animasi





tinggal ketik untuk mencari data

Kamis, 13 Maret 2014

KEDAULATAN


A. Istilah dan Pengertian Kedaulatan
            Kata kedaulatan berasal dari kata sovereignty (bahasa Inggris), souverainete (bahasa Prancis), sovranus (bahasa Italia). Kata-kata asing tersebut diturunkan dari kata latin superanus yang berarti “yang tertinggi” (supreme). Sarjana-sarjana dari abad menengah lazim menggunakan pengertian-pengertian yang serupa maknanya dengan istilah superanus itu, yaitu summa potestas atau plenitudo potestatis, yang berarti wewenang tertinggi dari suatu kesatuan politik. Banyak sekali definisi untuk kata itu, tetapi “istilah ini selalu berarti otoritas pemerintahan dan hukum”.
            Baru pada abad ke-15 kata kedaulatan itu tampil sebagai istilah politik yang banyak dipergunakan terutama oleh sarjana-sarjana Prancis. Sarjana-Sarjana Prancis inilah yang kemudian mempopularisasi pemakaian kata kedaulatan (souverainete). Menurut Prof. Garner, Beaumanoir dan Loyseau sebagai sarjana-sarjana hukum yang pertama kali menggunakan kata itu dalam abad ke-15.
            Jean Bodin ketika menulis buku tentang negara juga telah menggunakan kata kedaulatan itu dalam hubungannya dengan negara, yakni sebagai ciri negara, sebagai atribut negara yang membedakan negara dari persekutuan-persekutuan lainnya. Jean Bodin melihat hakikat negara pada kedaulatannya. Ia memandang kedaulatan dari aspek internnya, yaitu sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu kekuasaan politik. Sedangkan pengertian kedaulatan ditinjau dari aspek eksternnya, yaitu aspek mengenai hubungan antara negara, untuk pertama kali dipergunakan oleh Grotius yang lazim dianggap sebagai bapak hukum internasional.
            Bagi Bodin kedaulatan dipersonifikasi oleh Raja. Raja yang berdaulat itu tidak bertanggung jawab terhadap siapapun, kecuali kepada Tuhan. Raja adalah Legibus Solutus. Raja adalah bayangan T­uhan. Kedaulatan sebagai “Summa in civics ac sabditos leibusque solute potestes”, yang berarti kekuasaan supra dari negara atas warga negara dan rakyatnya, yang tidak dibatasi hukum. Namun kedaulatan menurut paham Bodin juga tidak mutlak semutlak-mutlaknya. Raja harus menghormati ius naturale et gentium (hukum kodrat dan hukum antara bangsa) dan hukum konstitusional dari kerajaan, yakni leges imperii, misalnya hukum Salis tentang pengertian Raja. Dengan ajaran kedaulatan seperti diuraikan diatas Bodin meletakkan dasar filosofis dari pada pengertian kedaulatan yang mutlak.
            Ajaran kedaulatan yang mutlak dari Bodin diterima juga oleh seorang absolutis lainnya, yaitu Thomas Hobbes. Dalam ajaran Hobbes kedaulatan mencapai derajatnya yang paling mutlak. Bagi Hobbes, adagium “Princeps legibus solutus est” betul-betul menunjukkan keadaan Raja dizamannya; raja berada diatas undang-undang. Hobbes melanjutkan secara konsekuen teori Bodin dengan mengemukakan bahwa para individu yang hidup dalam keadaan alamiah menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka kepada seorang atau sekumpulan orang. Hobbes sendiri mengutamakan penyerahan itu kepada satu orang, yaitu Raja. Penyerahan ini adalah mutlak. Sehingga orang yang menerimanya berdaulat mutlak pula.
            Ajaran Bodin dan Hobbes kemudian dilanjutkan oleh John Austin di Inggris. Bagi Austin yang berdaulat adalah “legibus soluta”. Yang berdaulat adalah “pembentuk hukum yang tertinggi” (supreme legislator) dan hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu. Karena itu sebagai konsekuensinya, yang berdaulat berada diatas hukum yang merupakan hasil ciptaannya sendiri.
