Menulis sejarah merupakan suatu
kegiatan intelektual dan ini suatu arah yang utama untuk memahami sejarah.
Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka dia mengerahkan seluruh daya
pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan
catatan-catatan. Tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan
analisanya karena dia pada akhirnya akan menghasilkan suatu sintesis dari
seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu peulisan utuh ayng
disebut historiografi. Keberartian (signifikansi) semua fakta yang dijaring
melalui metode kritik baru dapat dipahami hubungannya satu sama lain setelah
semuanay ditulis dalams utu keutuhan bulat historiografi. Di sinilah istilah
ini mempunyai arti “penulisan sejarah” karena ada pengertian lain untuk istilh
historiografi yaitu “sejarah penulisan sejarah”. Helius Sjamsuddin (2007:156)
Megnenai kemampuan menulis sendiri
dapat merupakan bakat, atau juga kemauan dengan latihan tulis-menulis secara
terus-menerus. Para sejarawan sendiri menaydari betul bahwa proses menulis itu
sendiri adalah suatu kerja keras yang tidak jarang dapat menimbulkan frustasi
namun setiap sejarawan pada akhirnya bebas menentukan sendiri cara menulis
sehingga menghasilkan karya mandiri yang menjadi tanggung ajwabnya, namun dia
menyadari betul bahwa dalam “kebebasannya” itu ketentuan-ketentuan umum yang
khusus berlaku bagi setiap sejarawan sebagai patokan-patokan atau rambu-rambu,
baik dalam penulisannya maupun dalam penafsirannya.
A.
Metodelogi Sejarah
Metodologi berasal dari kata Yunani
'metodos', kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu 'metha' yang berarti
melalui atau melewati dan 'hodos' yang berarti jalan atau cara. Menurut Webster
metodologi yaitu suatu keseluruhan (body) metode-metode, prosedur-prosedur,
konsep-konsep kerja, aturan-aturan, dan postulat-postulat yang digunakan oleh
ilmu pengetahuan, seni, atau disiplin; proses, teknik-teknik, atau
pendekatan-pendekatan yang dipakai dalam pemecahan suatu masalah atau di dalam
mengerjakan sesuatu; suatu atau seperangkat prosedur-prosedur; dasar teoritis
dari suatu doktrin filsafat: premis-premis, postulat-postulat, dan
konsep-konsep dasar dari suatu filsafat. Suatu ilmu atau kajian tentang metode…
menganalisis prinsip-prinsip atau prosedur-prosedur yang harus menuntun
penyelidikan dalam suatu bidang (kajian) tertentu (Webster, 1966: 1423).
Sementara itu dalam Kamus The New
Lexicon, metodologi mempunyai makna, suatu cabang filsafat yang berhubungan
dengan ilmu tentang metode atau prosedur, suatu sistem tentang metode-metode
dan aturan-aturan yang digunakan dalam sains (The New Lexicon. 1989: 628).
Metodologi sejarah merupakan suatu
prosedur atau metode yang digunakan untuk tahu bagaimana mengetahui. Metodologi
sejarah atau 'science of methods' juga berarti sebagai suatu ilmu yang
membicarakan tentang cara, yaitu cara untuk mengetahui bagaimana mengetahui
peristiwa yang terjadi dimasa lampau (sejarah). Misalnya seorang sejarawan yang
ingin mengetahui sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Dia akan menempuh
secara sistematis prosedur penyelidikan dengan menggunakan teknik untuk pengumpulan
bahan sejarah sehingga dia dapat menjaring informasi yang dia dapatkan
selengkap mungkin. Namun hanya sampai itu saja tidaklah cukup bagi seorang
sejarawan karena seorang sejarawan harus dilengkapi juga dengan pengetahuan
metodologis ataupun teoritis bahkan filsafat. Artinya bagaimana sejarawan itu
menggunakan ilmu metode itu pada tempat yang seharusnya sehingga untuk
mengetahui bagaimana mengetahui sejarah itu diperlukanlah suatu ilmu yaitu
Metodologi Sejarah. Helius Sjamsuddin (2007: 15).
