animasi





tinggal ketik untuk mencari data

Senin, 09 Desember 2013

Dualisme Politik dan politik terhadap islam di Indonesia

Ketika menjelang tahun 30-an politik asosiasi telah ditinggalkan karena kegagalannya menghadapi pergolakan politik dalam masyarakat kolonial yang justru mendorong kearah diskriminasi pada satu pihak dan radikalisasi pertentangan politik, timbulla gagasan sintesis sebagai ideologi kolonial yang mencoba menggambarkan masyarakat kolonial yang berkembang menuju kesuatu sintesis antara barat dan timur. Perumusan gagasan ini termuat dalam tulisan de Kat Angelino. Masalah kolonila hanya dapat dipecahkan dengan menempatkannya dalam rangka proses budaya besar, yaitu pertemuan antara dua budaya barat dan timur. Kontak yang di gambarkan oleh politik asosiasi dipandangnya dangkal karena mengabaikan kontak akar – akar rohani dari budaya – budaya yang saling berhadapan “bekerja sama secara terpisah” yang menjadi semboyan kaum asosiasionis dipandang tidak dapat menghasilkan kesatuan karen budaya barat hanya diterima secara dangkal dan tidk ada adaptasi antara budaya barat dan timur.
            Menurut De Kat Angelino, barat dan timur harus saling “membuahi”. Milik budaya timur perlu diatur. Barat dengan segala pengalaman dan kekayaannya perlu mengabdi timur, antara lain dengan memasukkan jiwanya pada kesadaran hukumnya. Janganlah pengaruh hanya terbatas pada penggabungan dua kesatuan yang berbeda. Barat hendaknya memberi pengertian kepada timur tentang disiplin sehingga dapat memikul tanggung jawab sendiri. Sintesis yang nyata ialah perpaduan antara kekuatan – kekuatan hidup yang sehat. Hal ini sesuai dengan ideologi politik kolonial modern yang mempunyai tujuan disamping untuk mengembangkan kesejahteraan negri induk juga secara sadar mendukung politik kolonial moral yang wajib memerhatikan kesejahteraan dan perkembangan penduduk pribumi. Dua fungsi pokok dari gagasan sintesis ialah perlindungan dan membangkitkan ketahanan. Namun, menjadi panggilan barat untuk memberikan pimpinan dalam memodernisasikan Timur itu. Dalam mendorong suatu sintesis di daerah jajahan, perlu di pupuk kesadaran akan kesatuan sehingga dengan demikian pimpinan barat masih tetap diperlukan.
            Sifat patriarkat masih tampak jelas dalam gagasan sintesis ini, tetapi ditolaknya konsepsi kolonialisasi dengan jalan menguasai atau menaklukan. Dalam kenyataannya, dunia kolonial masih merupakan “sebuah kamar kanak – kanak dimana harus ada babunya”. De Kat Angelino tidak setuju dengan kipling dan berpendapat bahwa Timur dan Barat dapat melakukan kerjasama sebagai manifestasi solidaritas kemanusiaan atau pan-humanisme.
            Peran barat bukanlah untuk mendesak Timur, melainkan untuk mengembangkan serta memajukannya. Barat dapat memberi kekuatan moral dan spiritual untuk menjiwai evolusi timur, demi mewujudkan kerjasama timur-barat yang selaras, dengan jalan menghargai sifat masing-masing dalam segala bidang. Faktor yang merintangi gagasan sintesis ini adalah perbedaan warna kulit. Politik kolonial wajib memajukan sintesis ini dan memenuhi panggilan kepemimpinan barat, disamping juga untuk membangun suatu masyarakat harmonis antara Timur dan Barat sebagai komponen – komponennya. De Kat Angelino berpendapat bahwa politik kolonial Belanda harus meninggalkan prinsip politik tidak campur tangan dalam hal – hal tradisional secara keseluruhan, dan sebagai gantinya menerima politik sintesis dengan ketiga prinsipnya, yaitu memberi perlindungan, mengadakan konsolidasi budaya Indonesia, dan mengadakan penyesuaian dan perkembangan dunia modern.