            Konsep kedaulatan tradisional itu memiliki beberapa ciri tertentu. Ciri itu ialah kelanggengan (permanence), sifat tidak dapat dipisah-pisahkan (indisible), sifatnya sebagai kekuasaan tertinggi (supreme), tidak terbatas dan lengkap (complete). Dengan kelanggengan dimaksudkan sifat kedaulatan yang abadi yang dimiliki negara selama negara itu masih ada. Sifat tidak dapat dipisah-pisahkan menunjukkan keadaan kedulatan sebagai pengertian yang bulat dan tunggal. Kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi dalam setiap negara. Kedaulatan tidak mengizinkan adanya saingan. Kedaulatan tidak mengenal batas, karena membatasi kedaulatan berarti adanya kedaulatan yang lebih tinggi. Kedaulatan itu lengkap, sempurna, karena tiada manusia dan organisasi yang diperkecualikan dari kekuasaan yang berdaulat.
B. Hakikat Kedaulatan
            Dalam terminologi ilmu politik modern, kata kedaulatan digunakan untuk mengartikan kemaharajaan mutlak atau kekuasaan raja yang paripurna. Kedaulatan memiliki hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memaksakan perintah-perintahnya kepada semua rakyat negara yang bersangkutan dan sang rakyat ini memiliki kewajiban mutlak untuk menaatinya tanpa memerhatikan apakah mereka bersedia atau tidak. Tidak ada media luar lainnya, kecuali kehendaknya sendiri, yang dapat mengenakan pembatasan pada kekuasaannya untuk memerintah. Tidak ada rakyat yang memiliki hak mutlak untuk melawannya atau bertentangan dengan perintah-perintahnya. Hak apapun yang dicabutnya akan dihapus. Sudah merupakan dalil universal dibidang hukum bahwa setiap hak hukum hanya tercipta jika pemberi hukum menginginkannya demikian. Oleh karenanya, jika sang pemberi hukum itu mencabutnya, keberadaannya dilenyapkan, dan sesudahnya hak yang telah dihapuskan tersebut tidak dapat dituntut. Hukum tercipta melalui kehendak kedaulatan serta meletakkan semua rakyat negara dibawah kewajiban untuk menaatinya. Tetapi tidak ada hukum yang mengikat kedaulatan itu sendiri. Dengan kata lain, ia adalah otoritas mutlak, dan dengan demikian, sepanjang berkaitan dengan perintah-perintahnya, tidak akan dan tidak boleh muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai baik buruk, benar dan salah, dan sebagainya. Apapun yang dilakukannya adalah dalil, dan tidak seorangpun dapat mempertanyakan tindakan, perintah serta penegakan perintah-perintah tersebut perilakunya merupakan kriteria bagi benar dan salah dan tidak seorangpun yang boleh mempertanyakannya.
            Tidak ada satupun yang kurang memenuhiunsur-unsur diatas yang dapat diistilahkan sebagai kedaulatan. Tetapi kedaulatan ini tetap hanya sekedar anggapan dasar hukum sepanjang tidak ada oknum aktif yang mampu menegakkannya. Oleh karenanya, secara ilmu politik, kedaulatan hukum tanpa kedaulatan politik tidak memiliki keberadaan praktis. Jadi secara alamiah, kedaulatan politik berarti pemilikan wewenang untuk menegakkan kedaulatan hukum.
            Apakah ada sistem monarki dimana kerajaan yang bersangkutan memiliki semua atribut kedaulatan itu dewasa ini, atau pernah memilikinya dimasa lalu, atau dapat diharapkan untuk memilikinya dimasa yang akan datang? Bolehkah kita menelaah kasus semua monarki raksasa serta menganalisis semua mitos kedaulatannya untuk menemukan bahwa semua kewenangan yang dinikmatinya dalam kenyataan dibatasi oleh sejumlah faktor ekstern yang berada diluar kontrol dari apa yang disebut sebagai kedaulatan ini.
