Ketika menjelang tahun 30-an politik
asosiasi telah ditinggalkan karena kegagalannya menghadapi pergolakan politik
dalam masyarakat kolonial yang justru mendorong kearah diskriminasi pada satu
pihak dan radikalisasi pertentangan politik, timbulla gagasan sintesis sebagai
ideologi kolonial yang mencoba menggambarkan masyarakat kolonial yang
berkembang menuju kesuatu sintesis antara barat dan timur. Perumusan gagasan
ini termuat dalam tulisan de Kat Angelino. Masalah kolonila hanya dapat
dipecahkan dengan menempatkannya dalam rangka proses budaya besar, yaitu
pertemuan antara dua budaya barat dan timur. Kontak yang di gambarkan oleh
politik asosiasi dipandangnya dangkal karena mengabaikan kontak akar – akar
rohani dari budaya – budaya yang saling berhadapan “bekerja sama secara
terpisah” yang menjadi semboyan kaum asosiasionis dipandang tidak dapat
menghasilkan kesatuan karen budaya barat hanya diterima secara dangkal dan tidk
ada adaptasi antara budaya barat dan timur.
Menurut De Kat Angelino, barat dan
timur harus saling “membuahi”. Milik budaya timur perlu diatur. Barat dengan
segala pengalaman dan kekayaannya perlu mengabdi timur, antara lain dengan
memasukkan jiwanya pada kesadaran hukumnya. Janganlah pengaruh hanya terbatas
pada penggabungan dua kesatuan yang berbeda. Barat hendaknya memberi pengertian
kepada timur tentang disiplin sehingga dapat memikul tanggung jawab sendiri.
Sintesis yang nyata ialah perpaduan antara kekuatan – kekuatan hidup yang
sehat. Hal ini sesuai dengan ideologi politik kolonial modern yang mempunyai
tujuan disamping untuk mengembangkan kesejahteraan negri induk juga secara
sadar mendukung politik kolonial moral yang wajib memerhatikan kesejahteraan
dan perkembangan penduduk pribumi. Dua fungsi pokok dari gagasan sintesis ialah
perlindungan dan membangkitkan ketahanan. Namun, menjadi panggilan barat untuk
memberikan pimpinan dalam memodernisasikan Timur itu. Dalam mendorong suatu
sintesis di daerah jajahan, perlu di pupuk kesadaran akan kesatuan sehingga
dengan demikian pimpinan barat masih tetap diperlukan.
Sifat patriarkat masih tampak jelas
dalam gagasan sintesis ini, tetapi ditolaknya konsepsi kolonialisasi dengan
jalan menguasai atau menaklukan. Dalam kenyataannya, dunia kolonial masih
merupakan “sebuah kamar kanak – kanak dimana harus ada babunya”. De Kat
Angelino tidak setuju dengan kipling dan berpendapat bahwa Timur dan Barat
dapat melakukan kerjasama sebagai manifestasi solidaritas kemanusiaan atau
pan-humanisme.
Peran barat bukanlah untuk mendesak
Timur, melainkan untuk mengembangkan serta memajukannya. Barat dapat memberi
kekuatan moral dan spiritual untuk menjiwai evolusi timur, demi mewujudkan
kerjasama timur-barat yang selaras, dengan jalan menghargai sifat masing-masing
dalam segala bidang. Faktor yang merintangi gagasan sintesis ini adalah
perbedaan warna kulit. Politik kolonial wajib memajukan sintesis ini dan
memenuhi panggilan kepemimpinan barat, disamping juga untuk membangun suatu
masyarakat harmonis antara Timur dan Barat sebagai komponen – komponennya. De
Kat Angelino berpendapat bahwa politik kolonial Belanda harus meninggalkan
prinsip politik tidak campur tangan dalam hal – hal tradisional secara
keseluruhan, dan sebagai gantinya menerima politik sintesis dengan ketiga
prinsipnya, yaitu memberi perlindungan, mengadakan konsolidasi budaya
Indonesia, dan mengadakan penyesuaian dan perkembangan dunia modern.