            Pemikiran ini ternyata tidak terlepas dari pandangan bahwa peradapan barat lebih tinggi dari pada peradapan timur. Lagi pula, dalam gagasan sintesis itu tercangkup suatu rasionalisasi dari politik kolonial yang menginginkan adanya paternalisasi dan perlindungan-perlindungan kolonial dalam hubungan kolonial.
            Pemerintah kolonial Belanda, yang menghadapi rakyat Indonesia dengan mayoritasnya sebagai pemeluk agama Islam, perlu memusatkan perhatian pada plitik terhadap agama Islam. Sepanjang sejarah penjajahan, ideologi Islam ternyata merupakan kekuatan sosial yang besar sekali dalam mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan asing. Baik perang besar seperti perang Padri dan Perang Aceh maupun pemberontakan petani seperti peristiwa cilegon dan cimareme, semuanya dipimpin oleh pemuka Islam dan dijiwai oleh ideologi Islam. Karena pengetahuan penguasa kolonial mengenai Islam di Indonesia sangat kurang bahkan sering kali salah, politik yang mereka jalankan terlalu didasarkan atas perasaan takut dan curiga dengan akibat bahwa setiap gerakan kaum dicap sangat membahayakan pemerintah kolonial.
            Sejak kedatangan Snouck Hurgronje di Indonesia pada tahun 1889, politik terhadap Islam, atas nasihatnya mulai didasarkan atas fakta-fakta dan tidak atas rasa takut saja. Ia mengemukakan bahwa para pemimpin agama tidak secara apriori bermusuhan dengan pemerintah kolonial dan orang yang kembali dari naik haji tidak dengan sendirinya menjadi orang fanatik dan suka memberontak. Sebaliknya, Snouck Hurgronje memperingatkan agar Islam sebagai kekuatan politik dan religius tidak boleh dipandang rendah. Ketika ideologi Islam disebarkan sebagai doktrin politik yang digunakan untuk membuat agitasi terhadap pemerintahan asing sebagai pemerintahan kaum kafir sehingga orang meragukan atau mengingkari legalitas pemerintah Belanda, maka disini ada bahaya bahwa fanatisme agama akan menggerakkan rakyat untuk menghapuskan orde kolonial. Politik yang disarankan perlu membedakan antara :
(1) Islam sebagai ajaran agama dan
(2) Islam sebagai ajaran politik
            Selama umat Islam menganutnya sebagai agama, mereka perlu diberi kebebasan menjalankan kewajibannya. Sebaliknya, apabila Islam disalahgunakan ssebagai alat agitasi politik, pemerintah tidak boleh tanggung-tanggung untuk memberantasnya. Politik itu selaras dengan netralitas agama yang dijalankan di negri Belanda dengan sikap toleran terhadap paham lain. Pendirian seperti ini langsung berakar pada liberalisme dan humanitarisme.
            Politik yang dianjurkan oleh Snouck Hurgronje merupakan bagian dari pandangan mengenai perkembangan masa depan Indonesia. Menurut Snouck Hurgronje, Islam hanya dapat menerima pemerintahan asing secara terpaksa beserta suatu koeksistensi antara penguasa Kristen dan umat muslim. Dengan demikian, tidak mungkin dikembangkan suatu hubungan kekal antara Indonesia dan negeri Belanda.
            Dalam menghadapi Islam,  penguasa kolonial menurut tradisi dapat mengharapkan dukungan dari kaum adat meskipun golongan ini tidak dapat menahan pengaruh, baik dari perkembangan Islam maupun dari perubahan – perubahan ke arah modernisasi. Oleh karena itu, tidak mungkin politik ini dijalankan untuk mencapai tujuan pemerintahan kolonial dalam jangka panjang.
