Latar Belakang
Sestem ekonomi kolonial antara tahun
1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Maksudnya adalah bahwa
pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi
peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia, khususnya
perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Selama masa ini
pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta eropa lainnya mendirikan berbagai
perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula dan kina. Pembukaan perkebunan-perkebunan
besar ini kemungkinan oleh undang-undang agraria (Agrarische wet) yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada suatu pihak
undang-undang ini melindungi hak milik petani Indonesia atas tanah mereka. Di
lain pihak undang-undang agraria membuka peluang bagi orang-orang asing,
artinya orang-orang bukan pribumi Indonesia, untuk menyewa tanah dari rakyat
Indonesia.
Zaman liberal menyaksikan penetrasi
ekonomi uang yang lebih mendalam lagi kedalam masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat jawa. Hal ini terutama disebabkan oleh penyewaan tanah penduduk oleh
perusahaan-perusahaan swasta Belanda untuk di jadikan perkebunan-perkebunan
tersebut. Tanah yang disewakan tidak terbatas pada tanah-tanah kosong, tetapi
meliputi juga areal persawahan. Seperti telah diterangkan dalam bagian
terdahulu, tebu pula ditanam sili musim. Hal ini juga disebabkan oleh
kesempatan yang di berikan kepada petani di Jawa untuk bekerja di
perkebunan-perkebunan besar sebagai buruh harian maupun buruh musiman.
Meluasnya pengaruh ekonomi barat
dalam masyarakat Indonesia selama zaman liberal tidak saja terbatas pada
penanaman tanaman-tanaman perdagangan di perkebunan-perkebunan besar, akan
tetapi juga meliputi impor barang-barang jadi yang di hasilkan oleh
industri-industri yang sedang berkembang di negeri Belanda. Impor barang-barang
jadi, yang untuk sebagian besar terdiri atas barang-barang konsumsi ringan,
mempunyai akibat-akibat yang buruk bagi usaha-usaha kerajinan rakyat Indonesia,
karena pada umumnya hasil-hasil produksi mereka, baik dalam harga maupun mutu
tidak dapat bersaing dengan barang jadi hasil industri barat itu. Misalnya,
impor-impor bahan tekstil dari daerah industri Twente di negeri Belanda
mengakibatkan matinya usaha-usaha penenunan dari penduduk di Pulau Jawa.
Akibat dari perkembangan yang
menyedihkan ini penduduk pulai jawa makin didorong kedalam ekonomi uang, karena
hilangnya mata pencarian mereka yang tradisional memaksanya mencari pekerjaan
pada perkebnan-perkebunan besar yang dimiliki oleh Belanda dan lain-lain orang
eropa. Namun pada umumnya respon penduduk di Jawa terhadap meluasnya ekonomi
uang adalah pasif; artinya untuk sebagian besar mereka tetap tergantung dari
mata pencarian di bidang pertanian, dan menjadi buruh pertanian hanya untuk
melengkapi pendapatannya yang diproleh dari hasil-hasil pertanian jika
pendapatan tidak mencukupi. Jika para petani ini terpaksa mencari pekerjaan di
perkebunan-perkebuan besar untuk melengkapi pendapatannya, mereka senantiasa
berusaha untuk meninggalkan pekerjaan tambahan itu jika tidak di rasakan perlu
lagi.
Perluasan produksi tanaman dagangan
untuk ekspor dari perkebunan-perkebunan swasta tersebut serta impor
barang-barang konsumsi ringan dari negara-negara industri barat yang
meningkatkan, mengakibatkan perdagangan Internasional makin ramai antara
Indonesia dan negara-negara lain. Perkembangan perdagangan internasional juga
mendorong perkembangan perdagangan perantara didaerah pedalaman di pulau Jawa.
Perdagangan perantara itu pada umumnya terdiri atas dua fungsi yaitu perdagangan
distribusi dan perdagangan koleksi.
Perdagangan distribusi terutama menyebarkan barang konsumsi yang di impor dari
luar negeri diantara penduduk di daerah pedesaan, sedangkan perdagangan koleksi
terutama mengumpulkan hasil-hasil tanaman-tanaman dagang dari pada petani dan
meneruskannya kepada para pedagang besar.
Kesempatan-kesempatan ekonomi yang
baru terbuka itu pada umumnya tidak di manfaatkan oleh penduduk di Jawa, jika
tetapi orang-orang yang termasuk golongan timur asing, khususnya orang-orang
China. Seperti telah dikatakan oleh Wertheim, sebagai orang-orang yang berasal
dari negara lain atau keturunan orang pendatang, golongan ini tidak begitu
terikat pada tradisi dan norma agraris yang masih di anut oleh penduduk di
Jawa, sehingga mereka berada di dalam kedudukan yang lebih baik untuk memenuhi
fungsi perdagangan antara. Seperti telah di kemukakan diatas, para petani di
Jawa juga mulai mencari pekerjaan diluar bidang pertanian, akan tetapi hal ini
hanya mereka lakukan jika di perlukan, misalnya untuk membayar pajak tanah atau
untuk membeli barang-barang konsumsi impor. Akan tetapi pada umumnya sistem
para petani tersebut terhadap meluasnya eonomi uang adalah pasif; artinya
mereka tidak secara aktif memanfaatkan kesempatan ekonomi yang baru untuk
keuntungan material mereka sendiri dan untuk meningkatkan taraf hidup mereka,
akan tetapi mereka hanya menyesuaikan diri secara pasif dengan keadaan yang
baru dan hanya berusaha untuk memperoleh sekedar tambahan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang minimal.
Salah satu akibat lain yang penting
dari penetrasi barat yang makin mendalam di jawah adalah pertumbuhan penduduk
yang makin pesat. Pertumbuhan penduduk yang pesat ini di sebabkan menurunnya
angka kematian sedangkan angka kelahiran tetap tinggi. Faktor-faktor yang turut
mengakibatkan menurunnya angka kematian adalah tindakan-tindakan dalam bidang
kesehatan rakyat yang di ambil oleh pemerintah Hindia-Belanda, seperti
Vaksinasi terhadap penyakit menular, perbaikan dalam sistem distribusi bahan
makanan kepada rakyat antara lain melalui perbaikan jalan raya dan
lain-lainnya. Pertumbuhan penduduk di Jawa jelas kelihatan dai angka-angka
berikut .
1795 3,500,000 (taksiran Nederburg)
1815 4,499,250 (penghitungan pertama)
1846 9,542,045 (perkiraan Bleeker)
1880 19,794,505 (perhitungan administratif)
1905 30,360,667 (sensus penduduk)
Azas –
Azas Liberalisme
Sama halnya dengan Negara – Negara
lain, dinegri Belanda para pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa Negara
(pemerintah) sepatutnya tidak campur tangan dalam kehidupan ekonomi, tetapi
membiarkannya kepada kekuatan kekuatan pasar. Mengikuti Adam Smith, para
pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa satu – satunya tugas Negara
adalah memelihara ketertiban umum menegakkan hukum, agar jangan demikian
kehidupan ekonomi dapat berjalan dengan lancar. Agar hal ini dapat diwujudkan,
para pengikut aliran liberalisme menghendaki agar segala rintangannya yang
sebelumnya telah dibuat oleh Negara dihapuskan. Rintangan – rintangan ini
menghambat kelancaran kehidupan ekonomi dan oleh karena itu perlu disingkirkan.
Ketika orang – orang liberal
mencapai kemenangan politik di negeri Belanda (setelah tahun 1850) mereka
mencoba menerapkan azas – azas liberalisme di koloni – koloni Belanda khsusunya
di Indonesia, sedikit – dikitnya di wilayah – wilayah yang berada di bawah
kekuasaan mereka. Mereka berpendapat ekonomi Hindia – Belanda akan berkembang
dengan sendirinya jika diberi peluang sepenuhnya kepada kekuatan – kekuatan
pasar untuk bekerja sebagaimana mestinya. Dalam praktek hal ini berarti
kebebasan berusaha, yang dalam konteks Hindia – Belanda khususnya berarti
kebebasan sepenuhnya bagi usaha dan modal swasta Belanda untuk mengembangkan
sayapnya di Hindia – Belanda dalam berbagai usaha kegiatan ekonomi.
Usaha kegiatan ekonomi yang
mengalami perkembangan yang paling pesat selama zaman liberalisme di Hindia –
Belanda adalah industri – industri ekspor, yang terdiri atas perkebunan –
perkebunan besar dan tambang – tambang. Industri – industri ekspor merupakan
motor penggerak utama bagi kehidupan ekonomi liberal di Hindia – Belanda sangat
mempengaruhi pola perkembangan sektor – sektor lainnya. Perkembangan pesat dari
industry – industry ekspor dicetuskan oleh permintaan yang meningkat di pasaran
dunia akan hasil – hasil pertanian dan pertambangan dari Hindia – Belanda,
seperti gula, kopi, tembakau, dll. Perkembangan makin pesat lagi dengan munculnya
kapal – kapal uap yang sangat menurunkan biaya pengangkutan antara daerah –
daerah produksi dan pasaran dunia. Disamping itu pembukaan Terusan Suez dalam
tahun 1869 amat mempersingkat jarak antara Negara – Negara penghasilbahan
mentah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dengan Negara – Negara konsumen di
Eropa, suatu hal yang menurunkan biaya pengangkutan.