C. Macam – Macam Kedaulatan
Dilihat dari istilah dan pengertiannya, Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam Negara, dan untuk mengetahui siapakah pemegang kedaulatan itu, maka kedaulatan dapat dikelompokkan kedalam beberapa teori kedaulatan yakni : 

1.      Kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Tuhan menurut sejarahnya berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu antara abad ke-5 sampai abad ke-15. Didalam perkembangannya teori ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu yaitu agama Kristen, yang kemudian dioraganisasi dalam satu organisasi keagamaan, yaitu gereja yang dikepalai seorang paus. Tokoh-tokoh penganut teokrasi antara lain; Agustinus, Thomas Aquinas, dan Marsillius. (Salim,2010 : 129)
Menurut I Gde Pantja Astawa Prinsip dasar dari teori kedaulatan Tuhan adalah bahwa kekuasaan dalam negara berasal dari Tuhan, oleh karena itu seorang penguasa negara yang menjalankan kekuasaannya dalam negara hanyalah sebagai wakil Tuhan saja dan bukan menjalankan kekuasaan sendiri atau kekuasaan milik negara. Timbulnya ajaran kedaulatan Tuhan ini disebabkan oleh kepercayaan orang beragama bahwa tuhanlah yang menjadi maha pencipta langit dan bumi dengan segenap isinya, sehingga tuhan lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di seluruh alam semesta ini.
Dalam catatan sejarah, ajaran kedaulatan yang paling tua adalah teori kedaulatan Tuhan, yakni yang mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Tuhan. Teori ini sangat pesat berkembang pada abad pertengahan, ketika agama Kristen terorganisir melalui gereja pada masa keemasan dibawa pimpinan seorang paus. Pada waktu itu ada dua organisasi kekuasaan, yaitu organisasi kekuasaan negara yang diperintah oleh seorang raja, dan organisasi kekuasaan gereja yang dikepalai paus, karena pada saat itu organisasi gereja tersebut mempunyai alat – alat perlengkapan yang hampir sama dengan alat – alat perlengkapan organisasi negara.
Organisasi gereja pada saat itu mempunyai kekuasaan yang nyata dan dapat mengatur kehidupan negara, tidak saja yang bersipat keagamaan, tetapi sering juga bersipat keduniawian, maka tidak jarang kalau kemudian timbul dua peraturan untuk satu hal, yaitu peraturan dari negara dan peraturan dari gereja. Selama antara dua peraturan satu sama lain tidak bertentangan, maka selama itu pula tidak ada kesulitan dari warga untuk metaatinya. Akan tetapi apabila peraturan peraturan itu saling bertentangan satu sama lain, maka timbulla persoalan, peraturan yang berasal dari manakah yang berlaku? Artinya antara kedua peraturan itu, yang manakah yang lebih tinggi tingkatannya, maka peraturan yang lebih tinggi itulah yang ditaati.
Penganut – penganut teori kedaulatan tuhan, pada umumnya dari pemikir – pemikir negara dan hukum yang menganut teori teokrasi. Persoalan mereka sebetulnya bukan pada siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan, karena mereka tetap sepakat bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan. (Astawa, I Gde Pantja, 2009 : 109)
Negara yang pernah menganut teori ini adalah : Jepang masa kekaisaran Tenno Heika, Vatikan, Saudi Arabia.
2.      Kedaulatan Raja
Kedaulatan raja (the kings of souveregnty) berarti dalam Negara itu, yang berdaulat adalah raja, raja dianggap sebagai orang yang suci, bijaksana sehingga dianggap berbeda dengan rakyat (warga negaranya) meskipun sama-sama manusia. Posisi raja dalam hal ini adalah sangat kuat dan tidak ada yang menandingi pada saat itu.
Menurut Marsilius, kekuasaan tertinggi dalam Negara berada di tangan raja, karena raja adalah wakil Tuhan atau semacam diberi amanah dari Tuhan untuk berkuasa atas rakyat dan berhak melakukan apa saja karena menurutnya semua tindakannya itu sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan. bahkan raja merasa berkuasa menetapkan kepercayaan atau agama yang harus dianut oleh rakyatnya atau warga negaranya.
