan pokok masyarakat, ia tidak menerima perbedaan pendahulunya ini antara kekuasaan ayah terhadap keluarga (kekuasaan yang mana satu lebih tinggi) dan kekuasaan politik (kekuasaan yang sama derajatnya). Dalam pemikiran Aristoteles, kekuasaan ayah adalah tanpa persetujuan anak – anaknya, tetapi kekuasaan pemerintah sipil untuk menjadi syah harus berdasar pada persetujuan rakyat. Dengan mengabaikan perbedaan ini, Bodin mampu menerapkan analogi keluarga agar cocok dengan tujuan teori politiknya.
Menurut Bodin, Negara mempunyai asal – usulnya dalam kekuatan dan kekerasan. Sebelum terdapat bentuk persekutuan politik, setiap kepala keluarga adalah “ pemimpin dalam rumah tangga, mempunyai kekuasaan terhadap hidup dan mati istri serta anak – anaknya.” Di sini terdapat sesuatu yang  mirip dengan keadaan alamiah Hobbes.” Kekuatan, kekerasan, ambisi, kebencian, dan nafsu balas dendam menjadikan manusia bermusuhan satu sama lain.” Kondisi yangt tidak menguntungkan ini mendorong keluarga – keluarga untuk bersatu demi pertahanan bersama dan keuntungan lainya serta untuk mengakui kekuasaan politik yang berdaulat, puissance souveraine. Pengakuan akan otoritas semacam ini lebih sering dicapai oleh kekuatan dari pada pengakuan sukarela. Aristoteles dan para pemikir lainnya adalah salah,  kata Bodin, dengan mengira bahwa penguasa pertama dipilih karena keadilan dan kebajikan mereka. Sebaliknya, mereka adalah orang – orang yang mempunyai kekuatan fisik yang diperlukan untuk menundukkan orang lain di bawah perintah mereka.
b.      Kedaulatan
Bodin berpendapat bahwa elemen yang membedakan Negara dari semua bentuk asosiasi manusia yang lain adalah kedaulatan. Tidak bisa ada commonwealth yang sejati tanpa kekuasaan yang berdaulat yang menyatukan semua anggota – anggotanya. Suatu otoritas yang mutlak dan tertinggi yang tidak tunduk pada kekuasaan manusia lainya harus ada dalam lembaga politik. Ini adalah prinsip pertama dan paling fundamental dari teori politik Bodin. Dalam karyanya ia sudah menyerukan perlunya mendefinisikan konsep kedaulatan “ karena meskipun konsep ini merupakan label istimewah dari commonwealth dan memahami wataknya sangat penting bagi studi politik, tidak ada jurist atau filosof yangt pada kenyataannya berusaha mendefinisikannya. “ sayangnya, upayanya untuk menyembuhkan apa yang ia sebut kegagalan para pendahulunya tidak lepas dari kesulitan.
Kedaulatan, sebagaimana yang didefinisikan Bodin, “ adalah kekuasaan absolute dan abadi yang diletakkan pada commonwealth”, ia adalah “ kekuasaan tertinggi diatas warga negara dan tidak di batasi oleh hukum. Kualitas – kualitas dasar dari kedaulatan adalah kemutlakan, kelanggengan, dan tidak dapat dibagi (indivisibility) . orang atau lembaga yang mempunyai kedaulatan tidak bisa dibatasi oleh kekuasaan lain atau oleh semua hukum manusia. Raja yang berdaulat tidak mempunyai pebanding, ia menganggap tidak ada yang lebih berkuasa dari dirinya kecuali tuhan. Kedaulatan adalah permanen karena tidak ada batas waktu yang bisa ditetapkan dalam pelaksanaanya. Ketika ia diserahkan kepada penguasa, ia memilikinya selama masa hidupnya. “Jadi, kedaulatan tidak terbatas dalam kekuasaan, tanggung jawab, atau waktu. “ Akhirnya, kedaulatan tidak bisa dibagi – bagi karena kedaulatan yang di bagi – bagi berarti bertentangan dalam istilah. “ Sebagai mana tuhan yang maha kuasa tidak bisa menciptakan tuhan lain yang sebanding dengan dirinya, karena ia tidak terbatas dan tidak mungkin ada dua hal yang tidak terbatas, demikian pula raja yang berdaulat, yang adalah bayangan tuhan, tidak bisa menciptakan kekuasaan yang sama denganya tanpa menghancurkan diri sendiri.