Walaupun para pengikut liberalisme
di negeri Belanda mengecam peranan Negara (perintah Hindia – Belanda) selam
zaman sistem tanam paksa, namun mereka tetap memandang Hindia – Belanda sebagai
suatu “perusahaan” yang perlu menghasilkan laba. Perbedaan mereka dengan orang
– orang seperti Van Den Bosch dan pendukung sistem tanam paksa lainnya hanya
terletak pada gambaran mereka mengenai koloni mereka. Jika Van De Bosch
memandang Hindia – Belanda sebagai suatu perusahaan
Negara, maka kaum liberal menganggap koloni mereka sebagai suatu perusahaan
swasta. Akan tetapi kedua – duanya menghendaki agar perusahaan itu menghasilkan
laba atau saldo surplus (Batig Slot) yang dapat di transfer ke negri Belanda.
Walaupun demikian diantara orang –
orang liberal sendiri ada perbedaan pendapat mengenai keharusan adanya saldo
surplus yang besar itu. Misalnya, para pengusaha Belanda yang tinggal di
Indonesia menghendaki agar pemerintah Hindia – Belanda melaksanakan berbagai
pekerjaan umum yang dapat menunjang perkembangan industry ekspor mereka,
seperti jalan – jalan raya, fasilitas – fasilitas irigasi, jembatan – jembatan.
Disamping itu mereka juga menginginkan sekolah – sekolah bagi anak – anak
mereka serta penyediaan fasilitas – fasilitas kesehatan bagi keluarga mereka
maupun buruh yang bekerja pada perusahaan – perusahaan mereka. Sudah barang
tentu pembangunan prasarana ini memerlukan pembiayaan yang harus di tanggung
oleh pemerintah Hindia – Belanda. Dapat dimengerti bahwa pengeluaran –
pengeluaran pemerintah yang meningkat akan sangat mengurangi jumlah saldo
surplus yang harus di transfer ke negri Belanda. Perlu di kemukakan disini
bahwa pembangunan sarana oleh Negara tidak berlawanan dengan azas – azas
liberalisme yang memang membenarkan pembangunan prasarana yang dapat
mempelancar kegiatan – kegiatan ekonomi swasta.
Orang – orang liberal berkeyakinan
bahwa perkembangan ekonomi yang pesat yang dicetuskan oleh kegiatan usaha
swasta akan membawa kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyat Indonesia tanpa
tindakan khusus dari pihak pemerintah Hindia – Belanda. Dengan lain perkataan,
mereka berkeyakinan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat
dalam jangka panjang justru akan mempunyai efek yang buruk atas kesejahteraan
rakyat. Satu – satunya tindakan yang diperlukan adalah memberikan perlindungan
dasar kepada orang – orang Indonesia agar kedudukan lemah mereka tidak disalah
gunakan sehingga merugikan kepentingan – kepentingan mereka. Perlindungan dasar
ini adalah uu agraria dari tahun 1870 yang menegaskan hak milik dari penduduk
pribumi atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik ini kepada orang –
orang bukan Indonesia. Jikalau pengusaha – pengusaha Barat memerlukan tanah
misalnya untuk membuka perkebunan besar mereka paling banyak hanya dapat
menyewa tanah penduduk.
Pemerintah Hindia – Belanda
diwajibkan untuk menjaga agar tanah pertanian rakyat yang di perlukan rakyat
untuk menanam tanaman – tanaman mereka sendiri tidak disewakan kepada pengusaha
– pengusaha Barat. Disamping uu agraria pemerintah Hindia – Belanda juga
mengeluarkan peraturan – peraturan mengenai perburuhan yang menegaskan kondisi
– kondisi pekerjaan yang layak bagin orang – orang Indonesia, misalnya mengenai
tingkat upah minimal yang harus dibayar kepada buruh – buruh Indonesia. Perlu
dikemukan disini bahwa dalam kenyataan peraturan – peraturan dan perundang –
undangan mengenai perburuhan, terutama yang menyangkut keadaan pekerjaan yang
layak, sering tidak dilaksanakan sehingga sangat merugikan kaum buruh
Indonesia.
Walaupun zaman liberalisme di Hindia
– Belanda diawali dengan harapan – harapan besar mengenai keunggulan sistem
liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi koloni sehingga menguntungkan
kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada akhir abad
ke-19 sudah nyata bahwa rakyat Indonesia tidak mengalami tingkat kemakmuran
yang lebih baik dari pada dimasa yang lampau. Meskipun produksi untuk ekspor
meningkat dengan pesat antara tahun – tahun 1870 dan 1900, namun pada akhir
pada abad ke-19 ada pertanda jelas bahwa orang – orang Indonesia, khususnya di
pulau Jawa,telah mengalami kemerosotan dalam tingkat hidup mereka, sehingga
menimbulkan kritik – kritik setengah abad sebelumnya yang dilontarkan terhadap
sistem tanam paksa di bawah ini akan di bentangkan sistem ini di Jawa tengah
dan timur serta Sumatra Timur.
Jawa Tengah dan Timur
Harapan kaum Liberal adalah pembebasan kehidupan
ekonomi dari segala campur tangan pemerintahan serta penghapusan segala unsur
paksaan dari kehidupan ekonomi akan mendorong perkembangan ekonomi Hindia
Belanda. Harapan ini tercapai, khususnya dalam perkembangan industri-industri
ekspor yang berjalan dengan pesat sekali. Dibawah ini Undang-Undang Agraria
tahun 1870, para penguasa Belanda dan Eropa lainnya dapat menyewa tanah dari
penduduk Jawa atau pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
perkebunan-perkebunan. Yang mengalami perkembangan yang pesat adalah gula, yang
termasuk bahan dagangan ekspor yang penting dari Hindia Belanda pada waktu itu.
dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah yang besar, maka perkebunan gula
dan perkebunan-perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan perlengkapan
lainnya, hal mana telah meningkatkan produktivitas perkebunan ini misalnya,
dalam hal perkebunan-perkebunan gula perluasan dan kemajuan-kemajuan teknis
yang diintroduksi dalam industri ini mengakibatkan kenaikan produksi yang pesat
seperti ternyata dari angka-angka yang berikut. Dalam tahun 1870 luas tanah
dipualu Jawa yang ditanami gula berjumlah 54.176 sampai 128.301 bahu. Di lain
pihak produksi gula meningkat lebih pesat lagi, yaitu dari 2.440.000 pikul
dalam tahun 1870 hingga 12.050.544 pikul dalam tahun 1900. Demikian pula
perkebunan-perkebunan teh mengalami perkembangan pesat, terutama setelah
perkebunan-perkebunan ini mulai ditanam oleh teh asam. Tanaman ekspor lainnya
mengalami kenaikkan pesat dalam produk tembakau. Jauh sebelumnya tembakau telah
ditanam didaerah-daerah Yogyakarta dan Surakarta selama zaman Liberalisme
pengusaha-pengusaha Belanda didirikan pula perkebunan tembakau disekitar Besuki
di Jawa Timur yang kemudian mengalami perkembangan yang pesat.
Perkebunan-perkebunan tembakau di Besuki itu bekerja sama erat dengan penduduk
dengan sekitarnya yang juga menanam tembakau yang kemudian disortir dan diolah
selanjutnya diperkebunan-perkebunan besar. Disamping itu modal dan usaha
Belanda mendidirikan perkebunan-perkebunan tembakau yang besar disekitar Deli
di Sumatera Timur.
Tanaman-tanaman dagangan lainnya
yang dihasilkan perkebunan-perkebunan besar yang telah mengalami perkembangan
pesat selama masa ini adalah kopi dan kina. Selama masa ini Indonesia malah
menjadi penghasilan kina yang paling terkemuka di dunia, karena hampir 90
persen dari kina yang digunakan didunia pada waktu itu berasal dari
perkebunan-perkebunan kina di Jawa. Di lain pihak kopi tidak mengalami
perkembangan begitu pesat seperti tanam paksa masih berlaku.
Perkebunan-perkebunan gula, teh,
tembakau dan tanaman-tanaman lainnya mengalami perkembangan yang paling pesat
antara tahun 1870 dan 1885. Selama masa itu para pengusaha
perkebunan-perkebunan memperoleh keuntungan yang besar sekali dari penjualan
tanaman-tanaman ini dipasaran dunia. Untuk sebagian besar perkembangan pesat
itu disebabkan oleh pembukaan Terusan Suez dalam tahun 1869 yang sangat
mengurangi jarak antara Negara penghasil tanaman-tanaman dagang ini dan
pasaran-pasaran dunia dan terpenting di Eropa Barat.