Kekuasaan mutlak yang ada pada raja, sehingga terjadi penyelewengan kekuasaan kedalamtyranny. Seperti yang terjadi di Prancis pada masa pemerintahan raja Louis IV yang menyatakan “Negara adalah saya (I’etat cest moi)”. Pada saat itu banyak keluarga raja yang berpesta pora diatas kesengsaraan rakyat, yang menyebabkan rakyat tidak lagi percaya pada kekuasaan tertinggi yang berada ditangan raja. "Ahmad Azhar Basyir yang dipetik dalam: ni;matul huda, Ilmu Negara (yogyakarta: UII)" Kemudian rakyat mulai memberontak terhadap kekuasaan raja dan mulai menyadari kekuatannya sendiri sebagai “rakyat” yang beridentitas dan berhak.
3.      Kedaulatan Hukum
Menurut teori kedaulatan hukum atau rechts-souvereiniteit, kekuasaan tertinggi di dalam suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena itu baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warga Negaranya, bahkan Negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Kemudian terjadi pertentangan diantara para ahli penganut paham berbeda yakni antara Krabbeyang menganut teori kedaulatan hukum denganJellineck yang menganut paham kedaulatan Negara. Jellineck mengemukakan teorinya “selbstbindung” yang isinya antara lain bahwa Negara harus tunduk secara sukarela kepada hukum.
Kemudian Krabbe yang menganut aliran historis yang pelopori oleh Von savigny, yang mengatakan bahwa “hukum timbul bersama kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak tumbuh dari kehendak atau kemauan Negara, maka berlakunya hukum terlepas dari kemauan Negara.” Alasan ini dikemukakan sebagai jawaban, bahwa kalau benar Negara yang berkuasa, apa sebabnya Negara itu patuh kepada hukum dan dapat dihukum. Bukankah Negara berkuasa membuat undang-undang? bagaimana mungkin Negara yang berkuasa secara sukarela mengikat dirinya dengan undang-undang itu. Tokoh-tokoh penganut teori ini adalah: Krabbe, Negara yang menganut teori kedaulatan hukum adalah : Belanda, Swiss dll.
4.      Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan rakyat (popular sovereignty) dimaksudkan kekuasaan rakyat sebagai tandingan atau imbangan terhadap kekuasaan penguasa tunggal atau yang berkuasa. Ajaran kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya pemilihan umum yang menghasilkan dewan-dewan rakyat yang mewakili rakyat dan yang dipilih langsung atau tidak langsung oleh warga Negara.
Paham kedaulatan rakyat itu sudah dikemukakan oleh kaum monarchomachen seperti Marsilio, William Ockham, Buchanan, Hotman dan lain-lain. Mereka inilah yang mula-mula sekali mengemukakan ajaran bahwa, rakyatlah yang berdaulat penuh dan bukan raja, karena raja berkuasa atas persetujuan rakyat. Ajaran kaum monarchomachen ini kemudian dilanjutkan oleh John Locke dan kemudian J.J Rousseau.
Menurut Locke, memang rakyat menyerahkan kekuasaan-kekuasaannya kepada Negara. Dengan demikian Negara memiliki kekuasaan yang besar. Tetapi kekuasaan ini ada batasnya, batas itu adalah hak alamiah dari manusia, yang melekat padanya ketika manusia itu lahir. Hak ini sudah ada sebelum Negara terbentuk. karena itu, Negara tidak bisa mengambil atau mengurangi hak alamiah itu. Tokoh-tokoh penganut teori ini adalah: JJ. Rousseau
Negara yang menganut teori kedaulatan rakyat adalah : Amerika Serikat, Perancis dll.
5.      Kedaulatan Negara
Kata “daulat” dalam pemerintahan berasal dari kata “daulah” (bahasa Arab) yang berarti “kekuasaan tertinggi”. Pemerintah yang berdaulat berarti pemerintahan yang mempunyai kekuasaan tertinggi atas rakyatnya di dalam suatu Negara. Menurut Jean Bodin (1500 – 1596), seorang ahli pikir dari Prancis, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu Negara. Kedaulatan mempunyai sifat-sifat pokok, yaitu asli, permanen, tunggal, dan tidak terbatas.
a)      Asli, artinya kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
b)      Permanen, artinya kekuasaan itu tetap ada selama Negara itu berdiri sekalipun pemegang kedaulatan sudah berganti-ganti.
c)      Tunggal (bulat), artinya kekuasaan itu merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam Negara yang tidak diserahkan atau dibagi-bagikan kepada badan-badan lain.
d)     Tidak terbatas (absolut), artinya kekuasaan itu tidak dibatasi oleh kekuasaan lain. Sebab, kalau ada kekuasaan lain yang membatasinya, tentu kekuasaan tertinggi yang dimilikinya itu akan lenyap.
Kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh pemerintah mempunyai kekuataan yang berlaku ke dalam dan keluar.
a)      Kedaulatan ke dalam, artinya pemerintah memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan organisasi Negara sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
b)      Kedaulatan ke luar, artinya pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada kekuatan lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Demikian juga, Negara lain harus pula menghormati kekuasaan Negara yang bersangkutan, dengan tidak mencampuri urusan dalam negerinya.
            Ajaran kedaulatan negara sebenarnya merupakan kelanjutan dari ajaran kedaulatan raja. Ajaran ini timbul di Jerman untuk mempertahankan kedudukan raja yang pada waktu itu mendapatkan dukungan dari tiga lapisan masyarakat yang besar sekali pengaruhnya yaitu:
a.       Golongan bangsawan atau Junkertum
b.      Golongan angkatan perang atau Militair
c.       Golongan alat-alat pemerintah atau Birokrasi
Oleh karena negara itu mempunyai arti yang abstrak, timbul pertanyaan siapakah yang memegang kekuasaan negara? Yang memegang kekuasaan dalam negara adalah raja sendiri. Pengertian negara yang abstrak itu dikonkretkan dalam tubuh raja. Ajaran ini disebut Verkulpringstheorie yang artinya negara menjelma dalam tubuh raja.
            Pada hakikatnya ajaran ini sama dengan ajaran kedaulatan raja, hanya ajaran itu dibuat sedemikian rupa hingga dapat diterima oleh rakyat karena berpangkal pada kedaulatan rakyat dan memberi kedok bagi kedaulatan raja yang sudah usang. Karena itu kedaulatan negara sering juga disebut sebagai kedaulatan raja-raja modern atau moderneverstenso uvereiniteit. Ajaran ini mendapat tantangan dan diantaranya tantangan itu datang dari Krabbe dengan mengemukakan ajaran kedaulatan hukum atau oleh Dicey disebut rule of law.
            Para penganut teori kedaulatan negara menyatakan, bahwa kedaulatan ini tidak ada pada Tuhan, seperti yang dikatakan oleh para penganut teori kedaulatan Tuhan (Gods-souvereiniteit), tetapi ada pada negara. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Penganut teori kedaulatan negara ini antara lain Jean Bodin dan George Jellinek.
            Pada hakikatnya teori kedaulatan negara itu atau staats-souvereiniteit, hanya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, entah kekuasaan itu bersifat absolut, entah sifatnya terbatas dan ini harus dibedakan dengan pengertian ajaran Staat-absolutisme. Karena dalam ajaran Staat-absolutisme itu pada prinsipnya hanya dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan tertinggi ini mungkin bersifat absolut, tetapi mungkin juga bersifat terbatas. Sedang dalam ajaran Staat-absolutisme dikatakan bahwa negara kekuasaan itu sifatnya absolut, jadi berarti tidak mungkin bersifat terbatas, dalam arti bahwa negara itu kekuasaannya meliputi segala segi kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara itu tidak lagi mempunyai kepribadian.
            George Jellinek mengatakan bahwa hukum itu adalah merupaka penjelmaan dari pada kehendak atau kemauan negara. Jadi negaralah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Diluar negara tidak ada satu orangpun yang berwenang menetapkan hukum. Maka dalam hal ini berarti bahwa adat kebiasaan, yaitu hukum yang tidak tertulis, yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi yang nyata-nyata berlaku didalam masyarakat, tidak merupakan hukum. Dan memang demikian juga kalau menurut Jean Bodin; sedangkan kalau menurut Jellinek adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum, apabila itu sudah ditetapkan oleh negara sebagai hukum.
            Dilihat sepintas lalu, dimilikinya kekuasaan tertinggi oleh negara ini bertentangan denga hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan internasional terutama hubungan antarnegara. Dapat dikemukakan bahwa hukum internasional tak mungkin mengikat negara-negara apabila negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi diatasnya.