Tanda khas dan mendasar dari kedaulatan adalah kekuasaan untuk membuat hukum. “ Atribut pertama dari raja yang berdaulat adalah kekuasaan membuat hukum yang mengikat semua rakyatnya secara umum dan secara khusus mengikat semua orang. “ dan ia melaksanakan kekuasaan ini” tanpa persetujuan dari mana pun”. Pemikir abad pertengahan melihat hukum sebagai sesuatu yang ditemukan bukan yang diciptakan. Mereka menganggap hukum bukan sebagai peraturan dari otoritas pemerintah tetapi sebagai kebiasaan yang dinyatakan dalam kehidupan masyarakat. Bodin melepaskan diri dari masa lampau dalam hal ini dengan menempatkan kebiasaan pada posisi subordinat. Ia bersikap empati dalam pernyataannya bahwa ia mempunyai kekuatan “hanya pada toleransi dan dalam kebaikan raja yang berdaulat, dan selama raja yang bersedia menguasakannya. Kekuatan hukum tertulis dan adat berasal dari penguasa raja.”
Penguasa tidak terikat baik oleh hukum yang ia buat atau dibuat pendahulunya atau oleh tindakan rakyatnya. Hukum dan kebiasaan semacam ini, meskipun  mungkin didasarkan atas pikiran yang sahih, hanya tergantung pada kehendaknya yang bebas. Unsur rasio yang sangat diletakkan oleh St. Thomas dalam defenisi hukum nya tidak mempunyai peran penting, sementara kehendak legislator menjadi factor utama. Bodin bukanlah orang pertama yang memahami hukum sebagai aturan yang dibuat oleh penguasa politik tetapi teorinya menunjukan ungkapan yang lebih tajam akan konsep tersebut.
Sampai pada masalah ini, doktrin kedaulatan Bodin nampaknya menjadi ekspresi dari kekuasaan absolute dan tidak terbatas dalam negara. Namun demikian, ia tidak bermaksud sampai sejauh ini sebagaimana yang dengan jelas dia tunjukan. Jika kekuasaan absolute digunakan dalam arti terbebas dari semua hukum, maka tidak ada raja didunia yang bisa dianggap penguasa, karena semua raja didunia tunduk kepada hukum tuhan dan hukum alam dan bahkan pada hukum manusia yang dimiliki oleh semua bangsa. Oleh karenanya, penguasa terikat oleh hukum – hukum sipil yang merupakan penjelmaan dari prinsip – prinsip keadilan alam karena jenis hukum ini , meskipun ditetapkan oleh otoritas raja, merupakan hukum alam yang sebenarnya. Ia juga tunduk pada hukum konstitusi atau fundamental (lege emperii). Hukum – hukum ini melarang penguasa mengganti hukum salic mengenai suksesi kerajaan, menghapuskan domain public, atau menumpuk kekayaan pribadi tanpa persetujuan pemiliknya.