Dalam metodologi sejarah, seorang
sejarawan dituntut harus menguasai metode yang digunakan untuk mengetahui
peristiwa di masa lampau, untuk mengetahui peristiwa di masa lampau itu maka
dilakukanlah penelitian berupa prosedur penyelidikan dengan menggunakan teknik
pengumpulan data sejarah baik berupa arsip-arsip dan perpustakaan-perpustakaan
(di dalam atau di luar negeri) maupun dari wawancara dengan tokoh-tokoh yang
masih hidup sehubungan dengan peristiwa bersejarah. Mempelajari metodologi
sejarah berarti kita juga menguraikan metode penelitian sejarah, sumber sejarah
dan penulisan sejarah. Profesor Kuntowijoyo memberi batasan metodologi sebagai
ilmu yang membicarakan jalan, bagaimana metodologi sejarah harus dilakukan.
Metodologi harus ditempatkan secara benar, membicarakan teori dan
konsep-konsep, dan sumber sejarah yang akan digunakan.
B. Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani,
heuriskein, artinya menemukan. Heuristik, maksudnya adalah tahap untuk mencari,
menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber berbagai data agar dapat mengetahui
segala bentuk peristiwa atau kejadian sejarah masa lampau yang relevan dengan
topik/judul penelitian. Untuk melacak sumber tersebut, sejarawan harus dapat
mencari di berbagai dokumen baik melalui metode kepustakaan atau arsip
nasional.
Sejarawan dapat juga mengunjungi
situs sejarah atau melakukan wawancara untuk melengkapi data sehingga diperoleh
data yang baik dan lengkap, serta dapat menunjang terwujudnya sejarah yang
mendekati kebenaran. Masa lampau yang begitu banyak periode dan banyak
bagian-bagiannya (seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya) memiliki sumber
data yang juga beraneka ragam sehingga perlu adanya klasifikasi data dari
banyaknya sumber tersebut.
Dokumen-dokumen yang berhasil
dihimpun merupakan data yang sangat berharga Dokumen dapat menjadi dasar untuk
menelusuri peristiwa-peristiwa sejarah yang telah terjadi pada masa lampau.
Menurut sifatnya ada dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
primer adalah sumber yang dibuat pada saat peristiwa terjadi, seperti dokumen laporan kolonial. Sumber primer dibuat oleh tangan
pertama, sementara sumber sekunder merupakan sumber yang menggunakan sumber
primer sebagai sumber utamanya. Jadi, dibuat oleh tangan atau pihak kedua.
Contohnya, buku, skripsi, dan tesis.
Jika kita mendapatkan sumber
tertulis, kita akan mendapatkan sumber tertulis sezaman dan setempat yang
memiliki kadar kebenaran yang relatif tinggi, serta sumber tertulis tidak
sezaman dan tidak setempat yang memerlukan kejelian para penelitinya. Dari
sumber yang ditemukan itu, sejarawan melakukan penelitian. Tanpa adanya sumber
sejarah, sejarawan akan mengalami kesulitan menemukan jejak-jejak sejarah dalam
kehidupan manusia. Untuk sumber lisan, pemilihan sumber didasarkan pada pelaku
atau saksi mata suatu kejadian. Narasumber lisan yang hanya mendengar atau
tidak hidup sezaman dengan peristiwa tidak bisa dijadikan narasumber lisan.
C. Kritik Sumber
Tujuan utama kritik sumber adalah
untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat
dalam lembaran lepas (sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya
berdasarkan kerangka tulisan.
Sumber untuk penulisan sejarah
ilmiah bukan sembarang sumber, tetapi sumber-sumber itu terlebih dahulu harus
dinilai melalui kritik ekstern dan kritik intern.
- Kritik ekstern
Merupakan
kritik yang membangun dari luar sejarah, yang dilakukan dengan mencari
kebenaran sumber sejarah melalui sejumlah pengujian terhadap berbagai aspek di
luar sumber sejarah
- Kritik internal (uji kredibilitas)
Merupakan
kritik yang membangun dari dalam sejarah, yang didasarkan pada arti sebenarnya
dari suatu kesaksian.