Setelah tahun 1885 perkembangan
tanaman dagang mulai berjalan agak seret karena jatuhnya harga-harga kopi dan
gula di pasar dunia. Dalam tahun 1891 harga tembakau dipasaran dunia juga jatuh
dengan pesat sehinngga membahayakan kelangsungan hidup perkebunan-perkebunan di
Deli. Jatuhnya harga gula dipasaran dunia terutama disebabkan oleh penanaman
gula beet sugar yang mulai tanam diberbagai Negara Eropa selama masa ini,
sehingga Negara-negara ini tidak memerlukan lagi gula dari Indonesia.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi
berbagai perkebunan besar sebagai akibat krisis dipasar dunia juga mempunyai
implikasi-implikasi atas cara membiaya usaha-usaha kegiatan ini. Pada umumnya
kegiatan-kegiatan perkebunan-perkebunan besar ini dibiayai oleh apa yang
dinamakan bank-bank perkebunan (cultuurbanken) yang merupakan lembaga-lembaga
keuangan yang otonom. Sebelum krisis terjadi sekitar tahun 1885, kegiatan
perkebunan-perkebunan ini, penuh dengan resiko karena para pengusaha
perkebunan-perkebunan besar ini tidak berusaha mengurangi resiko mereka dengan
cara membentuk perseorangan-perseorangan terbatas, tetapi menjalankan
perkebunan-perkebunan ini atas usaha sendiri. Jika mereka memerlukan
tambhan-tambahan pembiayaan, maka hal ini diperoleh dari bank-bank perkebunan
ini yang disebut diatas. Akan tetapi bank ini sering bersedia meminjamkan
kredit kepada perkebunan-perkebunan ini jaminan-jaminan kuat.
Krisis yang melanda
perkebunan-perkebunan besar Indonesia sebagai akibat turunnya harga-harga dari
berbagai bank-bank perkebunan yang telah meminjamkan uang kepada
perkebunan-perkebunan ini. Krisis sekitar tahun 1885 mengakibatkan suatu
reorganisasi yang penting dalam kehidupan ekonomi Hindia Belanda pada waktu
itu. Didasari bahwa perkebunan-perkebunan besar tidak bisa dijalan kan lagi
sebagai usaha dan milik perorangan, tetapi perlu direorganisasi sebagi
perseorangan-perseorangan tebatas. Perkebunan-perkebunan ini selanjutnya tidak
di pimpin langsung oleh pemiliknya, akan tetapi oleh seorang manager, artinya pegawai
yang di gajih dan langsung yang biasanya di pilih dan diangkat oleh para
pemegang saham dipihak bank-bank perkebunan tetep melanjudkan usaha pemberian
kredit kepada perkebunan-perkebunan besar, akan tetapi krisis tahun 1885 mereka
juga mengadakan pengawasan atas operasi perkebunan-perkebunan besar. Hal ini di
rasakan perlu agar salah urus, ketiadaan fisiensi dalam operasi-operasi
perkebunan-perkebunan besar dapat di hindarkan di kemudian hari. Dilain pihak
bank-bank perkebunan sendiri tidak berdiri otonom lagi,akan tetapi menjadi
bagian dari bank-bank yang berkedudukan di Negeri Belanda.
Perkembangan-perkembangan baru yang
terjadi pada akhir abad ke-19 itu menandakan sesuatu tahap baru dalam sejarah
ekonomi Hindia Belanda dimana azas-azas Liberalisme murni yang menjunjung
tinggi usaha dan swasta dan persaingan bebas lambat-laun mulai ditinggalkan
untuk kemudian diganti suatu tata susunan ekonomi yang lebih bersifat
terpimpin. Artinya, kehidupan ekonomi Hindia Belanda, khususnya di Jawa, mulai
lebih banyak dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan industrial dan financial
di negeri Belanda, sendiri dan tidak lagi diserahkan kepada kepemimpin-pemimpin
perkebunan-perkebunan yang berkedudukan di Jawa. Dengan demikian ekonomi
kapitalis-kapitalis dinegeri Belanda, sedangkan para pionir yang swasta kurang
lebih dua dasawarsa sebelumnya mulai dicaplok oleh kepentingan-kepentingan
kapitalis besar dinegeri Belanda. Sebagai pengganti pengusaha-pengusaha
perorangan ini, sudah sejak tahun 1885 mulai bermunculan perusahaan-perusahaan
raksasa yang berbentuk perseorangan-perseorangan yang sering pula selain
berkaitan.
Markas besar perusahaan-perusahaan
ini berkedudukan dinegeri Belanda, tetapi kadang-kadang dinegara-negara Eropa
lainnya. Dengan demikian ekonomi Hindia Belanda dan suatu sistem
Merkantilisme-negara kesistem Merkantilisme-perusahaan besar dapat dikatakan
telah selesai.
Jika perkebunan-perkebunan besar di
Jawa berkembang pesat didalam alam Liberal dengan sangat menguntungkan pihak
kesejahteraan penduduk Jawa makin mundur. Pada akhir masa Liberal menjadi
semakin jelas, bahwa ramalan dan harapan penganut-penganut Liberal mengenai
kemakmuran yang lebih tinggi bagi penduduk Nusantara yang akan dibawah ekonomi
Liberal tidak terwujud. Penelitian Widjojo Nitisastro mengenai pertumbuhan
penduduk di Indonesia memperlihatkan laju pertumbuhan penduduk Jawa setelah
tahun 1880 menurun dibanding masa sebelumnya. Tetapi angka yang tersedia
mengenai produksi bahan makanan memperlihatkan bahwa kenaikkan produksi ini
malah lebih rendah lagi dari pada perkebunan-perkebunan besar Barat menjamin
peningkatan secara bertahap produksi tanaman-tanaman ekspor.
Pertumbuhan penduduk pulau Jawa,
yang berjalan yang lebih pesat dari pada pertumbuhan produksi dan bahan
makanan, khususnya beras, berarti bahwa konsumsi bahan makanan perkepala selama
zaman Liberalisme memperlihatkan trend yang menurut, khususnya setelah tahun
1880. Disamping ini krisis yang telah dialami perkebunan-perkebunan besar
sekitar tahun 1885 juga membawa pengaruh bagi penduduk Jawa, baik yang berupa
bagi pekerjaan perkebunan maupun yang berupa sawah tanah. Jika penduduk Jawa
secara rata-rata memperoleh pembayaran untuk sewa tanah sebanyak. 42,48 untuk
satu bahu selama sistem tanam paksa maka pada tahun 1900 angka ini telah
menurun sampai 25 penduduk satu bahu. Demikian pula upah telah menurun dengan
pesat setelah krisis tahun 1885, seperti terbukti pula dari hasil suatu
penyelidikan yang dilakukan oleh Mindere Welvaarts Commissie (panitia
kemerosotan kemakmuran), suatu panitia resmi yang ditunjuk oleh pemerintah
colonial untuk menyelidiki keadaan kesejahteraan penduduk Jawa.
Disamping pendapatan yang berkurang
dari pekerjaan di perkebunan besar dan menyewa kepada perkebunan-perkebunan
ini, penduduk mengalami penciutan dalam penghasilan yang diperoleh dari
kegiatan-kegiatan tradisional seperti kerajinan tangan, sebagai akibat impor
barang-barang dari luar negeri yang lebih unggul dari pada hasil-hasil tangan.
Disamping ini pembangunan jalan-jalan kereta api di pulau Jawa juga
mengakibatkan penciutan dalam penghasilan yang diperoleh penduduk Jawa dari
pengangkutan barang-barang dengan gerbong. Kemiskinan yang diderita penduduk
Jawa dengan demikian untuk sebagian besar disebabkan oleh pengangguran dan
kekurangan kesempatan kerja yang alternatif. Kemakmuran yang menurun dari
penduduk Jawa antara lain terbukti dari angka-angka import barang-barang
konsumsi, seperti textil, yang telah berkurang pada akhir abad ke- 19 dibanding
dengan tahun-tahun sebelumnya. Demikian pula impor bahan makanan, terutama
beras, telah banyak berkurang disbanding dengan pertengahan abad ke – 19. Hal
ini jelas dari angka-angka berikut. Dalam tahun 1875 impor bahan textil (kapas)
dan beras berjumlah. 59.9 juta, akan tetapi tahun 1900 impor kedua barang ini
hanya berjumlah. 53 juta walaupun penduduk Nusantara telah meningkat kurang
lebih 10 juta selama seperempat abad ini. Di lain pihak impor barang-barang
bagi penduduk Eropa selama masa yang sama telah meningkat dari. 5,9 juta
sampai. 26,7 juta
Menurut penyelidikan yang oleh
Mindere Welvaarts Commissie pada awal abad ke dua puluh pendapatan rata-rata
dari suatu rumah tangga di Jawa kira-kira hanya berjumlah. 80 untuk satu tahun.
