animasi





tinggal ketik untuk mencari data

Jumat, 15 November 2013

Filsafat Politik Menurut Jean Bodin (1530 – 1596 M)


Filsafat Politik Menurut Bodin (1530 – 1596 M)
            Memosisikan Bodin sebagai pemikir politik didasarkan pada dua karya utamanya, Method for the Easy Understanding of History (metode memahami sejarah secara mudah) yang ditulis pada tahun 1566 dan Les Six livres de la Republique (six books on the state / enam karya tentang negara) yang di tulis pada tahun 1576 M. Pada buku yang pertama Bodin berkonsentrasi pada penafsiran dan penjelasan tentang signifikansi sejarah. Adapun pada buku kedua, ia berkonsentrasi pada penjelasan tentang pemerintahan. Ketika menaruh perhatian pada studi sejarah, ia lebih mementingkan penafsiran atau penjelasan rasional, bukan atas kejadian atau peristiwa sejarah.
            Menurut Bodin, manusia sendirilah yang menciptakan peristiwa-peristiwanya. Oleh karena itu, ia sendiri pulalah yang menciptakan sejarahnya dengan pengaruh cuaca seperti hujan, angin dan topografi, dan mengikuti jalan kejadian-kejadian sejarah. Oleh karena itu, Bodin menarik kesimpulan bahwa lingkungan alam mempunyai pengaruh pada manusia dan sejarahnya, serta arah politiknya yang juga merupakan bagian sejarah.
             Atas dasar itu, Bodin di daulat sebagai orang pertama yang memperkenalkan sejarah filsafat dengan pemaknaan baru. Bodin menafikan unsur-unsur tidak rasional yang oleh banyak tokoh sering disebut-sebut sebgai penentu jalan sejarah. Sebagaimana halnya dalam studi-studinya, ia menafikan unsur-unsur tidak rasional itu sebagai penggerak manusia sebagaimana yang disangka oleh banyak pemikir. Mengenai studi sejarah manusia, Bodin menganggapnya hanya sebagai ilmu murni yang dapat dicerna dan di analisis oleh akal. Ia tinggal menjelaskan motif-motif dan sebab-sebabnya yang hakiki.
            Bagi Bodin, sejarah bukanlah mata rantai buta dari rangkaian peristiwa yang tidak saling memiliki ikatan. Sejarah baginya adalah relasi-relasi rasional bagi peradaban, kebudayaan dan tatanan kemanusiaan. Sejarah tumbuh, berkembang, kemudian membesar, dan mati karena faktor-faktor kemanusiaan dan motif-motif yang tunduk pada kepentingan rasional.
            Karya Bodin, Les six livres de la Republique, juga di daulat sebagai karya yang pertama kali bicara tentang ilmu politik dengan pemaknaan yang baru pula. Perhatian Bodin terhadap politik dibangun diatas dasar penafsiran ilmiah terhadap fenomena-fenomena politik. Ia merajut rangkaian politik berdasarkan pengetahuan ilmiah, tanpa melihat faktor kekuatan gaib atau ketuhanan. Bodin berusaha meletakkan mahzab filsafat dalam pemikiran-pemikiran politik.
            Kelebihan karya Bodin diatas semakin tampak ketika ia membebaskan konsep kekuasaan yang memiliki kedaulatan dari benteng-benteng ketuhanan. Karyanya itu dipandang sebagai pembelaan terhadap politik dan pemerintahan monarki melawan partai-partai politik. Inti pikiran para pakar politik dan beberapa tokoh yang menulis bahwa kekuasaan kerajaan berkisar tentang asas pemersatu. Oleh karena itu, mereka mencurahkan segenap pemikirannya untuk menjadikan kerajaan sebagai pusat pemersatu warga ngara, diatas mahzab-mahzab agama dan partai-partai politik. Ciri terpenting dari mahzab politik kelompok ini adalah gagasan toleransi agama, yakni mewujudkan toleransi terhadap agama-agama yang ada dalam satu negara. Jika tujuan mereka adalah memelihara ikatan nasionalisme Perancis, karya Bodin diatas bertujuan menetapkan dasar-dasar kesatuan yang wajib dianut oleh suatu negara.