Tidak sulit mempertemukan batas – batas yang ditetapkan oleh wahyu dan alam bagi kekuasaan politik dengan watak absolute kedaulatan karena pembatasan ini masih tetap menempatkan penguasa di atas hukum manusia dan hanya bertanggung jawab kepada tuhan. Kerancunan terletak pada kualifikasi lain yang dibuat Bodin karena hal ini hanya mencangkup masalah yang berkenaan dengan hukum manusia. Jika kedaulatan pada dasarnya adalah kekuasaan membuat hukum, dan jika kekuasaan ini tidak bisa di bagi atau dibatasi oleh hukum, tidaklah logis memintah penguasa tunduk pada hukum – hukum yang tidak dibuatnya dan tidak bisa diubahnya. Teori Bodin hanya mempunyai konsistensi hanya jika pembatasan manusia ini dilihat sebagai perwujutan dari hukum alam. Jacques Maritain, yang mempunyai penafsiran yang demikian terhadap  konsep kedaulatan Bodin, menyatakan bahwa pengarangnya menempatkan penguasa dibawah kewajiban mengormati leges imperii, karena hukum manusia jenis ini sebenarnya merupakan hukum alam itu sendiri. Ia yakin bahwa Bodin telah salah dengan menganggap hukum –hukum ini sebagai bagian dari hukum alam meskipun hukum tersebut mengandung pembatasan yang tidak bersumber dari watak manusia, seperti ketidak mampuan penguasa mengubah jalannya suksesi kekuasaan.
Bodin berhati – hati dalam menyatakan bahwa meskipun negara yang tertata dengan benar secara jujur menjalankan hukum alam dan hukum ketuhanan, commonwealth tidak berhenti menjadi negara yang sejati jika ia mengabaikan ajaran – ajaran ini. Ia keberatan dengan klasifikasi pemerintahan Aristoteles menjadi bentuk yang baik dan buruk, dengan menyatakan bahwa hanya ada tiga jenis pemerintah dan ketiganya di bedakan oleh kedudukan dari kedaulatan: pada satu orang, beberapa orang, atau banyak orang. Apakah watak politik dalam negara itu baik atau buruk bukan merupakan hal yang pokok. Jika kita berpegang pada prinsip perbedaan antara commonwealth menurut kebajikan dan kejahatan yang menjadi cirri darinya, kita segera dihadapkan dengan perbedaan yang tidak terbatas. Bodin juga menolak ide negara gabung dengan alasan bahwa jenis negara ini, dengan pembagian kekuasaannya, tidak bisa eksis. Karena kedaulatan pada dasarnya tidak bisa di bagi – bagi. Dibawah konstitusi gabungan akan terdapat perselisihan seperti mengenai apakah kedaulatan terletak ditangan raja atau pada sebagian atau semua orang. Penelaahan terhadap apa yang disebut negara gabungan, kata Bodin, akan mengungkapkan bahwa kedaulatan sebenarnya terletak pada rakyat dan bahwa lembaga yang menjalannya hanya bekerja sebagai agen mereka. Commonwealth semacam ini bisa di klasifikasikan sebagai demokrasi.
Teori Jean Bodin tentang kedaulatan mutlak dan tak terbagi adalah produk dari waktu dan tempat. Livre Enam Nya de la République (1576) ditulis empat tahun setelah Day Massacre Saint Bartholomew, di mana ribuan Huguenot terkemuka dibunuh oleh Liga Katolik beberapa hari setelah pernikahan Margaret of Valois ke Henri dari Navarre, seorang Protestan yang kemudian dikonversi ke Katolik ketika ia naik tahta Perancis Henri IV tahun 1589. Pemikir Protestan, seperti François Hotman, yang menerbitkan Franco-Gallia pada tahun 1573, menyatakan bahwa raja-raja Prancis yang awalnya dipilih oleh rakyat dan dapat digulingkan oleh rakyat.doktrin Bodin tentang kedaulatan mutlak, karena Julian Franklin berpendapat, produk Pembantaian Hari Saint Bartholomew dan Monarchomach teori Huguenot, yang Bodin ditentang. Kekuatan Sovereign, Bodin berharap, bisa polisi dan memoderasi konflik agama antara Huguenot dan Liga Katolik bahwa biaya begitu banyak nyawa dalam bukunya hari. Bodin adalah "politique," seorang pendukung tidak Huguenot maupun Liga Katolik, yang memiliki reputasi lebih peduli terhadap perdamaian sipil daripada kebenaran doktrin. Namun, Bodin Six livre de la République itu bukan hanya livre de circonstance tetapi pekerjaan utama teori politik peduli dengan pertanyaan abadi dari hubungan antara agama dan politik, dari konflik antara perintah ningrat dan kampungan, dari bentuk pemerintah, dan perbedaan antara kedaulatan dan pemerintah.