Dari jumlah ini kurang lebih. 16 harus dibayar kepada pemerintah sebagai pajak.
Kemerosotan kemakmuran penduduk Jawa
disebabkan beberapa faktor. Pertama-tama, kita melihat bahwa jumlah penduduk
Jawa meningkat dengan sangat pesat dalam abad 19. Pertumbuhan yang sangat pesat
ini mengakibatkan perbangdingan antara jumlah penduduk (factor produksi
tanah) dengan laus tanah yang terbatas
di lain pihak tidak lagi seimbang, sehingga akhirnya sebagai akibat “hukum
pertambahan hasil yang makin berkurang” (law
of diminshing returns), kenaikan produksi pertanian berkurang. Perkembangan
produksi pertanian yang tidak menguntungkan ini juga tidak dapat diubah dengan
penggunaan peralatan pertanian yang lebih efisien berhubung para petani
rata-rata sangat kekurangan modal sebagai akibat kemiskinan mereka. Faktor
kedua dengan adanya sistem kerja rodi yang harus di lakukan untuk
pejabat-pejabat pemerintah kolonial maupun untuk para mereka sendiri, para
petani saja tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk bekerja keras karena
mereka mengetahui bahwa hasil pekerjaan keras mereka akhirnya tidak dapat mereka
nikmati sendiri, akan tetapi akan diambil oleh pemerintah kolonial atau
penguasa mereka sendiri.
Faktor ketiga adalah politik
pemerintah Hindia Belanda terhadap Pulau Jawa. Seperti telah di kemukakan oleh
Gonggrijp selama abad ke-19 Jawa harus menanggung burden of empire, artinya Jawa harus menanggung finansial untuk
daerah-daerah lain yang di Nusantara yang di kuasai Belanda. Selama abad ke-19
pemerintah Hindia Belanda tidak menganut politik tidak campur tangan atau (onthoudings politiek) terhadap daerah-daerah luar Jawa yang berada
di bawah kekuasaannya. Sebagai akibat politik ini, beban finansial untuk
memerintah di daerah-daerah ini, walaupun secara tidak langsung, terpaksa di
tanggung oleh Jawa, hal mana berarti bahwa penduduk Jawalah yang harus menanggung
segala beban untuk mengatur dan memerintah daerah-daerah koloni di luar Jawa.
Dengan demikian dana-dana yang tersedia dari penghasilan ekspor tanaman-tanaman
Jawa tidak di pergunakan pemerintah Hindia-Belanda untuk kesejahteraan penduduk
Jawa sendiri, akan tetapi untuk biaya pemerintahan daerah-daerah koloni di luar
Jawa disamping itu pada hakekatnya penduduk Jawa juga membiayai perang kolonial
yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai daerah-daerah
lainnya di kepulauan Indonesia yang belum dikuasai Belanda, khususnya Aceh.
Perang kolonial terhadap Aceh memakan biaya yang berjumlah jutaan golden yang
untuk sebagian terbesar di tanggung oleh penduduk Jawa. Dapat di bayangkan
bagaimana efek terhadap kesejahteraan rakyat di Jawa andai kata jumlah dananya
yang besar ini di pergunakan pemerintah Hindia-Belanda untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk Jawa dan bukan untuk tujuan-tujuan destruktif, seperti
perang kolonial.
Faktor keempat yang dapat
menerangkan mundurnya kemakmuran penduduk Jawa pada akhir abad ke-19 adalah
sistem perpajakan yang sangat refresif,
artinya sangat memberatkan golongan yang berpendapat rendah, yang untuk bagi
yang terbesar terdiri dari orang-orang pribumi akan tetapi sangat meringankan
golongan yang berpendapatan tinggi, yang untuk sebagian besar orang-orang
eropa. Perusahaan-perusahaan yang memiliki perkebunan-perkebunan besar di Jawa,
tidak membayar banyak pajak meskipun mereka memperoleh labah yang tinggi dari
penjualan tanaman dagangan Indonesia di pasaran dunia. Demikian pula
pegawa-pegawai pemerintah kolonial tidak atau hanya sedikit membayar pajak
pendapatan. Satu-satunya golongan yang di wajibkan membayar pajak langsung
kepada pemerintah kolonial adalah para petani yang merupakan golongan terbesar.
Dengan demikian bukan pemerintah kolonial yang berbuat sesuatu untuk
kesejahteraan rakyat, akan tetapi justru sebaiknya rakyat di paksa untuk
membanu Indonesia. Lagi pula, seperti telah dikemukakan di atas penghapusan
tanam paksa di Indonesia sekitar tahun 1870 tidak berarti penghapusan
kebijaksanaan saldo untung (bating slot) dari
pemerintah Hindia-Belanda. Artinya, surplus dalam anggaran belanja pemerintah
Hindia-Belanda tidak di gunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di
Jawa, akan tetapi seperti sedia kala di transfer ke negeri belanda. Misalnya
antara tahun 1867 dan 1877 pemerintah Hindia-Belanda telah mentransfer kurang
dari f. 151 juta kenegeri Belanda, suatu jumlah yang sangat tinggi untuk waktu
itu. Dana-dana pemerintah kolonial yang dapat di gunakan untuk membangun
prasarana-prasarana, seperti waduk-waduk untuk irigasi, terbatas sekali karena
dana-dana yang tersedia dipergunakan untuk tujuan-tujuan lain, seperti
pembiayaan perang Aceh, sedangkan surplus penerimaan atas pengeluaran pemerintah
kolonial di transfer keluar negeri.
Faktor kelima yang menyebabkan
berkurangnya kemakmuran penduduk Jawa adalah krisis yang telah disinggung di
atas, yaitu yang melanda perkebunan-perkebunan besar sekitar tahun 1885.
Seperti telah di kemukakan diatas, kejadian ini mendorong perkebunan-perkebunan
besar di Jawa untuk mengadakan penghematan-penghematan drastis berupa penekanan
upah dan sewa tanah sampai tingkat yang serendah mungkin. Hal ini mudah di
laksanakan karena golongan yang terkena tindakan-tindakan penghematan ini,
yaitu penduduk Jawa, secara ekonomik dan politik tidak berada dalam kedudukan
yang baik untuk mempertahankan hak-hak mereka. Paling banyak mereka hanya dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan yang sangat merugikan itu.
Pembangunan Prasarana
Selama zaman liberal pemerintahan
Hindia-Belanda membangun banyak prasarana untuk menunjang produksi
tanaman-dagangan ekspor. Salah satu prasarana yang terpenting dalam hal ini
adalah waduk-waduk dan saluran-saluran
irigasi untuk peningkatan produktivitas. Sebelum krisis tahun 1885 pemerintah
Hindia-Belanda relativ tidak mengeluarkan banyak uang untuk pembangunan
prasarana karena tidak ingin mengurangi saldo surplus (bating slot) yang dapat ditransfer ke negeri Belanda. Akan tetapi
setelah krisis, menjadi jelas sekali bahwa pemerintah kolonial perlu bertindak
lebih giat untuk membantu perkebunan-perkebunan besar yang terkena krisis.
Salah satu tindakan penting dalam hal ini adalah pembangunan sarana-sarana
irigasi di Pulau Jawa yang di tangani oleh Departemen Pekerjaan Umum. Walaupun
sarana irigasi ini terutama di bangun untuk kepentingan perkebunan-perkebunan
besar, namun penduduk Jawa turut pula menarik manfaat dari pembangunan
sarana-saran irigasi ini, khususnya di daerah-daerah perkebunan gula yang
menyew tanah dari para petani atas dasar rotasi.
Disamping pembangunan sarana-sarana
irigasi, selama masa ini pemerintahan kolonial juga giat membangun jalan-jalan
raya, jaringan kereta api, dan jembatan-jembatan. Pembangunan pekerjaan umum
ini untuk sebagian besar dilaksanakan dengan mewajibkan penduduk setempat
melakukan pekerjaan rodi. Jadi walaupun selama masa liberal pembangunan
sarana-sarana irigasi maupun sarana-sarana pengangkutan memang berjalan dengan
pesat, namun di lain pihak beban pekerja rodi yang harus di lakukan oleh
penduduk Jawa sangat berat, malah lebih berat lagi jika di bandingkan dengan
masa-masa sebelumnya. Di lain pihak pembangunan prasarana-prasarana selama
zaman liberal juga di lakukan atas skala yang jauh lebuh besar dari pada
sewaktu masa sistem tanam paksa, terutama sarana-sarana irigasi. Setelah tahun
1885 Departemen Pekerjaan Umum dari pemerintahan Hindia-Belanda mendirian suatu
bagian khusus yang di namakan ‘Brigade Irigasi’ yan merencanakan dan
melaksanakan program pembangunan sarana-sarana irigasi dalam skala besar di
Pulau Jawa. Disamping pembangunan sarana-sarana irigasi baru, ‘Brigade Irigasi’
juga di tugaskan untuk memperbaiki sarana-sarana irigasi yang sudah tua.