            Dalam studinya terhadap sejarah, Bodin meyakini bahwa ia mengikuti metode baru yang mengaitkan antara filsafat dan sejarah. Ia meyakini bahwa filsafat akan mati apabila tidak membangkitkan kehidupan sejarah. Ia pun meyakini bahwasanya sejarah akan mengalir apabila mendapat perhatian serius untuk dipelajari. Sejarah seolah-olah merupakan rangkaian peristiwa kemanusiaan secara individu yang tidak dapat dicerna akal dan tidak tunduk pada penafsiran. Oleh karena itu, sejarah terkesan tidak mengandung makna.
            Menurut kami, bagi Bodin, tidak ada mahzab jelas yang dapat membantunya dalam menyusun materi-materi sejarahnya. Karya-karyanya sendiri membutuhkan anotasi dan syarah, terutama tentang contoh-contoh peristiwa sejarah, yang menawarkan perincian terhadap pembaca.
            Teori kedaulatan (sovereignty) adalah kontribusi pertama kali yang diberikan Bodin dalam pemikiran politik. Walaupun teori ini telah ada dalam hukum Romawi, Bodin adalah orang yang pertama kali menguraikan teori ini secara mendalam dan sempurna. Ia adalah orang yang pertama kali menempatkan teori tersebut dalam filsafat politik.
            Menurut Bodin, negara adalah sekumpulan keluarga dan hak-hak propertinya yang diikat dan disatukan oleh kekuatan besar dan akal. Unsur terpenting yang terkandung dalam defenisi diatas adalah prinsip kedaulatan yang juga merupakan bagian terpenting dalam filsafat politik Bodin. Ia melihat bahwa kedaulatan yang memiliki kekuasaan adalah yang membedakan negara dari kumpulan lain yang dibentuk oleh sekumpulan keluarga, bukan individu. Bodin berpendapat bahwa individu tidak memiliki kepentingan apapun dalam struktur politik. Individu mempunyai pengaruh tatkala cair atau bergabung dengan sebuah kelompok. Oleh karena itu, Bodin berpendapat bahwa negara bukanlah kumpulan individu. Negara dibentuk oleh kumpulan sosial. Keluarga adalah inti utama dalam masyarakat. Keluarga dapat saja terdiri dari organisasi perdagangan, gereja, dll. Interaksi kumpulan-kumpulan ini dilakukan melalui jalur kekerabatan, adat, kesepakatan atau jalur lainnya. Adapun negara diikat melalui jalur kekuatan.
            Adapun kedaulatan menurut Bodin ada;ah kekuatan besar yang dapat mengendalikan rakyat. Kekuatan ini tidak saja besar, tetapi juga kekal. Sebab, apabila keadaannya dibatasi oleh zaman, ia tidaklah besar.
            Pembahasan Bodin tentang kekuatan besar sampai pada uraian tentang unsur-unsur kekuatan ketuhanan. Ia menggandengkan kekuatan Tuhan secara langsung dengan hukum sipil dan tindakan orang yang keluar dari hukum sipil. Alasannya, pemimpin maupun rakyat sama-sama harus tunduk pada hukum Tuhan dan hukum alam. Orang yang berusaha lari dari dua hukum ini tidak mungkin dapat lari dari kekuatan Tuhan. Adapun percobaan untuk bebas dari kepemimpinan dan kekuatannya yang menekan hanya menyangkut hukum sipil.