            Jika pandangan ini benar, maka kedaulatan memang bertentangan dengan hukum internasional, bahkan boleh dikatakan bahwa paham kedaulatan demikian pada hakikatnya merupakan penyangkalan terhadap hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang mengikat bagi negara-negara dalam hubungannnya satu sama lain.
            Tidaklah mengherankan jika didalam dunia ilmu hukum internasional terdapat sarjana-sarjana yang menganggap kedaulatan negara sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan masyarakat internasional dan bagi perkembangan hukum internasional yang mengatur kehidupan masyarakat demikian. Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat internasional dewasa ini merupakan suatu masyarakat yang terdiri terutama dari negara-negara yang bebas satu dari yang lainnya. Selain didasarkan atas suatu anggapan yang keliru tentang hakikat daripada masyarakat dunia dewasa ini, sehingga serangan atas paham kedaulatan salah sasaran, maka paham yang mengatakan bahwa kedaulatan itu merupakan penghalang bagi pertumbuhan hukum internasional juga didasarkan atas pengertian kedaulatan yang keliru.
Menurut asal katanya kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan lain, negara memiliki monopoli daripada kekuasaan, suatu sifat khas daripada organisasi masyarakat dan kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi membenarkan orang perseorangan yang mengambil tindakan-tindakan sendiri apabila ia dirugikan. Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batasnya. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi didalam batas-batas wilayahnya. Diluar wilayahnya suatu negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Jadi pembatasan yang penting ini melekat pada pengertian kedaulatan itu sendiri dilupakan oleh orang yang beranggapan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh suatu negara menurut paham kedaulatan itu tidak terbatas.
            Suatu negara lazim dianggap bebas dan berdaulat hanya terhadap atau didalam wilayahnya sendiri. Pengertian kedaulatan pada masa sekarang lebih sempit daya berlakunya apabila dibandingkan dengan pengertian kedaulatan pada abad ke 18 dan 19. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan negara-negara nasional yang tidak mengenal adanya pembatasan-pembatasan terhadap otonomi negara. Pada waktu sekarang dapat dikatakan hampir tidak terdapat lagi negara yang menolak pembatasan terhadap kebebasan negaranya demi kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan. Dikatakan demikian karena negara-negara itu adalah anggota masyarakat internasional dan juga sebagian besar adalah anggota organisasi-organisasi internasional seperti PBB. Kepada mereka diberikan kewajiban-kewajiban yang pada dasarnya membatasi kebebasan mereka yang pada mulanya leluasa dalam melaksanakan kebijaksanaan internasional.
            Dari sudut praktik, maka perbedaan kedaulatan negara terletak pada derajatnya yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Sebagian negara memiliki kekuasaan dan kebebasan lebih besar daripada negara lainnya. Enyataan ini menghadapkannya kepada perbedaan antara negara-negara merdeka atau berdaulat dengan negara atau entitas (entity) yang tidak memiliki kemerdekaan atau kedaulatan.
            Apabila dikatakan bahwa sebuah negara tertentu merdeka dan berdaulat, maka kepada negara tersebut diletakkan sejumlah hak tertentu dalam hukum internasional. Selain hak yang dimiliki negara tadi, maka pada saat yang bersamaan melahirkan pula kewajiban bagi negara lain untuk menghormati hak-hak tadi. Kewajiban-kewajiban yang dapat mengikat negara yang bebas dan berdaulat, misalnya:
1)      Kewajiban untuk tidak menjalankan kedaulatannya pada teritorial negara lain.
2)      Kewajiban untuk tidak memperkenankan warga negaranya melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar kebebasan atau supremasi wilayah negara lain.
3)      Kewajiban untuk tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
Tunduknya suatu negara kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional merupakan suatu syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur. Mengingat bahwa kehidupan suatu masyarakat internasional yang teratur hanya mungkin dengan adanya hukum internasional , maka keharusan tunduknya negara-negara pada hukum internasional yang mengatur hubungan antara negara-negara yang berdaulat itu merupakan kesimpulan yang tidak dapat dielakkan lagi. Tokoh-tokoh yang menganut teori ini adalah: Jean Bodin dan Georg Jellinek.