Jalan-jalan kereta api pertama di
bangun antara semarang dan daerah kesultanan (Vorstenlanden) serta antara Batavia dan Bogor. Pembangunan kedua
jalan kereta api yang pertama ini di selsaikan dalam tahun 1873 dan terutama di
maksud untuk membuka daerah-daerah pedalaman Jawa dan menghubungi daerha
perkebunan besar yang kebanyakan terletak di daerah pedalaman dengan kota-kota
pelabuhan yang terdekat, yaitu Batavia di Jawa Barat dan Semarang di Jawa
Tengah. Demikian pula dalam tahun 1873 pemerintahan Hindia-Belanda mulai
membangun jalan kereta api antara Surabaya dan kota Malang, yang merupakan
pusat terpenting dari perkebunan-perkebunan besar di daerah Jawa Timur.
Jelaslah kiranya bahwa pembangunan jaringan jalan-jalan kereta api di Pulau
Jawa terutama terdorong oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi: khususnya
kepentingan-kepentingan perkebunan-perkebunan besar. Perkembangan jaringn
kereta api ini berjalan dengan pesat sekali, seperti terlihat dari angka-angka
berikut. Kedua jalan kereta api yang pertama di buka dalam tahun 1873
seluruhnya hanya meliputi jarak kurang lebih 250 km, akan tetapi pada akhir
zaman liberal seluruh jaringan jalan kereta api, banyak yang di bangun oleh
pemerintah kolonial maupun oleh pihak swasta, yaitu perusahaan-perusahaan
eropa, telah meliputi jarak kurang lebih 3000 km.
Sementara jaringan kereta api sedang
di bangun di Jawa, pemerintahan kolonial juga sibuk membangun jaringan jalan
kereta api di beberapa daerah di luar Jawa yang berada di bawah kekuasaannya,
atau yang ingin dikuasainya, seperti di aceh dan di Sumatera Barat. Pembangunan
jaringan jalan kereta api ini tidak saja didorong oleh pertimbangan ekonomi
tapi juga oleh pertimbangan politik dan militer, khusunya dalam hal Aceh yang
secapat mungkin ingin di taklukannya. Pembangunan jalan kereta api di Sumatera
Barat lebih bersifat ekonomi karena di sana jalan kereta api di bangun untuk
menghubungi Kota Padang dengan
tambang-tambang batu bara di Ombilin. Didaerah perkebunan-perkebunan besar di
Sumatera Timur yang telah di buka sejak tahun 1863, maskapai tembakau Deli (deli Tabak Maatschappij) yang
mengusahakan perkebunan-perkebunan
tembakau didaerah tersebut, juga mengambil prakarsa untuk membangun jalan kereta api pada tahun
1883. Dengan demikian pada akhir zaman liberal di beberapa daera Pulau Sumatera
telah di bangun jaringan jalan kereta api yang seluruhnya meliputi jarak kurang
lebih 400 km. Pembangunan jalan kereta api di Sumatera ini cukup mengesankan,
walaupun masih jauh terbelakang di banding dengan pembangunan jalan kereta api
di Jawa. Dipulau-pulai lain tidak di lakukan pembangunan jalan kereta api.
Perdagangan ekspor Hindia-Belanda
yang makin meningkat mendorong pengnkutan laut, dan dengan demikian
meningkatkan pula kebutuhan akan suatu armada dagang yang dengan cepat dapat
mengangkut barang-barang ekspor nusantara ke pasaran dunia maupun yang dapat
mengurus lalulintas barang yang makin meningkat antara berbagai daerah di
Indonesia. Sungguhpun demikian pihak Belanda lambat sekali membangun armada
dagang yang dapat memlihara perhubungan laut di laut perairan Indonesia dan
lebih suka menggantungakan diri pada kapal-kapal Inggris. Baru dalam tahun 1888
pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah perusahaan yang mengurus
perhubungan laut antar-daerah di Indonesia, yaitu Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), yang kemudian memperoleh
monopoli untuk pengangkutan laut di Indonesia.
Pengangkutan laut yang makin
meningkat menimbulkan pula kebutuhan akan pelabuhan-pelabuhan laut yang modern
dan efisien. Dalam tahun 1872 pemerintahan Hindia-Belanda mulai membangun pelabuhan
laut yang baru di tanjung Priok yang baru selesai dalam tahun 1893. Demikian
pula di tempat-temapat lain di bangun pelabuhan-pelabuhan baru, seperi Belawan
di Sumatera Timur, Emmahaven (teluk
bayur) di padang, Sumatera Barat dan Cilacap di pantai Selatan, Jawa Tengah.
Disamping pembangunan prasarana
fisik selama masa liberal pemerintahan Hindia-Belanda juga lebih giat
mengusahakan pembangunan sosial, khususnya lembaga-lembaga pendidikan bagi
penduduk Indonesia. Memang sebelum zaman liberal, pemerintahan Hindia-Belanda
secara terbatas telah membuka beberapa sekolah bagi anak-anak para bupati dan
para pejabat-pejabat tinggi lainnya. Disamping pemerintahan kolonial,
missionaris-missionaris Kristen-Protestan dan Roma-Katolik dari negeri Belanda
telah membuka sekolah-sekolah bagi penduduk Indonesia, akan tetapi hanya di
daerah-daerah dimana sebagian penduduk tidak menganut Agama Islam seperti di
daerah kepualuan Maluku, Sulawesi Utara dan Nusatenggara Timur. Pemerintahan
kolonial tidak mengizinkan misi-misi Protestan dan Katolik membuka
sekolah-sekolah bagi penduduk Nusantara di daerah-daerah beragama Islam, karena
takut menimbulkan kesulitan dan pertentangan agama.
Baru selama zaman liberal sistem
pendidikan bagi penduduk Indonesia mengalami perkembangan yang lebih pesat,
suatu hal yang mencerminkan sikap kaum liberal mengenai pentingya penyebaran
pendidikan bagi kalangan luas di masyarakat. Dengan di bukanya jabatan-jabatan
yang lebih tinggi dalam admistrasi pemerintahan kolonial bagi orang-orang Indonesia
pribumi maupun orang-orang Indo-Eropa, maka kebutuhan akan lembaga-lembaga
pendidikan yang dapat memberi latihan-latihan dan pendidikan seperlunya bagi
calon-calon pegawai pemerintah, terus meningkat. Salah satu perkembangan
penting yang mencerminkan perhatian yang lebih besar dari pada pemerintah
kolonial terhadap pendidikan bagi golongan pribumi, yang kemudian di ikuti oleh
pendirian suatu Departemen Pendidikan, agama dan industri dalam tahun 1867.
Penggabungan bidang-bidang
pendidikan dan industri juga mencerminkan keyakinan pemerintah Hindia Belanda
bahwa ada suatu hubungan yang erat antara pendidikan dan perkembangan ekonomi
sesuatu negara. Pada mulanya sekolah-sekolah di buka untuk putra-putra para
bupati dan pembesar Indonesia lainnya,
namun secara lambat laun pendidikan juga meluas kepada anak-anak yang bukan
berasal dari kalangan ningrat dan pembesar-pembesar Indonesia. Perkembangan
pendidikan di Indonesia antara lain ternyata dari angka-angka jumlah sekolah di
Indonesai dalam tahun 1882 yang khusus di peruntukkan murid-murid Inonesia,
yaitu kurang lebih dari 300 di Jawa dan kurang lebih di daerah luar-luar Jawa.
Jumlah murid mengahadiri sekolah ini kurang lebih 40.000 orang. Meskipun secara
sepintas lalu angka ini kelihatan tinggi namun di banding dengan jumlah
penduduk Nusantara yang menjelang akhir zaman liberal berjumlah kurang lebih 30
juta, angka diatas tidak mengesankan. Disamping beberapa ribu orang yang bisa
membaca dan menulis, mayoritas dari rakyat buta huruf. Jumlah murid-murid yang
di perkenankan menghadiri sekolah-sekolah Belanda yang sebenarnya hanya terbuka
untuk murid-murid eropa, lebih kecil lagi, yaitu hanya 2000 orang pada tahun
1900. Dengan demikian orang-orang pribumi yang sanggup membaca dan berbicara
bahasa Belanda terbatas sekali. Setelah tamat sekolah-sekolah eropa ini,
merekapun paling-paling dapat mengharapkan kedudukan yang relatif rendah dalam
hierarki pemerintah Hindia-Belanda.
2.4.