Bodin, ahli teori kedaulatan mutlak, itu tidak memusuhi teori liberal atau demokratis seperti yang sering diasumsikan. John Locke dianjurkan Bodin pada mahasiswanya di Christ Church, Oxford. Bodin, seperti akan kita lihat, bersikeras bahwa raja tidak dapat pajak rakyat mereka tanpa persetujuan mereka, doktrin pusat Locke dan kemudian Rousseau dan kaum revolusioner Amerika dan Perancis . Perbedaan Bodin itu antara kedaulatan dan pemerintah, yang saya akan segera menganalisis, doktrin liberal diantisipasi pemisahan kekuasaan dan subordinasi eksekutif ke legislatif pemerintahan, serta doktrin Rousseau tentang perbedaan antara legislatif berdaulat dan eksekutif aristokrat bawahan kepada rakyat berdaulat. Selanjutnya, subordinasi Bodin untuk keadaan gereja melayani tujuan toleransi beragama dan bahwa subordinasi gereja untuk negara yang didukung oleh juara toleransi beragama, seperti Hobbes, Mandeville, Voltaire, Diderot, Hume, dan John Stuart Mill , dan dengan demikian adalah alternatif liberal asli untuk Locke dan doktrin Jefferson pemisahan gereja dan negara. Bodin adalah monarki, ia menulis positif tentang republik dan memang bisa dikatakan telah mengilhami beberapa republikanisme neo-Romawi yang berkembang sekitar waktu revolusi Amerika dan Perancis.
Bodin pikir semua agama berguna untuk menopang stabilitas sosial, untuk membatasi tirani, dan untuk membentuk moeurs dan disukai memperluas toleransi untuk semua keyakinan kecuali ateisme dan sihir. Kolokium heptaplomeres Bodin ini (1593), diterbitkan tiga tahun sebelum kematiannya, adalah diskusi sipil antara Katolik, sebagian Protestan, Yahudi, Muslim, deis, dan skeptis filosofis di mana non-Kristen tidak tegas dibantah oleh pemikir Kristen, atau Protestan dengan Katolik. Dalam Enam livre, Bodin menegaskan bahwa hanya ada satu agama yang benar tetapi menggunakan kekuatan untuk membawa orang-orang itu adalah kontra produktif, dan ia memuji raja Turki untuk menjaga agamanya tekun tetapi membiarkan penganut Yudaisme, Katolik, dan Ortodoks Timur untuk berlatih secara bebas. Ia juga memuji Republik Romawi, "negara yang paling berkembang dan paling teratur dari apapun," yang disebabkan sebagian oleh kenyataan bahwa "tidak ada tuhan yang pernah diterima di Roma tanpa surat perintah Senat." Jika Rousseau diikuti Bodin dalam kedaulatan membedakan dari pemerintah, ia mungkin juga dikatakan telah mengikutinya (dalam Kontrak Sosial, sehubungan dengan dukungan untuk agama sipil yang memberitakan manfaat Allah dan akhirat dan yang mengecualikan toleran, mereka yang memegang bahwa hanya satu gereja memberikan keselamatan dan yang pengikutnya percaya hak untuk memaksa orang-orang kafir ke dalam "gereja yang benar."Bodin pikir agama sipil penting untuk mencegah amoralitas, yang melahirkan tirani, dan juga untuk mendelegitimasi justifikasi pemberontakan melawan tirani raja dan fasik oleh Huguenot dan Liga Katolik.