Perbedaan kritik Ekstern dan
Intern dan cara untuk membuktikan keduanya:
1. Kritik Ekstern
·
Kritik
Ekstern digunakan untuk memperoleh keabsahan tentang keaslian sumber
(otentitas)
·
Kritik
ekstern digunakan untuk memperbedakan satu tipuan atau suatu misrepresentasi
dari sebuah dokumen yang sejati, karena pemalsuan dokumen dalam keseluruhan
atau untuk sebagian, meskipun bukan merupakan suatu hal yang biasa, namun cukup
sering terjadi, sehingga seorang sejarawan yang cermat harus senantiasa waspada
terhadapnya.
·
Kritik
ekstern digunakan untuk usaha menetapkan suatu teks yang akurat yang oleh para
ahli filologi disebut “Kritik Teks”, sedangkan didalam studi Injil juga disebut
“Kritik Rendah”, sjarawan telah meminjam teknik dari ahli filologi dan kritikus
Injil.
·
Kritik
ekstern digunakan untuk mereforasi teks, yaitu dengan cara mengumpulkan
beberapa copian teks, untuk kemudian dibandingkan dan dianalisis. Dalam hal ini
sejarawan membutuhkan ilmu bantu sejarah, karena pada akhir-akhir ini, ilmiawan
sosial seperti ahli pendidikan, anthropologi, psikologi dan sosiologi telah
menerbitkan Questionaire, Poll Opinio umum, statistik mengenai penduduk dan
perubahan sosial, dsb. Dan kesimpulan yang diperolh dari material semacam itu
dan dari apa yang dinamakan “Dokumen Pribadi” atau otobiografi yang dikumpulkan
oleh ilmiawan sosial selama ini.
·
Kritik
ekstern digunakan untuk mengidentifikasi pengarang dan tanggal.
2. Kritik intern
·
Kritik
intern digunakan untuk meneliti keabsahan tentang kesahihan sumber
(kredibilitas)
·
Kritik
intern digunakan untuk menganalisis pembuktian kebenaran sebuah fakta sejarah.
·
Kritik
intern menggunakan Hipotesa Interogatif, karena hipotesa ini lebih baik
dibandingkan dalam bentuk deklaratif, hipotesa interogatif bersifat tidak
mengikat sebelum semua bukti selesai diperiksa. Dan sedikit membantu sejarawan
untuk memecahkan suatu masalah karena pertanyaan tersebut langsung menuju ke
jawaban.
·
Kritik
intern digunakan untuk melakukan pencarian terhadap
detail khusus daripada kesaksian, karena fakta sejarah harus mengandung empat
aspek subyek sejarah, yaitu: aspek biografis, aspek geografis, aspek
kronologis, dan aspek fungsionil.
·
Kritik
intern digunakan untuk melakukan penilaian pribadi, yaitu kemampuan dan kemauan
daripada saksi untuk memberikan kesaksian yang dapat diandalkan, yang
ditentukan oleh sejumlah faktor didalam personalitas dan situasi sosial, yang
kadang disebut “unsur pribadinya” (personal equation).
·
Kritik
intern menggunakan aturan-aturan umum, Dimana seorang sejarawan adalah
penuntut, pembela, hakim, dan juri menjadi satu. Dan sebagai hakim ia tidak
mengesampingkan bukti apapun asal relevan. Kesaksian yang kredibel
harus lulus empat ujian. Dan yang merupakan subyek pemeriksaan
adalah saksi primer dan detailnya, bukan
seluruh sumber sebagai keseluruhan.
·
Kritik
intern digunakan untuk menganalisis kemampuan untuk menyatakan kebenaran
D. Interpretasi
Setelah fakta untuk mengungkap dan
membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian dilakukan interpretasi,
yaitu penafsiran akan makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta
lain. Penafsiran atas fakta harus dilandasi oleh sikap obyektif. Kalaupun dalam
hal tertentu bersikap subyektif, harus subyektif rasional, jangan subyektif
emosional. Rekonstruksi peristiwa sejarah harus menghasilkan sejarah yang benar
atau mendekati kebenaran.