Sumatera Timur
Selama dasawarsa – dasawarsa pertama
dari abad ke-19 pemerintah Hindia – Belanda pada umumnya tidak melibatkan diri
dengan daerah – daerah di laut Jawa, terkecuali beberapa daerah yang memang
lebih dahulu jatuh di bawah kekuasaan Belanda, seperti kepulauan Maluku, daerah
kecil sekitar ujung pandang, daerah sekitar kota Banjarmasin, Bengkulu yang
telah diserahkan oleh Inggris kepada Belanda dalam tahun 1824 dalam rangka
perjanjian London, dan Sumatra Barat di mana perlawanan terhadap agresi Belanda
dapat di patahkan oleh Belanda dalam tahun 1837. Salah satu faktor penting yang
dapat menerangkan keengganan pemerintah Hindia – Belanda untuk melibatkan diri
terlalu banyakn dengan daerah - daerah luar Jawa adalah pengalamannya yang
buruk selama perjuangan Diponegoro (1825-1830) yang mengajar agar tidak
mencaba-caba merubah tata susunan masyarakat
pribumi. Disamping pertimbangan ini Belanda memang tidak begitu
bernminat untuk mengadakan ekspansi territorial kedaerah – daerah luar Jawa
karena ingin memusatkan segala perhatiannya kepada Jawa yang sejak tahun 1830
telah menjelma sebagai suatu daerah koloni yang menghasilkan banyak keuntungan
bagi Belanda. Keterlibatan dengan daerah- daerah luar Jawa hanya terjadi secara
insidentil, misalnya jika di adakan ekspedisi militer terhadap beberapa daerah
untuk menumpas perampokan di laut.
Keterlibatan Belanda yang lebih
intensif dalam urusan-urusan daerah luar Jawa baru terjadi setelah mereka
menyadari bahwa suatu politik yang hanya
mengutamakan kedaulatan nominal Belanda atas daerah-daerah luar Jawa akhirnya
dapat mengancam kedudukan dan hegemoni Belanda di kepulauan Nuasantara.
Kejadian yang mencetuskan kekhawatiran Belanda adalah kegiatan “ Raja Brooke”,
seorang petualang Inggris, di Sarawak yang menganakat dirinya menjadi Raja di
Sarawak.
Akan tetapi factor terpenting yang
akhirnya mendorong Belanda untuk melepaskan “politik tidak campur tangan” dalam
urusan – urusan daerah luar Jawa dan mulai mengadakan ekspansi territorial ke
daerah-daerah ini adalah penemuan bahan-bahan mineral yang berharga di
daerah-daerah ini, seperti misalnya timah di pulau - pulau Bangka, emas di
Kalimantan Barat dan batubara di Kalamantan Tenggera.
Bahan – bahan mineral ini menjadi
penting dal;am abad 19 bertalian dengan proses industrialisasi yang sedang
berjalan di Negara – Negara Eropa barat, termasuk negri Belanda, dan penggunaan
bahan – bahan mineral ini sebagai bahan baku bagi produksi berbagai macam
barang jadi.
Kegiatan – kegiatan militer Belanda
yang terpenting di daerah – daerah luar Jawa adalah usaha penaklukan kesultanan
Aceh yang di mulai dalam tahun 1873. Disamping pertimbangan – pertimbangan
politik dan militer, menaklukan Aceh juga terdorong oleh pertimbangan –
pertimbangan ekonomi khususnya pengamanan kepentingan pengusaha – pengusaha
yang telah membuka perkebunan – perkebunan tembakau yang besar di daerah Deli,
Sumatara Timur, sejak tahun 1863. Sebagai contoh ekspansi keluar Jawa disini
akan diuraikan kasus Sumatra Timur.
Pada pertengahan abad ke-19 daerah
yang kemudian menjadi tersohor sebagai daerah “Pantai Timur Sumatra” masih
merupakan suatu daerah terpencil dan terbelakang yang tidak dikenal sama
sekali. Tidak mengherankan bahwa pada waktu itu tidak ada seorang pun yang
menduga bahwa daerah ini dalam waktu kurang dari setengah abad mengalami
perkembangan yang demikian pesat sehingga orang sering menyebut daerah ini
“Amerikanya Hindia” (Indie Amerika).
Permulaan perkembangan ekonomi uang
terjadi sewaktu Jacob Nienhuis, seorang pengusaha perkebunan Belanda,
mengunjungi pantai Timur Sumatra Utara untuk menyelidiki kemungkinan –
kemungkinan penanam tembakau di daerah ini. Perusahaan yang memperkejakan
Niwenhuis mendengar dari Abdullah seorang Arab yang bekerja pada sultan Deli,
Bahwa mutu tembakau yang ditanam oleh penduduk setempat tinggi sekali. dalam
kunjunga yang pertama ke Sumatra Timur Niwenhuis melihat bahwa Abdullah tidak
memperbesar – besarkan mutu tembakau tersebut, artinya ia telah yakin bahwa
mutu tembakau yang ditanam oleh penduduk Deli memang tinggi sekali. Meskipun demikian
Nienhuis juga cepat menyadari bahwa jumlah tembakau yang ditanam penduduk
setempat terlampau kecil untuk perdagangan tembakau yang menguntungkan. Oleh
sebab itu Nienhuis berusaha untuk menanam sendiri tembakau setelah memperoleh
suatu konsesi tanah dari sultan Deli.
Kesulitan pertama yang dihadapi
Nienhuis dalam menanam tembakau adalah masalah tenaga kerja. Berbeda dengan
keadaan di Jawa di mana perkebunan – perkebunan dengan mudah menarik penduduk
setempat untuk bekerja kepada perkebunan – perkebunan tersebut, Nienhuis
mengalami banyak kesulitan dalam menarik tenaga kerja yang bersedia bekerja di
perkebunan – perkebunanya. Oleh sebab itu Nienhuis terpaksa pergi ke Penang
untuk memperkerjakan orang – orang China. Kunjungan ini berhasil sehingga pada
tahun 1865 Nienhuis memperoleh hasil panen banyak 189 bal daun tembakau yang
dapat dijual dengan mudah di negri Belanda dengan harga yang tinggi.
Keberhasilan Nienhuis dalam penanam
tembakau di Deli atas dasar komersiil dengan cepat menarik perhatian kalangan
pengusaha di Eropa. Beberapa perusahaan besar dinegeri Belanda mulai
merencanakan untuk menanam modal mereka dalam perkebunan-perkebunan tembakau di
Deli. Badan Usaha Dagang Nederland (Nerderlandsche Handels Maatschappij atau
NHM) yang didirikan oleh raja Willem I menaruh perhatian besar pada usaha
Nienhuis, dan dalam tahun 1869 perusahaan ini menanam modalnya dalam suatu
perusahaan baru yang diberi nama Badan Usaha Deli (Deli Maatschappij) yang
dikepalai oleh Nienhuis sendiri. Perusahaan-perusahaan lain kemudian menyusul
karena tertarik pada harga tinggi yang dapat diperoleh tembakau Deli dipasaran
dunia. Oleh karena tanah didaerah Sumatera Timur dapat diperoleh dengan mudah
dari para sultan daerah tersebut atas dasar konsesi, maka harga yang tinggi
yang dapat diperoleh tembakau Deli dipasaran dunia dapat menjamin keuntungan
yang besar bagi perusahaan-perusahaan yang menanam modal mereka dalam
perkebunan-perkebunan tembakau ini. Sultan-sultan Melayu didaerah Sumatera
Timur dengan mudah dapat menyediakan tanah atas dasar konsesi kepada
perkebunan-perkebunan besar karena daerah Sumatera Timur adalah suatu daerah
yang untuk sebagian besar terdiri atas hutan lebat yang hanya didiami oleh
sedikit orang. Tidak mengherankan bahwa dengan demikian para Sultan bersedia
memberikan konsesi-konsesi tanah dengan pembayaran suatu jumlah tertentu
sebagai imbalan dari perkebunan besar.
Penanaman tembakau yang
menguntungkan sekali serta tersedianya tanah yang murah berhasil menarik banyak
modal, sehingga Sumatera Timur mengalami suatu perkembangan yang sangat pesat
dan mungkin unik dalam sejarah colonial manapun juga. Kurang lebih 25 tahun
setelah Nienhuis untuk pertama kali membuka perkebunan tembakau di Deli,
topografi Sumatera Timur berubah sama sekali dari keadaan semula dan menjelma
menjadi suatu daerah perkebunan besar yang menyusur pantai Sumatera Timur
sepanjang 200 km.
Pengalaman yang diperoleh perkebunan
– perkebunan tembakau itu menunjukkan, bahwa mutu tinggi dari daun tembakau
Deli yang tersohor di pasaran Dunia memerlukan kondisi tanah yang baik yang
hanya dapat dipertahankan jika tanah yang ditanami itu hanya dipakai selama 1
tahun dalam suatu siklus penanaman tembakau dari delapan tahun atau kadang –
kadang lebih lama lagi jika keadaan tanah tidak begitu baik.