            Lebih lanjut, Bodin menjelaskan bahwa kedaulatan adalah kemauan paling tinggi yang memungkinkan ada dalam masyarakat. Peran utama bagi pokok dan kedaulatan adalah menerapkan hukum-hukum pada rakyat dan individu, bukan pada para pemimpin. Sebab, pemimpin adalah sumber hukum. Ketika bentuk pemerintahan ideal berada pada monarki, yakni pemerintahan yang dipegang oleh satu orang, akan muncul beberapa pertanyaan yang berkisar seputar adanya keterikatan raja dengan hukum. Bodin menjelaskan bahwa raja tidak mungkin terikat dengan hukum yang telah dibuatnya. Kekuasaan raja tidak tunduk pada hukumnya. Namun, hukum Tuhan dan hukum alam mengatur segala bentuk kekuasaan. Dengan demikian, raja membuat hukum bumi, tapi tidak tunduk padanya. Namun, ia tidak membuat hukum Tuhan dan hukum alam yang karenanya ia harus tunduk kepada keduanya. Tentang hukum sekuler (duniawi) ini, Bodin menjelaskan,
“Hukum sekuler bersandar pada kekuatan besar dalam negara (yakni, raja). Oleh karena itu, raja berkuasa menerapkan hukum pada rakyatnya, sedangkan ia sendiri tidak terikat oleh hukum itu”
            Dengan demikian, kedaulatan merupakan sesuatu yang luhur yang digunakan untuk mengendalikan rakyat, yang tidak dapat dibatasi hukum. Hanya saja, Bodin menegaskan bahwa pemimpin terikat oleh hukum Tuhan dan hukum alam. Seiring dengan defenisi hukum yang dirumuskannya, yakni aturan yang muncul dari kemauan pemimpin, Bodin tidak mengizinkan seorang pemimpin mengeluarkan hukum atas dasar hawa nafsu. Alasannya, pemimpin tunduk pada hukum alam yang berada diatas manusia dan yang mengeluarkan kebenaran untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak mungkin untuk diubah. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang baik bagi Bodin adalah yang tunduk pada hukum alam. Ia memimpin pada hukum sekuler yang dibuat pemimpin.
            Pusaran filsafat politik Bodin terdapat pada teorinya tentang kedaulatan ini. Dunia memang mengenalnya sebagai salah seorang peletak teori itu. Namun, untuk teorinya itu, sebenarnya pula pada beberapa teori. Agar tersusun tatanan politik secara sempurna, Bodin mengharuskan pembedaan antara negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, ia mengkritik Aristoteles yang tidak melakukan pembedaan secara jelas antara negara dan pemerintshsn.
            Dalam hal ini, Bodin menegaskan bahwa bukan merupakan suatu keharusan menyelaraskan bentuk pemerintahan dengan bentuk negara. Bentuk negara dibatasi oleh unsur-unsur kekuasaan yang ada didalamnya. Oleh karena itu, Bodin membagi bentuk negara pada monarki, aristokrasi dan demokrasi. Setiap bentuk ini bisa saja menerapkan bentuk pemerintahan yang berbeda. Negara demokrasi misalnya bisa saja menerapkan bentuk pemerintahan monarki, dimana kekuasaan berada pada seorang raja. Sebagaimana halnya kepemimpinan pemerintahan republik terkadang berada ditangan satu oarang, yakni kepala negara. Sebenarnya Bodin lebih mengutamakan bentuk monarki sebagai bentuk pemerintahan, tetapi ia tidak merinci alasannya.
            Berdasarkan paparan diatas, tampaknya Bodin hanya melihat tiga bentuk pemerintahan, yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Faktor pembeda diantara tiga bentuk itu terletak pada jumlah pemegang kekuasaan. Ketika kekuasaan berada pada sekelompok kecil, pemerintahan itu disebut aristokrasi. Ketika kekuasaan berada pada mayoritas atau rakyat, pemerintahan itu disebut demokrasi. Ketika kekuasaan berada ditangan satu orang, pemerintahan itu disebut monarki.
            Bodin melihat bahwa negara itu seperti individu. Ia lahir, tumbuh, berkembang, kemudian hancur dan mati. Sesungguhnya revolusi dan perubahan dalam masyarakat tidak mungkin berdiri, kecuali jika bentuk pemerintahan dan kekuasaan berubah. Artinya jika terjadi perubahan total dalam undang-undang, agama dan tatanan lainnya, sesungguhnya ia bukanlah revolusi. Namun, ketika kekuatan besar berubah, misalnya dari monarki berubah menjadi aristokrasi, maka inilah yang dinamakan revolusi hakiki.