Interpretasi adalah menafsirkan
fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut menjadi satu kesatuan yang harmonis
dan masuk akal. Interpretasi dalam sejarah dapat juga diartikan sebagai
penafsiran suatu peristiwa atau memberikan pandangan teoritis terhadap suatu
peristiwa. Sejarah sebagai suatu peristiwa dapat diungkap kembali oleh para
sejarawan melalui berbagai sumber, baik berbentuk data, dokumen perpustakaan,
buku, berkunjung ke situs-situs sejarah atau wawancara, sehingga dapat
terkumpul dan mendukung dalam proses interpretasi.
Dengan demikian, setelah kritik
selesai maka langkah berikutnya adalah melakukan interpretasi atau penafsiran
dan analisis terhadap data yang diperoleh dari berbagai sumber. Interpretasi
dalam sejarah adalah penafsiran terhadap suatu peristiwa, fakta sejarah, dan
merangkai suatu fakta dalam kesatuan yang masuk akal. Penafsiran fakta harus
bersifat logis terhadap keseluruhan konteks peristiwa sehingga berbagai fakta
yang lepas satu sama lainnya dapat disusun dan dihu-bungkan menjadi satu kesatuan
yang masuk akal.
Bagi kalangan akademis, agar dapat
menginterpretasi fakta dengan kejelasan yang objektif, harus dihindari
penafsiran yang semena-mena karena biasanya cenderung bersifat subjektif.
Selain itu, interpretasi harus bersifat deskriptif sehingga para akademisi juga
dituntut untuk mencari landasan interpretasi yang mereka gunakan. Proses
interpretasi juga harus bersifat selektif sebab tidak mungkin semua fakta
dimasukkan ke dalam cerita sejarah, sehingga harus dipilih yang relevan dengan
topik yang ada dan mendukung kebenaran sejarah.
E. Historiografi
Historiografi adalah penulisan
sejarah. Historiografi merupakan tahap terakhir dari kegiatan penelitian untuk
penulisan sejarah. Menulis kisah sejarah bukanlah sekadar menyusun dan
merangkai fakta-fakta hasil penelitian, melainkan juga menyampaikan suatu
pikiran melalui interpretasi sejarah berdasarkan fakta hasil penelitian.
Untuk itu, menulis sejarah
memerlukan kecakapan dan kemahiran. Historiografi merupakan rekaman tentang
segala sesuatu yang dicatat sebagai bahan pelajaran tentang perilaku yang baik.
Sesudah menentukan judul, mengumpulkan bahan-bahan atau sumber serta melakukan
kritik dan seleksi, maka mulailah menuliskan kisah sejarah.
Kegiatan terakhir dari penelitian
sejarah (metode sejarah) adalah merangkaikan fakta berikut maknanya secara
kronologis/diakronis dan sistematis, menjadi tulisan sejarah sebagai kisah.
Kedua sifat uraian itu harus benar-benar tampak, karena kedua hal itu merupakan
bagian dari ciri karya sejarah ilmiah, sekaligus ciri sejarah sebagai ilmu.
Selain kedua hal tersebut, penulisan
sejarah, khususnya sejarah yang bersifat ilmiah, juga harus memperhatikan
kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah umumnya.
a) Bahasa yang
digunakan harus bahasa yang baik dan benar menurut kaidah bahasa yang
bersangkutan. Kaya ilmiah dituntut untuk menggunakan kalimat efektif.
b) Merperhatikan
konsistensi, antara lain dalam penempatan tanda baca, penggunaan istilah, dan
penujukan sumber.
c) Istilah dan
kata-kata tertentu harus digunakan sesuai dengan konteks permasalahannya.
d) Format
penulisan harus sesuai dengan kaidah atau pedoman yang berlaku, termasuk format
penulisan bibliografi/daftar pustaka/daftar sumber.
Kaidah-kaidah tersebut harus
benar-benar dipahami dan diterapkan, karena kualitas karya ilmiah bukan hanya
terletak pada masalah yang dibahas, tetapi ditunjukkan pula oleh format
penyajiannya.