Dengan demikian perkebunan –
perkebunan tembakau, seperti juga halnya dengan para petani setempat,
melaksanakan pertanian ladang (Shifting
cultivation), dimana perusahaan tembakau tiap tahun berpindah kesuatu
bidang tanah yang baru untuk menanam tanaman tembakau yang baru. Hal ini
berarti bahwa perkebunan – perkebunan tembakau juga memerlukan luas tanah yang
paling sedikit delapan kali lebih luas dari pada bidang tanah yang di tanam
dalam suatu tahun tertentu. Dengan
demikian pula penanaman tembakau merupakan suatu sistem pertanian yang sangat
ekstensif yang hanya dapat dilakukan disuatu daerah yang relative kosong dengan
jumlah penduduk yang kecil seperti halnya di Sumatera Timur pada abad ke-19.
Sistem pertanian tembakau yang
sangat ekstensif itu menyebabkan tanah di sumatera Timur yang cocok untuk
penanaman tembakau lambat laun menjadi
langkah, sehingga prospector – prospector tanah mulai menjajagi kemungkinan –
kemungkian penanaman tembakau di daerah – daerah di luar Deli, Serdang, dan
Langkat yang merupakan daerah inti dari perkebunan – perkebunan tembakau di
Sumatera Timur. Di samping daerah – daerah sebelah selatan dan sebelah Utara
dari daerah pantai Timur Sumatera Utara, para prospector tanah juga menjajagi
kemungkinan penanaman tembakau di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, bahkan di
Sabah. Akan tetapi segera ternyata bahwa keadaan tanah di daerah – daerah ini
tidak begitu cocok untuk penanaman tembakau Deli dengan sifatnya yang khas itu,
dan memiliki sifat tanah yang paling cocok untuk tembakau Deli.
Perkembangan di daerah Deli,
Langkat, Serdang akhirnya mengalami kemunduran – kemunduran juga. Pada akhir
dasawarsa 80 mulai nampak tanda – tanda adanya kelebihan produksi, terlebih –
lebih pada tahun 1891 sewaktu panen tembakau ternayata berjumlah 50.000 bal
lebih banyak dari pada tahun sebelumnya. Sebagai akibat kelebihan produksi ini
terjadi suatu krisis yang mengakibatkan bahwa harga dipasaran Dunia jatuh
dengan lebih dari 50% di bawah tingkat harga tahun sebelumnya.
Beberapa factor dapat menerangkan
krisis ini. Pertama – tama pasaran Dunia mengalami kelebihan penawaran
tembakau, terutama karena kenaikan produksi tembakau Deli. Kedua uu tarif bea
masuk Mc.kinley (tarif bea masuk atas impor tembakau ke Amerika Serikat) sangat
dinaikkan, sehingga pada tahun 1891 pembelian tembakau oleh Amerika tidak
terjadi. Dengan adanya persediaan tembakau di satu pihak dan pengurangan
pembelian tembakau di lain pihak tidak mengherankan bila suatu krisis tembakau
bisa terjadi.
Salah satu akibat dari krisis tahun
1891 adalah ditutupnya berbagai perkebunan tembakau. Antara tahun – tahun 1890
dan 1894 tidak kuarng dari 25 perusahaan tembakau yang memiliki banyak
perkebunan di bubarkan. Hal ini meningkat dalam tahun 1891 dengan jumlah
236.323 bal dan jatuh sampai tingkat produksi 144.689 bal dalam tahun 1892.
Krisis tahun 1891 menandakan
berakhirnya tahap pertama dari sejarah ekonomi Pantai Timur Sumatera, suatu
tahap yang ditandai oleh pertumbuhan pesat dari produksi tembakau, demikian
pesat sehingga beberapa orang menggambarkannya sebagai pertumbuhan yang
abnormal. Setelah krisis, suatu tahap baru dimulai yang dapat digambarkan
sebagai tahap konsolidasi. Para spekulan yang banyak bergiat dalam perusahaan –
perusahaan tembakau selama tahap pertama meninggalkan Sumatera timur dan
perkebunan – perkebunan tembakau yang tetap bertambah hanya dipimpin oleh
pengusaha – pengusaha yang benar – benar berkepentingan dalam infestasi yang
sehat dalam perkebunan – perkebunan tembakau. Pengusaha – pengusaha ini
kemudian giat berusaha untuk mengadakan rasionalisasi dalam penanaman tembakau,
antara lain dengan perbaikan metode – metode produksi dan dengan mengadakan
penelitian ilmia yang ditujukan untuk memperbaiki mutu tembakau Deli yang
memang sudah tersohor mutunya. Penelitian yang diadakan untuk lebih memperbaiki
mutu tembakau Deli dilakukan oleh lembaga penelitian Deli (Deli Proef Station) yang didirikan oleh perhimpunan pengusaha –
pengusaha perkebunan Deli yaitu perhimpunan pengusaha perkebunan tembakau di
Sumatera Timur. Krisis tahun 1891 juga menyadarkan para pengusaha perkebunan
tembakau bahwa tembakau Deli hanya dapat ditanam di beberapa daerah saja di
sumatera Timur. Khususnya Deli, Langkat, dan Serdang, yang memilki kombinasi
iklim dan tanah yang khas yang tidak terdapat ditempat – tempat lain di
Sumatera Timur. Peranan tembakau di tempat lain memperlihatkan merosot mutu
tembakau Deli, sehingga tidak memiliki lagi sifat – sifat yang unggul yang
tersohor di seluruh dunia. Salah satu akibat yang penting dari krisis tahun
1891 adalah dikuranginya luas tanah yang ditanami dengan tembakau.
Akibat dari krisis tembakau tahun
1891 adalah peningkatan usaha untuk penanaman tanaman – tanaman perdagangan
baru yang mempunyai prosfek ekspor yang baik dipasaran dunia. Krisis tahun 1891
memperlihatkan bahayanya suatu ekonomi yang hanya bergantung pada satu tanaman
saja (monoculture economy). Mula – mula diadakan usaha untuk menanam kopi di
daerah Serdang, akan tetapi saingan dari Brazil mengakibatkan penanaman kopi
itu tidak begitu menguntungkan, sehingga setelah beberapa tahun di hentikan
sama sekali.
Penanaman kopi juga tidak kelihatan
menarik karena justru pada waktu itu pengusaha – pengusaha perkebunan besar
sedang memulai menanam karet jenis hevea
brasiliensis diperkebunan – perkebunan mereka yang ternyata mempunyai
prospek yang baik sekali. Sewaktu
penanaman karet ternyata menguntungkan sekali, banyak perkebunan kopi kemudian
dijadikan perkebunan karet. Daerah yang kemudian menjelma sebagai pusat
penanaman karet, Adalah daerah Serdang, seperti juga Deli merupakan pusat
penanaman tembakau, sehingga karet menjadi motor penggerak ekonomi daerah
Sumatera Timur seperti juga halnya tembakau Deli pernah menjadi motor penggerak
daerah ini beberapa dasawarsa yang lalu.
Suatu pembahasan
mengenai pertumban ekonomi Sumatera Timur tidak bisa lengkap tanpa pembahasan
masalah persediaan tenaga kerja yang di hadapi perkebunan-perkebunan besar di
Sumatera Timur mulai sejak daerah ini dibuka untuk modal dan usaha barat.
Seperti yang telah di singgung diatas, Nienhius sendiri mengalami betapa
sukarnya memperoleh tenaga kerja bagi perkebunan tembakau yang bari di buka,
karena penduduk setempat pada umumnya tidak bersedia bekerja pada
perkebunannya. Ditinjau dari segi ekonomi, keengganan dari penduduk setempat
untuk bekerja sebagai buruh perkebunan dapat di mengerti, karena dengan jumlah
penduduk yang kecil dan tersedianya tanah yang luas tidak terdapat perangsang
ekonomi yang besar bagi mereka untuk
menambah nafkahnya dengan bekerja pada perkebunan-perkebunan besar sebagai
buruh tetap. Hal ini jelas berbeda sekali dengan keadaan di Jawa dimana tekanan
penduduk Jawa untuk mencari tambahan nafkah dengan bekerja pada
perkebunan-perkebunan besar.
Kekurangan tenaga kerja yang
mula-mula di awali oleh Nienhuis dan para pengusaha perkebunan lainnya yang
kemudian menyusulnya, mendorong para pengusaha ini untuk menarik tenaga kerja
dari daerah-daerah lain. Selama tahun-tahun pertama perusahaan-perusahaan
perkebunan Deli berhasil menarik tenaga kerja Cina yang diambil dari penang dan
Singapura melalui perantara-perantara (broker) Cina. Usaha untuk memperkerjakan
buruh-buruh Cina ini berhasil sekali sehingga dalam tahun 1871, yaitu hanya 8
tahun setelah daerah Sumatera Timur di buka untuk Investasi modal barat,
perkebunan-perkebunan temabakau di Deli sudah memperkerjakan kurang lebih 3.000
buruh Cina.