Negara yang pernah menganut teori ini adalah : Jerman masa pemerintahan Hitler, Italia masa pemerintahan Mussolini.
D. Penerapan Teori Kedaulatan di Indonesia
            Salim mengatakan untuk mengkaji dan menganalisis tentang teori kedaulatan yang diterapkan di Indonesia, tentu kita harus mengkaji dan menganalisis substansi undang – undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia. Undang – undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia meliputi :
     1)      UUD 1945;
     2)      Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949;
     3)      UUDS 1950;
     4)      UUD 1945 hasil Dekrit 5 Juli 1959; dan
     5)      UUD 1945 hasil amendemen.
UUD 1945 yang yang ditetapkan pada tanggal 17 Agustus 1945 hanya berlaku selama lima tahun, yaitu dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan 26 desember 1949. UUD 1945 terdiri atas 27 bab dan 4 pasal aturan peralihan, serta 2 ayat aturan tambahan. Dalam pasal 1 ayat (2) UUD 45 telah ditentukan jenis kedaulatan yang dianut dalam penyelenggaraan negara. Dalam ketentuan itu ditentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Berdasarkan ketentuan ini, jelaslah bahwa teori kedaulatan yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah teori kedaulatan rakyat. Artinya kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi dilaksanakan oleh MPR.
Sejak terjadi gelombang reformasi pada tahun 1997, rakyat menghendaki suatu perubahan radikal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu yang telah dilakukan perubahan adalah perubahan terhadap UUD 1945. Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ditentukan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang – undang dasar. Pada saat ini, rakyat mempunyai hak yang sangat besar di dalam memilih anggota – anggota MPR, anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden. Sementara itu, kedudukan MPR saat ini hanya melantik presiden dan wakil presiden. Kesimpulannya bahwa teori kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945 yang telah diamandemen adalah teori kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. (Salim.2010 : 135)
                Menurut Ronalto Tan mengatakan Selain dari penganut jenis kedaulatan rakyat, ternyata UUD Negara RI Tahun 1945, juga menganut jenis kedaulatan hukum. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, isinya adalah negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya negara kita bukan negara kekuasaan. Bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur menurut hukum yang berlaku. Misalnya peraturan berlalu lintas di jalan raya diatur oleh peraturan lalu lintas. Menebang pohoh dihutan diatur oleh peraturan, supaya tidak terjadi penggundulan hutan yang berakibat banjir, dan contoh lainnya.
Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 juga merupakan dasar bahwa negara kita menganut kedaulatan hukum isi lengkapnya adalah segala warga negara bersamaan kedudukkanya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Maknanya bahwa setiap warga negara yang ada di wilayah negara kita kedudukan sama di dalam hukum, jika melanggar hukum siapapun akan mendapat sanksi. Misalnya rakyat biasa, atau anak pejabat jika mereka melanggar harus diberikan sanksi, mungkin berupa kurungan (penjara) atau dikenakan denda.

            Jadi negara Republik Indonesia secara tidak langsung menganut 2 toeri kedaulatan yang dibuktikan di dalam UUD 1945, karena dalam suatu negara tidak menutup kemungkinan menganut sebanyak teori yang ada asalkan semua teori tersebut tidak ada yang bertentangan, maka selama itu pula tidak ada kesulitan dari warga untuk mentaatinya.

DAFTAR PUSTAKA


Astawa, I Gde Pantja & Suprin Na’a. 2009. Memahami ilmu negara & teori negara.
Bandung : PT. Refika Aditama
Huda, Ni’Matul. 2010. Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja grafindo Persada
Nur Andriyan, Dody. http://dodynurandriyan.blogspot.com/2010/06/kedaulatan-negara-dalam-uud-1945.html (diakses tgl 23/02/2014 jam 01.00)
Prabandari, Westri. http://blogbelajar-pintar.blogspot.com/2013/09/pengertian-kedaulatan-negara.html (diakses tgl 23/02/2014 jam 02.50)
Salim. 2010. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Jakarta :
PT Raja grafindo Persada
Schmandt, Henry J. 2009. Filsafat Politik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Syafiie, Inu Kencana. 2001. Filsafat pemerintahan. Jakarta : PT perca
            (diakses tgl 27/02/2014 jam 01.31)