Pemikiran ini ternyata tidak
terlepas dari pandangan bahwa peradapan barat lebih tinggi dari pada peradapan
timur. Lagi pula, dalam gagasan sintesis itu tercangkup suatu rasionalisasi
dari politik kolonial yang menginginkan adanya paternalisasi dan
perlindungan-perlindungan kolonial dalam hubungan kolonial.
Pemerintah kolonial Belanda, yang
menghadapi rakyat Indonesia dengan mayoritasnya sebagai pemeluk agama Islam,
perlu memusatkan perhatian pada plitik terhadap agama Islam. Sepanjang sejarah
penjajahan, ideologi Islam ternyata merupakan kekuatan sosial yang besar sekali
dalam mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan asing. Baik perang besar seperti
perang Padri dan Perang Aceh maupun pemberontakan petani seperti peristiwa
cilegon dan cimareme, semuanya dipimpin oleh pemuka Islam dan dijiwai oleh
ideologi Islam. Karena pengetahuan penguasa kolonial mengenai Islam di
Indonesia sangat kurang bahkan sering kali salah, politik yang mereka jalankan
terlalu didasarkan atas perasaan takut dan curiga dengan akibat bahwa setiap
gerakan kaum dicap sangat membahayakan pemerintah kolonial.
Sejak kedatangan Snouck Hurgronje di
Indonesia pada tahun 1889, politik terhadap Islam, atas nasihatnya mulai
didasarkan atas fakta-fakta dan tidak atas rasa takut saja. Ia mengemukakan
bahwa para pemimpin agama tidak secara apriori bermusuhan dengan pemerintah
kolonial dan orang yang kembali dari naik haji tidak dengan sendirinya menjadi
orang fanatik dan suka memberontak. Sebaliknya, Snouck Hurgronje memperingatkan
agar Islam sebagai kekuatan politik dan religius tidak boleh dipandang rendah.
Ketika ideologi Islam disebarkan sebagai doktrin politik yang digunakan untuk
membuat agitasi terhadap pemerintahan asing sebagai pemerintahan kaum kafir
sehingga orang meragukan atau mengingkari legalitas pemerintah Belanda, maka
disini ada bahaya bahwa fanatisme agama akan menggerakkan rakyat untuk menghapuskan
orde kolonial. Politik yang disarankan perlu membedakan antara :
(1)
Islam sebagai ajaran agama dan
(2)
Islam sebagai ajaran politik
Selama umat Islam menganutnya
sebagai agama, mereka perlu diberi kebebasan menjalankan kewajibannya.
Sebaliknya, apabila Islam disalahgunakan ssebagai alat agitasi politik,
pemerintah tidak boleh tanggung-tanggung untuk memberantasnya. Politik itu
selaras dengan netralitas agama yang dijalankan di negri Belanda dengan sikap
toleran terhadap paham lain. Pendirian seperti ini langsung berakar pada
liberalisme dan humanitarisme.
Politik yang dianjurkan oleh Snouck
Hurgronje merupakan bagian dari pandangan mengenai perkembangan masa depan
Indonesia. Menurut Snouck Hurgronje, Islam hanya dapat menerima pemerintahan
asing secara terpaksa beserta suatu koeksistensi antara penguasa Kristen dan
umat muslim. Dengan demikian, tidak mungkin dikembangkan suatu hubungan kekal
antara Indonesia dan negeri Belanda.
Dalam menghadapi Islam, penguasa kolonial menurut tradisi dapat mengharapkan
dukungan dari kaum adat meskipun golongan ini tidak dapat menahan pengaruh,
baik dari perkembangan Islam maupun dari perubahan – perubahan ke arah
modernisasi. Oleh karena itu, tidak mungkin politik ini dijalankan untuk
mencapai tujuan pemerintahan kolonial dalam jangka panjang.
Selanjutnya Snouck Hurgronje tidak
menaruh kepercayaan pada Islam sebagai kekuatan yang dapat membawa kemajuan.