            Pandangan Bodin tentang revolusi sesungguhnya bersifat ilmiah. Sebab, ia melihat bahwa faktor topografi geografi memberikan saham besar pada kejdian-kejadian revolusi. Disini, Marxy menegaskan bahwa Bodin adalah seorang pemikir baru karena menawarkan gambaran lebih luas daripada para pemikir lainnya.
            Konstribusi lainnya yang diberikan Bodin dalam filsafat politik adalah ketika ia membahas kewarganegaraan (citizenship). Baginya, warga negara adalah rakyat biasa bagi suatu negara. Ia tidak punya hak sharing dalam pemerintahan. Ia memiliki kekuatan paling rendah. Sebagaimana ia tidak sejajar dengan para pemimpin masyarakat. Warga negara, menurut Bodin, hanya berkewajiban taat kepada pemimpin. Dunning berkata,
“Warga negara bukanlah unsur pertama bangunan politik. Unsur pertama sbangunan politik adalah keluarga dan kelompok. Warga negara adalah anggota dari suatu keluarga atas kelompok dengan keagamaan kapasitasnya didalamnya. Adapun pengertian Bodin tentang ‘warga negara adalah manusi merdeka yang tunduk pada kekuasaan yang berada pada diri seseorang selain dirinya’. Bebas disini tidak dimaksudkan kebebasan pemilihan, atau kebebasan berpendapat, atau kebebasan dengan makna politis, baik secara luas atau sempit. Bebas yang dimaksud disini adalah bukan hamba sahaya. Dengan defenisi seperti ini, Bodin tidak memasukkan hamba sahaya sebagai warga negara.”
            Filsafat politik Bodin berpegaruh pada pemikiran abad ke 17. Sejarah politik pada abad ini berkisar sekitar kedaulatan dimana Bodin adalah orang yang pertama kali mengemukakan secara rinci, mendalam dan jelas.  Bahkan, pemikirannya berpengaruh pula  terhadap para pemikiran abad ke-18, 19, dan 20 ketika berdiri negara nasionalis, dimana perang dunia I dan perang dunia II tidak mampu menggoyahkan kepemimpinan negara nasionalis ini.
            Parker berkata, “Bodin memiliki kesamaan dengan Machiavelli dalam sisi arah pemikiran ke persoalan sekularitas (ad-da’irah’ad-dunyawiyah). Hanya saja Machiavelli mengemukakan teori kekuasaan secara prosedural, sedangkan Bodin mengemukakan teori kekuasaan secara hukum.” Dunning berkata, “Machiavelli menempuh sebagian langkah orientasi bangunan ilmiah terhadap politik, sedangkan Bodin menyempurnakan langkah itu.

            Bodin memperkuat filsafat politiknya dengan sandaran teorinya tentang hukum. Kita menangkap bahwa pandangannya tentang kewarganegaraannya seiring dengan pandangannya tentang kedaulatan dan hukum. Kita pun memperoleh gambaran yang jelas bahwa pandangan Bodin tentang revolusi sesuai dengan pandangannya tentang negara, mulai dari pertumbuhan, perkembangan, kehancuran dan kematiannya. Bodin pun menegaskan bahwa revolusi tidak akan sempurna, kecuali apabila unsur-unsur kekuasaan yang mengendalikan negara berubah dari monarki-misalnya menjadi demokrasi, atau dari aristokrasi menjadi demokrasi. Dengan demikian, pandangannya tentang revolusi tertata dengan pandangannya tentang kedaulatan, hukum dan kewarganegaraan dalam sebuah bangunan konsep politik yang sempurna. Oleh karena itu, Dunning menjelaskan bahwa seorang filosof seperti Bodin tidak mungkin diletakkan pada kedudukan yang jelas dalam filsafat dan sejarah politik kalau bukan karena pemikirannya yang sempurna ini.