animasi





tinggal ketik untuk mencari data

Senin, 10 Februari 2014

Politik Reaksioner

sapi terbang
Politik kolonial Belanda yang menganut politik reaksioner (1918-1930), membuahkan suatu dorongan aksi pergerakan nasional cenderung kearah radikal dan revolusioner. Proses radikalisasi ini makin kuat setelah tahun 1921, yang antara lain disebabkan karena beberapa unsur, seperti krisis perusahaan gula tahun 1918, krisis ekonomi tahun 1920, kenaikan pajak rakyat. Dalam laporan yang dikerjakan oleh mayor Ranneft disebutkan bahwa sejak Fock menjabat Gubernur Jenderal tahun 1921, yang menggantikan Gubernur Jenderal Limburg Stirum (1916-1921), pajak rakyat di Jawa dan madura dinaikan sekitar 40 %.
Tahun 1922 pemogokan-pemogokan terjadi dilingkungan organisasi-organisasi buruh seperti buruh penggadaian (1922), pegawai kereta api (1923). Pada akhir 1926 pergolakan-pergolakan memuncak antara lain beberapa pemberontakan di Banten, Sumatera Barat, dan beberapa tempat lainnya di Jawa. Gubernur Jenderal De Graaf (1926-1931) segera melakukan politik penindasan, dalam mana beberapa ribu golongan nasionalais radikal dipenjarakan dan dibuang ke Digul (tanah Merah).

Kebijakan kolonial dibidang ekonomi dan politik di bawah Gubernur Jenderal de Jonge (1931-1936), sangat reaksioner. Gubernur Jenderal de Jonge tidak mengakui eksistensi pergerakan nasional, sehingga tinadakannya selalu mencurigai organisasi-organisasi pergerakan nasional. Rapat-rapat dan pertemuan selalu diawasi oleh polisi rahasia secara ketat sekali. Demikianlah pergerakan nasional tampak mengalami kelumpuhan gerak. Sedangkan dibidang ekonomi dia selalu berusaha untuk meningkatkan perusahaan-perusahaan serta menghemat pengeluaran negara, sebagian akibat depresi ekonomi tahun 1930. Pendidikan bagi golongan pribumi semakin dibatasi, antara lain dengan dikeluarkannya Ordonansi Pengawasan (Toezicht Ordonantie) pada tahun 1932. Dengan Ordonansi ini segala penyelenggaraan pengajaran yang mengancam ketertiban masyarakat dilarang. Dalam hal ini sekolah-sekolah diselenggarakan oleh Ki Hadjar Dewantara diawasi dengan sangat ketat. Keresahan politik, pergolakan dan pemberontrakan tampak merupakan gejala yang timbul sebagai reaksi terhadap politik reaksioner de Jonge. Terjadinya pemberontakan kapal perang Zeven Provincien tahun 1933, tidak terlepas`dari kebijaksanaan politik de Jonge tersebut.