Menurut Snouck Hurgronje, Indonesia mengalami perubahan untuk mewujudkan suatu
masyarakat modern. Masyarakat ini akan terwujud sebagai masyarakat yang telah
di westernisasikan. Berdasarkan gagasan pokok ini penguasa kolonial mempunyai
tanggung jawab moral untuk memajukan budaya Barat. Dalam hubungan ini kaum
aristokrat Indonesia perlu diajak ikut serta dalam kehidupan sosial dan budaya
barat. Golongan ini dengan kepemimpinannya akan dapat menjembati jarak antara
yang berkuasa dan yang dikuasai sehingga akhirnya akan ada budaya milik
bersama.
Dalam usaha melapangkan jalan kearah
asosiasi, pengajaran Barat merupakan alat utama untuk melancarkan modernisasi
dan menyisihkan hambatan dari kekuatan tradisional. Perkembangan ini tidak
dapat ditahan lagi sehingga lewat sistem asosiasi haluannya dapat diarahkan
pada kelanjutan pemerintahan Belanda.
Gagasan Snouck Hurgronje tidak
terlepas dari jiwa zaman yang penuh dengan pemikiran tentang humanitarisme,
kewajiban memerhatikan nasib rakyat pribumi, dan prinsip – prinsip etis dalam
menjalankan politik kolonial.
Selama abad ke-19 terus-menerus
terjadi pemberontakan di daerah perdesaan yang pada umumnya digerakkan oleh
pemuka agama. Dalam menghadapi masalah ini Snouck Hurgronje memperingatkan agar
tidak langsung menuduh atau mencurigai pemuka agama sebagi biang keladi
pergolakan – pergolakan itu. Haruslah dibedakan antara pemuka yang menjalankan
tugasnya sebagai pengajar agama dan yang menggunakan kedudukannya selaku
pemimpin untuk keperluan agitasi politik. Untuk dapat memberikan hal itu secara
tegas, perlu diperketat pengawasan atas kegiatan para pemuka agama itu.
Kegiatan mengajar agama, membaca Al Quran, dan mendalami ilmu agama kesemuanya
adalah legal dan perlu diberi kebebasan. Hanya pemerintah perlu bertindak tegas
ketika kegiatan – kegiatan agama mulai digunakan untuk gerakan politik melawan
pemerintah.
Pada umumnya pejabat – pejabat
Belanda dihinggapi oleh suatu haji-fobia, dan segera mencap tindakan atau
kegiatan mereka sebagai usaha subversif untuk melakukan perlawanan terhadap
pamong praja. Upacara tarekat, pelajaran ngelmu, jual beli jimat, dan
lain-lain, karena sering sekali diselubungi oleh tingkah laku yang serbah
rahasia, juga karena sering menjadi faktor penting dalam pemberontakan, lekas
di curigai dan dijadikan sebagai alasan untuk menindak pelaku – pelakunya.
Dengan bantuan Snouck Hurgronje,banyak kegiatan dapat dilakukan sifatnya
sehingga tidak perlu di adakan tindakan yang menindas.
Kejadian – kejadian sekitar tahun
1912-1916 yang mengikuti pendirian Sarekat Islam menunjukan betapa besar peran
ideologi Islam dalam menggerakkan rakyat, terutama didaerah perdesaan di mana
kegelisahan sosial memberi suasana baik bagi pergolakan dan pemberontakan.
Dalam keadaan penuh dengan kegelisahan itu segala perasaan dapat disalurkan
melalui agama dan membangkitkan pergerakan total. Untuk masyarakat tradisional
perbedaan yang dibuat oleh Snouck hurgronje ternyata tidak sesuai. Lagi pula,
pergolakan yang dicetuskan oleh sarekat Islam membuktikan bahwa Snouck
Hurgronje memandang rendah Islam sebagai kekuatan sosial.
Politik yang disarankan oleh
beberapa pejabat seperti Snouck Hurgronje Ringkes, dan Gonggrijp ialah agar
sarekat Islam diakui pendiriannya karena melihat bahwa sarekat Islam merupakan
kebangkitan suatu bangsa menjadi dewasa, baik dalam bidang politik maupun
sosial.