Dalam pada itu usaha pengerahan
tenaga kerja dengan sistem perantara ternyata mempunyai kelemahan dan
kekurangan, karena menimbulkan banyak penyelewengan pada pihak perantara yang
sering menculik atau membujuk calon buruh dengan janji yang muluk-muluk untuk
pergi ke Sumatera Timur tanpa mengetahui keadaan sebernya disana. Disamping ini
pengerahan tenaga kerja melalui perantara juga mahal sekali, karena perantara-perantara
ini menuntut komisi uang yang tinggi sekali untuk jasa mereka.
Berhubungan dengan
kesulitan-kesulitan ini para pengusaha perkebunan di Sumatera Timur mengambil
keputusn untuk mencari sendiri pekerjaan-pekerjaan di negeri Cina. Seperti
telah di kemukakan diatas pada tahun 1879 para pengusaha perkebunan tembakau di
Sumatera Timur telah bergabunga dalam perhimpunan perusahaan-perusahaan
perkebuanan Deli (Deli Planters
Vereniging atau DPF) dengan tujuan agar perhimpunan ini dapat
menggarap berbagai masalah yang di hadapi pengusaha-pengusaha perkebunan ini,
antara lain mengenai masalah kerja. Untuk ini dalam tahun 1888 DPF mendirikan
suatu biro imigrai immigratie Bureau) untuk
mengurus secara langsung seleksi calon pekerja negeri Cina dan pula pengangkutan
pekerja-pekerja yang di seleksi itu dari negeri Cina ke Sumatera Timur.
Disamping itu biro imigrasi mengurus alokasi (pembagian) pekerja-pekerja yang
baru tiba itu diantara beebagai perkebunan tembakau dan pula memberikan
pertolongan dalam transfer simpanan dari pekerja-pekerja ini ke keluarga mereka
di negeri Cina. Transfer simpanan ini sangat di anjurkan oleh biro imigrasi,
karena merupakan faktor insentif yang
kuat bagi pekerja-pekerja ini untuk bekerja pada perkebunan-perkebunan di
Sumatera Timur.
Sebagai hasil pekerjaan biro
imigrasi ini pekerja-pekerja yang di rekrut di negeri Cina bertambah dengan
pesat, seperti terlihat dari angka-angka yang berikut. Misalnya, dalam tahun
1888, 1.152 pekerja di datangkan dari negeri Cina, akan tetapi setahun kemudian
angka itu sudah meningkat hampir lima kali lipat sampai 5.167, untuk seterusnya
meningkat lagi sampai 6.666 dalam tahun 1890.
Dalam tahun-tahun berikutnya ribuan
pekerja menyusul dari negeri Cina, sedangkan dari pekerja-pekerja yang telah
menyelesaikan masa kerjanya hanya sebagian kecil saja pulang kembali ke tanah
air mereka. Bagian terbesar dari pekerja-pekerja yang telah menghabisi masa
kerja kemudian memperpanjang kontrak kerja mereka atau memutuskan untuk terus
menetap di Sumatera Timur.
Tenaga kerja untuk
perkebunan-perkebunan Sumatera Timur di datangkan dari negeri Cina dibawah
sistem kontrak. Hla Myint mendefinisikan
sistem kerja kontrak sebagai berikut: “.. Suatu sistem dimana pihak majikan
membayar biaya pengangkutan pekerja-pekerja dari tempas asal mereka ke tempat
pekerjaan, sedangkan para pekerja mengikat diri untuk bekerja untuk masa
beberapa tahun dengan upah tertentu.
Mengingat kesulitan besar dan
biaya tinggi yang perlu di bayar oleh
perkebunan-perkebunan Sumatera Timur untuk mendatangkan pekerja-pekerja ke Sumatera Timur, nampaknya memang cukup
beralasan bila perkebunan mengharuskan calon-calon pekerja mendatangi kontrak
kerja dulu yang dapat sama sedikit-dikitnya untuk suatu masa tertentu. Perlu di
ingat bahwa penjualan budak-budak di muka umum telah di larang oleh pemerintah
Hindia-Belanda dalam tahun 1854, sedangkan dalam tahun 1860 telah dikeluarkan
peraturan-peraturan untuk menghapus sama sekali sistem perbudakan di
Hindia-Belanda.
Tidak mengherankan bila dalam
keadaan demikian sistem kontrak kerja kelihatan sebagai jalan yang paling logis
bagi perkebunan-perkebunan Sumatera Timur untuk memperoleh jaminan, bahwa mereka dapat memperoleh dan menahan
pekerja-pekerja sedikitnya untuk beberapa tahun. Di lain pihak para pekerja
tentu saja berhak atas perlindunagan yang memadai karena mereka pergi kesuatu
tempat yang sama sekali asing bagi mereka. Mereka berhak atas keadaan kerja dan
keadaan hidup yang layak dan berhak atas jaminan bahwa tidak akan di keluarkan
begitu saja dari pekerjaan sehingga terlantar begitu saja di hutan rimba
Sumatera Timur.
Dalam tahun 1888 pemerintah
Hindai-Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan
kerja kuli kontrak di Sumater Timur yang di sebut (Koeli
Ordonnantie). Koeli Ordonnantie ini, yang mula-mula hanya berlaku untuk
Sumatera Timur tetapi kemudian berlaku pula di semua wilayah Hindia-Belanda di
luar jawah, memberi jaminan-jaminan tertentu pada majikan terhadap kemungkinan
pekerja-pekerja melarikan diri sebelum masa kerja mereka menurut kontrak kerja
mereka habis. Di lain pihak juga diadakan peraturan-peraturan yang melindungi para pekerja terhadap tindakan
sewenang-wenang dari sang majikan. Untuk memberi kekuasaan pada
peraturan-peraturan dalam Koeli
Ordonnantie, dimasukan pula peraturan mengenai hukuman-hukuman yang dapat
kenakan terhadap pelanggaran, baik dari pihak majikan maupun dari pihak
pekerja. Dalam kenyataan ternyata bahwa ancaman hukuman yang dapat di kenakan
terhadap pihak majikan hanya merupakan peraturan diatas kertas jarang atau
tidak pernah dilaksanakan. Dengan demikian ancaman humukan untuk
pelanggaran-pelangran hanya jatuh di atas pundak pekerja-pekerja perkebunan.
Ancaman hukuman yang dapat di
kenakan pada pekerja perkebunan yang melanggar ketentuan-ketentuan kontrak
kerja kemudian terkenal sebagai peonale
sanctie. Peonale sanctie membuat ketentuan bahwa pekerja-pekerja yang
melarikan diri dari perkebunan-perkebunan Sumatera Timur dapat di tangkap oleh
polisi dan di bawa kembali ke perkebunan dengan kekerasan jika mereka
mengadakan perlawanan. Lain-lain hukuman dapat berubah kerja paksa pada
pekerja-pekerja umum tanpa bayaran atau perpanjangan masa kerja melebihi
ketentuan-ketentuan kontrak kerja.
Koelie Ordonnntie, yang pertama
kemudian diikuti oleh Ordonnantie-ordonnantie dari tahun 1884 dan 1893 yang memberi jaminan hak penguasa hukum
pada para majikan atas kuli-kuli kontrak mereka. Disamping peonale
sanctie, pengusaha-pengusaha mempunyai cara lain untuk menahan
pekerja-pekerja mereka. Salah satu cara adalah memberi kesempatan judi bagi
para pekerja pada hari pembayaran gaji. Cara ini ternyata berhasil sekali,
karena pekerja-pekerja sering terjerat hutang yang begitu besar jika kalah
judi, sehingga terpaksa menandatangani kontrak kerja baru dengan
majikan-majikan mereka untuk memperpanjang masa kerja.
Menjelang akhir abad ke-19 dari
negeri Belanda mulai timbul kontroverse yang hangat mengenai peonale sanctie. Perdebatan ini berlangsung
lama dan baru mulai mereda selama dasawarsa tiga puluhan peonale sanctie dihapuskan sama sekali. Hal yang menyebabkan
timbulnya kontroverse mengenai peonale
sanctie adalah penerbitan suatu pamflet yang berjudul De Millionen va deli (jutaan-jutaan dari Deli) yang di karang oleh J. van den Brand, seorang pengacara Belanda. Dalam tulisan Van
den brand mengungkapkan kepada rakyat Belanda yang buruk sekali di Sumatera
Timur yang disamakan dengan keadaan yang tidak banyak berbeda dengan
perbudakan. Van den brand mengutip banyak contoh-contaoh yang konkrit mengenai
perlakuan berprikemanusian terhadap pekerja-pekerja mereka di perkebunan.
Pamflet van den Brand menimbulkan kemarahan yang besar dikalangan masyarakat
Belanda, sehingga pemerintah Hindia-Belanda terpaksa mengadakan usaha-usaha
untuk memperbaiki keadaan lingkungan kerja pekerja-pekerja perkebunan di
Sumatera Timur. Walaupun lambat, dalam abad ke-20 perlakukan terhadap
pekerja-pekerja perkebunan mengalami perbaikan berkat usaha ini.