c.       Arti Penting Bodin
Bodin, dalam batas tertentu, tetap menjadi tradisi abad pertengahan, sebagaimana terbukti dalam pendiriannya akan ketundukan penguasa pada hukum alam dan hukum ketuhanan dan pada batas – batas spesifik lainnya. Raja dalam pengertian ini tetap berada dibawah hukum. Tanda dari kekuasaan kerajaan yang sebenarnya adalah bahwa penguasa sendiri sama patuhnya dengan hukum sebagaimana ia menginginkan rakyatnya patuh kepadanya. Jika wwarga patuh pada hukum yang ditetapkan oleh raja, dan raja pada gilirannya mematuhi hukum alam, maka hukum lah yang sebenarnya berkuasa. Karena Bodin menerapkan pembatasan ini pada penguasa, beberapa komentator menduga bahwa ia berdiri di persimpangan jalan antara pandangan abad pertengahan mengenai penguasa sebagai subjek yang menjalankan meskipun bukan kekuasaan koersif dari hukum manusia dan pandangan modern tentang kedaulatan sebagai sepenuhnya bebas dari hukum dunia. Maritain, sebaliknya, pada pembahasan sebelumnya bahwa Bodin bisa dianggap sebagai bapak teori kedaulatan modern. Memahami doktrin Bodin sebagai bebasnya penguasan dari hukum manusia, ia menyatakan bahwa ini adalah esensi kekuasaan absolute dan absolutisme tidak dikenal dalam pemikiran abad pertengahan. Tetapi kenyataan menunjukan bahwa bagi Bodin penguasa hanya tunduk pada hukum alam, dan bukan pada hukum manusia, yang berbeda dengan hukum alam, dan ini adalah inti dari absolutisme politik.
Jika konsep klasik dan pertengahan tentang Negara sebagai komunitas individu yang mempunyai hukum dan konstitusinya sendiri adalah benar, maka upaya Bodin untuk menyamakan kedaulatan dengan penguasan secara logis adalah mustahil. Kedaulatan, menurut pandangan tradisional dan organis tentang negara, terletak pada komunitas politik dan bukan pada individu yang bisa menjalankan kekuasaan publik pada waktu tertentu. Untuk mengatasi kesulitan ini, Bodin menyatakan bahwa rakyat sebagai badan politik secara mutlak dan tanpa syarat memisahkan diri dari kekuasaan totalnya dengan tujuan menyerahkan kekuasaan pada penguasa. Ini bukan pendelegasian tetapi penyerahan penuh kekuasaan. Rakyat melepaskan dan meninggalkan kekuasaannya yang berdaulat dengan tujuan untuk menyerahkanya kepada penguasa dan menjadikanya sebagai pemilik kekuasaan tersebut, dan karenanya memindahkan kepadanya semua kekuasaan, otoritas dan hak – haknya, sebagaimana orang yang memberikan kepada orang lain hak miliknya dari apa yang sebelumnya ia miliki.
Dengan kenyataan akan pelepasan total ini, penguasa mempunyai kedudukan di atas dan mengatasi semua tatanan politik dengan cara yang sama saebagaimana tuhan menguasai kosmos. Terlepas dari maksud Bodin, implikasi dari pemikirannya ikut meletakkan dasar bagi doktrin absolutisme murni. Untuk sampai pada doktrin ini, teorinya hanya perlu dilepaskan dari pembatasan yang ia coba pertahankan. Operasi pembedahan ini secara pedas pada masa berikutnya dilakukan oleh Thomas Hobbes.


DAFTAR PUSTAKA
Salim, 2010. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Schmandt, J. Henry. 2009. Filsafat Politik Kajian Historis dari zaman Yunani Kuno samapai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad, Ali Abdul Mu’ti & Rosihon Anwar. Filsafat Politik antara Barat dan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia
http://danaliqreen.blogspot.com/2014/02/jean-bodin.html