            Selanjutnya Snouck Hurgronje tidak menaruh kepercayaan pada Islam sebagai kekuatan yang dapat membawa kemajuan. Menurut Snouck Hurgronje, Indonesia mengalami perubahan untuk mewujudkan suatu masyarakat modern. Masyarakat ini akan terwujud sebagai masyarakat yang telah di westernisasikan. Berdasarkan gagasan pokok ini penguasa kolonial mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan budaya Barat. Dalam hubungan ini kaum aristokrat Indonesia perlu diajak ikut serta dalam kehidupan sosial dan budaya barat. Golongan ini dengan kepemimpinannya akan dapat menjembati jarak antara yang berkuasa dan yang dikuasai sehingga akhirnya akan ada budaya milik bersama.
            Dalam usaha melapangkan jalan kearah asosiasi, pengajaran Barat merupakan alat utama untuk melancarkan modernisasi dan menyisihkan hambatan dari kekuatan tradisional. Perkembangan ini tidak dapat ditahan lagi sehingga lewat sistem asosiasi haluannya dapat diarahkan pada kelanjutan pemerintahan Belanda.
            Gagasan Snouck Hurgronje tidak terlepas dari jiwa zaman yang penuh dengan pemikiran tentang humanitarisme, kewajiban memerhatikan nasib rakyat pribumi, dan prinsip – prinsip etis dalam menjalankan politik kolonial.
            Selama abad ke-19 terus-menerus terjadi pemberontakan di daerah perdesaan yang pada umumnya digerakkan oleh pemuka agama. Dalam menghadapi masalah ini Snouck Hurgronje memperingatkan agar tidak langsung menuduh atau mencurigai pemuka agama sebagi biang keladi pergolakan – pergolakan itu. Haruslah dibedakan antara pemuka yang menjalankan tugasnya sebagai pengajar agama dan yang menggunakan kedudukannya selaku pemimpin untuk keperluan agitasi politik. Untuk dapat memberikan hal itu secara tegas, perlu diperketat pengawasan atas kegiatan para pemuka agama itu. Kegiatan mengajar agama, membaca Al Quran, dan mendalami ilmu agama kesemuanya adalah legal dan perlu diberi kebebasan. Hanya pemerintah perlu bertindak tegas ketika kegiatan – kegiatan agama mulai digunakan untuk gerakan politik melawan pemerintah.
            Pada umumnya pejabat – pejabat Belanda dihinggapi oleh suatu haji-fobia, dan segera mencap tindakan atau kegiatan mereka sebagai usaha subversif untuk melakukan perlawanan terhadap pamong praja. Upacara tarekat, pelajaran ngelmu, jual beli jimat, dan lain-lain, karena sering sekali diselubungi oleh tingkah laku yang serbah rahasia, juga karena sering menjadi faktor penting dalam pemberontakan, lekas di curigai dan dijadikan sebagai alasan untuk menindak pelaku – pelakunya. Dengan bantuan Snouck Hurgronje,banyak kegiatan dapat dilakukan sifatnya sehingga tidak perlu di adakan tindakan yang menindas.
            Kejadian – kejadian sekitar tahun 1912-1916 yang mengikuti pendirian Sarekat Islam menunjukan betapa besar peran ideologi Islam dalam menggerakkan rakyat, terutama didaerah perdesaan di mana kegelisahan sosial memberi suasana baik bagi pergolakan dan pemberontakan. Dalam keadaan penuh dengan kegelisahan itu segala perasaan dapat disalurkan melalui agama dan membangkitkan pergerakan total. Untuk masyarakat tradisional perbedaan yang dibuat oleh Snouck hurgronje ternyata tidak sesuai. Lagi pula, pergolakan yang dicetuskan oleh sarekat Islam membuktikan bahwa Snouck Hurgronje memandang rendah Islam sebagai kekuatan sosial.

            Politik yang disarankan oleh beberapa pejabat seperti Snouck Hurgronje Ringkes, dan Gonggrijp ialah agar sarekat Islam diakui pendiriannya karena melihat bahwa sarekat Islam merupakan kebangkitan suatu bangsa menjadi dewasa, baik dalam bidang politik maupun sosial.